Mengenal Puasa Ramadhan

berpuasa

1. Apa itu Ramadhan?

Ramadhan adalah bulan kesembilan dari Kalender Hijriyah. Pada setiap bulan ini, umat Islam diwajibkan untuk melakukan ibadah puasa atau shaum.

Kewajiban untuk melakukan puasa di bulan Ramadhan didasarkan atas perintah Allah dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqoroh, ayat 185 berikut:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.

2. Pengertian Puasa

Puasa atau shaum, dalam bahasa Arab, berarti “menahan”. Namun, pengertian puasa dalam agama Islam adalah:

اَلإِمْسَاكُ نَهَارًا مِنَ الْمُفَطِّرَاطِ بِنِيَّةٍ مِنْ أَهْلِهِ مِنْ طَلُوْعِ الْفَجْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ

Menahan diri pada siang hari dari hal-hal yang membatalkan puasa, dengan niat ibadah sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari

3. Tujuh Syarat Wajib Puasa

Orang yang wajib berpuasa adalah (1) orang muslim yang (2) sudah baligh, (3) berakal, (4) sehat, (5) mampu/kuat, (6) sedang bermukim, dan, (7) suci dari haid dan nifas.

  • Muslim. Setiap muslim wajib melaksanakan puasa.
  • Baligh. Anak kecil yang belum baligh dapat berlatih puasa walaupun belum mendapatkan pahala, namun menurut madzhab Syafi’i dan  madzhab Hambali, anak yang telah berumur 10 tahun jika mengikuti puasa akan  mendapatkan pahala (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Muhadzzab, Jilid 6, hal. 276)
  • Berakal. Orang yang gila tidak dijatuhi kewajiban untuk berpuasa. Hal ini didasarkan atas sabda Nabi Muhammad (diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib) yang menyatakan, “Diangkat pena (tidak dibebankan hukum) dari tiga orang: dari anak kecil hingga ia dewasa, dari orang gila sampai ia tersadar, dan dari orang tidur hingga ia terbangun” (HR. Ahmad, Daud, dan Tirmidzi)
  • Sehat. Orang yang menderita suatu jenis sakit yang apabila berpuasa sakitnya tersebut akan bertambah parah, maka hendaknya dia tidak melakukan puasa, tetapi mengganti puasa yang ia tinggalkan pada hari lain (di luar bulan Ramadhan). Para ulama madzhab Hanafi, seperti Ibnul Humam dalam Fathul Qodir dan Imam Syafi’i dalam AlUmm agaknya mengkiaskan perempuan hamil dan menyusui dengan orang sakit sehingga menurut mereka, wanita hamil boleh tidak berpuasa, cukup mengganti puasa tanpa membayar fidyah. Namun, lain cerita, jika, seperti kata Imam An-Nawawi (dalam Al-Majmu’ Jilid 6, hal. 276) yang dikuatirkan oleh ibu yang hamil dan menyusui itu adalah anaknya, bukan dirinya, maka selain mengganti puasa di hari yang ditinggalkan, ia juga wajib membayar fidyah.
  • Mampu atau kuat. Bagi orang yang sudah sangat tua renta dan tidak sanggup untuk berpuasa, maka tidak diwajibkan baginya untuk berpuasa. Tetapi, ia harus mengganti puasa itu dengan “memberi makan orang miskin”, istilahnya adalah memberi “fidyah“. Jumlahnya seperti jumlah kita makan dalam satu hari. Sebutlah kita makan dengan ukuran Rp15.000 setiap kali makan, lalu kita makan sehari tiga kali, maka kita membayar fidyah sejumlah Rp45.000 (Rp15.000×3) setiap hari puasa yang kita tinggalkan. Ibn Abdil Barr dalam Kitab Al-Istidzkar menyatakan pendapat Imam Malik dan para sahabatnya bahwa wanita hamil dan menyusui mestinya termasuk ke dalam kategori ini, sehingga mereka hanya perlu membayar fidyah, tidak perlu mengganti/meng-qodho puasa.
  • Sedang Bermukim. Artinya, orang yang sedang dalam perjalanan atau safar boleh tidak melakukan puasa. Batas waktu safarnya adalah 3 hari, setelah itu ia wajib berpuasa. Tetapi, perjalanan yang disyaratkan (sama dengan jarak Qoshor Shalat) tidak boleh kurang dari 16 farsakh (1 farsakh sama dengan 3 mil, maka 16 farsakh sama dengan 48 mil) atau setara dengan 80 KM, baik dengan unta, sepeda, mobil, atau pesawat. Lalu, hal penting lainnya adalah, keadaan safar kita juga dapat berakhir (selain sudah melewati 3 hari) jika kita berniat untuk bermukim/tinggal di tempat tujuan atau jika kita sudah pulang kembali ke kampung halaman. Adapun dalil umum yang mengizinkan orang sakit, orang yang tidak mampu berpuasa, dan orang safar untuk tidak berpuasa adalah Al-Qur’an, surat Al-Baqoroh ayat 184, yaitu:

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ١٨٤

(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

  • Suci dari haid dan nifas. Perempuan muslim yang haid atau nifas (tidak suci/sedang berhadas besar) dilarang untuk melakukan puasa. Ia harus mengganti puasanya di hari-hari lain di luar bulan Ramadhan.

4. Syarat Sahnya Puasa

Ketika seorang muslim sudah wajib melaksanakan puasa (seperti disebutkan di atas), kemudian ia berpuasa, boleh jadi puasanya akan sah, benar, dan diterima secara hukum, tetapi boleh jadi tidak sah. Apa yang membuatnya sah?

  • Pertama, keislamannya. Selama ia dalam keadaan beragama Islam, puasanya sah. Tetapi, jika di tengah puasanya ia menyatakan “keluar” dari Islam, maka puasanya otomatis batal alias tidak sah. 
  • Kedua, kesucian dari haid dan nifas (bagi perempuan). Selama seorang muslim perempuan (muslimah) tidak dalam keadaan haid atau nifas maka puasanya tetap sah. Namun, jika di tengah puasanya ia mengalami haid atau nifas, maka otomatis puasanya batal alias tidak sah.
  • Ketiga, dan ini untuk puasa qodho (ganti) Ramadhan atau puasa sunnah, yaitu tidak melanggar “hari-hari yang dilarang berpuasa”. Kapan sajakah hari-hari itu? (1) Hari Raya Idul Fitri tanggal 1 Syawwal, (2) Hari Raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah, (3) Hari tasyrik, yaitu tiga hari setelah Idul Adha, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.  Selain hari-hari tersebut, para ulama juga menyatakan bahwa seorang wanita wajib meminta izin dari suaminya untuk melaksanakan puasa sunnah sehingga hari tatkala suami melarang istrinya untuk berpuasa termasuk juga “hari-hari yang dilarang berpuasa”. Adapun dalil yang mendasarinya adalah,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ

Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud)

5. Tujuh Keutamaan Puasa

Puasa Ramadhan memang berat karena pelaksanaannya sebulan penuh, sekitar 29 atau 30 hari. Namun, ada tujuh keutamaan yang mudah-mudahan dapat memotivasi kita untuk melaksanakan puasa Ramadhan, yaitu:

  • “Bau mulut orang yang berpuasa, itu lebih wangi di sisi Allah daripada bau minyak kesturi” (HR. Muslim)
  • “Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya, yaitu, pemimpin yang adil, orang yang berpuasa hingga ia berbuka, dan orang yang dizalimi. Doanya diangkat ke awan, lalu dibuka baginya pintu langit dan Tuhan berkata: 

وَ بِعِزَّتِى لَأَنْصُرَنَّكَ وَ لَوْ بَعْدَ حِيْنٍ

‘Demi kemuliaanku, saya pasti menolong engkau setelah ini'” (HR. Ahmad)

  • “Jika datang bulan Ramadhan, dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan dibelenggulah setan-setan” (HR. Bukhari dan Muslim)
  • “Siapa yang melakukan puasa pada bulan Ramadhan, dengan syarat karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampunilah dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhori)
  • “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa, sebagaimana telah diwajibkan pula atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian semua menjadi bertaqwa” (QS. Al-Baqoroh: 183)
  • “Sesungguhnya di dalam surga ada sebuah pintu yang bernama ‘Ar-Rayyan’. Dari pintu tersebutlah pada hari kiamat nanti orang-orang yang berpuasa akan masuk dan tidak ada yang masuk dari pintu itu selain mereka. Dan diserukanlah saat itu, “di manakah orang-orang yang berpuasa?” Mereka yang berpuasa pun bangun untuk memasuki pintu itu sedangkan yang lain tidak. Bila mereka telah masuk, maka pintu itu ditutup dan tidak ada lagi yang bisa memasukinya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
  • “Setiap amal perbuatan manusia akan dibalas sepuluh kali lipat dari aslinya, hingga 700 kali lipat. Allah ‘Azza wajalla Berkata:

إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَ أَنَا أَجْزِى بِهِ

kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan Membalasnya (secara khusus)  (HR. Muslim)

6. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan

Tidak semua puasa seorang muslim akan diterima. “Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan (pahala) apapun dari puasanya, kecuali (yang ia dapatkan) hanya lapar dan haus saja“, kata Nabi Muhammad. 

Oleh karena itu, ada hal-hal yang penting untuk kita perhatikan agar ibadah puasa kita Allah terima, yaitu:

  • Janganlah kita berpuasa kalau belum melihat bulan (hilal) yang menunjukkan masuknya tanggal 1 Ramadhan. 

a. Ru'yah al-Hilal dan Istikmal

Melihat bulan (ru’yah al-hilal) dapat kita lakukan pada masa kini dengan teropong. Namun, jika langit mendung dan bulan tidak terlihat, kita dapat menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (karena dalam kalender bulan, tidak ada tanggal 31). Metode penggenapan ini disebut istikmal (penyempurnaan bulan).

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ

“Puasalah kalian saat melihatnya (bulan 1 Ramadhan) dan berbukalah (lebaran) saat kalian melihatnya (bulan 1 Syawwal). Namun jika (bulan itu) tidak nampak bagimu, maka sempurnakanlah bilangan (Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.”

b. Metode Hisab

Adapun pada masa kini, ketika ilmu hisab atau astronomi telah dapat menentukan 1 Ramadan hingga seratus tahun ke depan, Apakah metode ru’yah al-hilal masih digunakan? Nah, inilah yang selalu menjadi perdebatan di Indonesia.

Menurut saya, kalangan tradisional (misalnya NU) melihat ru’yah al-hilal sebagai ibadah/sunnah sehingga ru’yah al-Hilal tetap menjadi prosedur utama sebagaimana nabi saw. melakukannya. Namun, menurut saya, kalangan muslim progresif (misalnya Muhammadiyah) melihatnya lebih sebagai sarana ibadah, sehingga penggunaan metode selain ru’yah al-hilal dapat dimungkinkan. Kesimpulan ini didasarkan atas pemahaman sebuah hadits Nabi yang berbunyi,

 إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَ لَا نَحْسِبُ الشَّهْرُ هكذَا وَ هكذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعِيْنَ وَ ثَلَاثِيْنَ وَ مَرَّةً ثَلَاثِيْنَ  

“Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak pula berhitung. Satu bulan adalah begini dan begini, yaitu, terkadang 29 dan terkadang 30 hari (HR. Bukhori dan Muslim)

  • Jangan sampai kita lupa niat berpuasa Ramadan pada malam hari sebelum pelaksanaan puasa. Nabi mengatakan, “Siapa yang tidak menetapkan niat puasa sebelum tibanya fajar (saat kita akan mulai puasa), maka tidak ada puasa baginya” (HR. Ibnu Majah, An-Nasa’i dan Ahmad). Bagaimana cara melakukan niat puasa?

Jazm, Ta'yin, Tabyit dan Tajdid

Pertama, kita harus mempunyai (1) keyakinan akan melakukan puasa, atau istilahnya, “jazm”, sehingga kita tidak ragu akan puasa atau tidak untuk besok, lalu, (2) agar tidak tertukar dengan puasa lain (sunnah atau qodho), kita harus nyatakan secara spesifik, ingin melakukan puasa apa (Ramadhan atau qodho), kapan puasanya (besok, tahun ini, atau kapan), atau istilah fiqihnya, di-“ta’yin”, kata ulama-ulama madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali (sedangkan Madzhab Hanafi tidak mewajibkan ta’yin).

Kemudian, (3), kita wajib mengucapkan penetapan niat itu, atau istilah fiqihnya, “tabyit”, sebelum memulai puasa saat fajar (sesuai hadits di atas), dan (4) memperbarui niat itu setiap malam, atau istilah fiqihnya, di-“tajdid“.

Ulama-ulama Syafi’i, Hanafi, dan Hambali mewajibkan pembaruan niat di setiap malam. Alasannya, karena yang disebut “puasa” itu adalah “ibadah menahan diri dari makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenam matahari”. Dari satu puasa ke puasa di hari selanjutnya dipisahkan oleh waktu-waktu berbuka dan itu menunjukkan bahwa puasa itu ada 29 atau 30 hari yang terpisah-pisah, sehingga pembaruan niat diperlukan di setiap awal puasa.

Namun, ulama madzhab Maliki tidak mewajibkan pembaruan niat, alasannya adalah karena puasa Ramadhan adalah satu kesatuan utuh, jadi jazm, ta’yin, dan tabyit hanya dilakukan cukup sekali untuk satu bulan, tidak diperlukan tajdid.

  • Jangan sampai kita melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa kita. Apa saja hal-hal yang dapat membatalkan puasa kita?

a. Sengaja Makan dan Minum

Sengaja makan dan minum. Bagaimana jika kita tidak sengaja minum (karena lupa) atau  makan? Hal itu tidak membatalkan puasa, tetapi wajib bagi kita untuk menghentikannya saat menyadarinya kemudian melanjutkan puasa. Nabi saw. mengatakan, 

  مَنْ نَسِيَ وَ هُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِب فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا اللهُ أَطْعَمَهُ وَ سَقَاهُ 

“Barangsiapa yang lupa, padahal dia berpuasa, dia makan atau minum, maka hendaknya (segera setelah ingat) ia melanjutkan puasanya, karena sesungguhnya Allah  telah Memberinya makan dan minum”

b. Sengaja Muntah

Sengaja membuat diri kita muntah dapat membatalkan puasa. Nabi mengatakan, ”Orang yang muntah tidak perlu mengqadha’, tetapi orang yang sengaja muntah wajib mengqadha”. (HR. Abu Daud, Tirmizy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim) 

c. Berhubungan Suami Istri

Berhubungan suami istri dapat menyebabkan batalnya puasa, walaupun tidak menyebabkan keluarnya air mani/sperma. Dalil yang menunjukkan larangan ini, antara lain, pemahaman terhadap QS. Al-Baqoroh ayat 187 yang berbunyi, “Dihalalkan bagi kamu, pada malam hari di bulan puasa, untuk ‘bercampur’ dengan istri-istri kamu …” Para ulama memahami kebalikan ayat tersebut dengan pemahaman, “penghalalannya adalah di malam hari, jadi di siang hari ‘bercampur’ dengan istri hukumnya adalah haram.”

d. Sengaja Mengeluarkan Air Mani

Mengeluarkan air mani dengan sengaja, seperti dengan onani/masturbasi atau dengan bercumbu dengan istri sehingga menyebabkan keluarnya air mani dapat membatalkan puasa.

Adapun jika air mani keluar dengan tidak sengaja, seperti tatkala seseorang bermimpi “basah”, maka hal itu tidak membatalkan puasa.

e. Sengaja Memasukkan Sesuatu ke Mulut

Jika kita memasukkan sebuah benda (walaupun bukan makanan) ke dalam mulut kita, persisnya ke tenggorokan hingga tertelan, maka puasa kita batal. Sebab, benda itu berasal dari luar diri kita. 

Namun, jika benda itu memang berada di mulut, seperti ludah, maka jika kita menelannya tidak menyebabkan batal puasa. Lain cerita kalau ludah itu kita keluarkan, lalu kita masukkan kembali ke mulut, maka hal tersebut dapat membatalkan.

Namun, menurut An-Nawawi (Al-Minhaj, hal. 76), jika ada sisa makanan yang begitu kecil sehingga sulit dipisahkan dari ludah, ataupun sisa makanan yang tidak kecil namun sulit dikeluarkan dari gigi kemudian tertelan, maka hal itu tidak membatalkan puasa. Kata An-Nawawi, 

وَلَوْ بَقِيَ طَعَامٌ بَيْنَ أَسْنَانِهِ فَجَرَى بِهِ رِيْقُهُ لَمْ يُفْطِرْ إِنْ عَجَزَ  عَنْ تَمْيِيْزِهِ وَ مَجِّهِ

“Kalau ada sisa makanan di antara giginya, kemudian terbawa air liurnya (sehingga ia menelannya), maka itu tidak membatalkan puasa, apabila ia kesulitan untuk memisahkan dan mengeluarkannya.”

f. Sengaja Memasukkan Sesuatu ke Dalam Hidung, Telinga, dan Kemaluan

Sengaja memasukkan sesuatu ke hidung dapat membatalkan puasa. Sebagai contoh saat berwudhu, biasanya kita selalu ber-mubalaghoh memasukkan air ke dalam hidung. Namun, kata nabi,

بَالِغْ فِى الإِسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

Seriuslah (mubalaghoh) kalian saat menghirupkan air ke hidung (saat berwudhu), kecuali saat kalian dalam keadaan berpuasa” (HR. Abu Daud, Al-Hakim dan Ibn Abi Syaibah)

Selain memasukkan sesuatu ke dalam hidung, puasa kita juga dapat batal jika kita memasukkan sesuatu ke dalam rongga telinga yang dalam (yang tidak terjangkau jari) dan ke dalam kemaluan (baik depan ataupun belakang).

g. Haid dan Nifas

Haid dan Nifas dapat membatalkan puasa karena syarat sahnya puasa (sebagaimana telah dijelaskan di muka) adalah suci dari haid dan nifas.

  • Jangan sampai kita merusak nilai pahala puasa dengan akhlak dan perbuatan tercela. Sebagaimana telah dikatakan di muka, betapa banyak orang Islam yang berpuasa tetapi mereka tidak menerima pahala puasanya, melainkan hanya menerima lapar dan dahaga saja. Nabi Muhammad mengatakan,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan yang keji dan melakukannya pula, maka Allah tidak memerlukan dia untuk meninggalkan makan dan minumnya” (HR. Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi)

7. Pertanyaan Yang Sering Ditanyakan

  1. Apakah wanita hamil dan menyusui wajib melakukan “ganti puasa” (qodho) ataukah membayar fidyah ataukah keduanya? Hal ini sudah dijelaskan pada bagian ketiga di atas.
  2. Bagaimana jika kita belum melakukan “ganti puasa” (qodho) tetapi sudah masuk waktu Ramadhan berikutnya? Pada umumnya, para ulama dari berbagai madzhab menyatakan, jika sudah tiba Ramadhan berikutnya maka hendaknya kita melakukan puasa pada Ramadhan tersebut dan melanjutkan “ganti puasa” sesudah Ramadhan itu usai. Perbedaan para ulama hanyalah pada soal apakah “ganti puasa” itu harus diikuti dengan membayar fidyah atau tidak. Menurut Ibnul Humam (Madzhab Hanafi), tidak perlu disertai fidyah; namun, menurut Ibnu Abdil Barr (Madzhab Maliki), An-Nawawi (Madzhab Syafi’i), dan Ibnu Qudamah (Madzhab Hambali), juga perlu disertai fidyah. 
  3. Apakah “ganti puasa” (qodho) harus berturut-turut? Menurut mayoritas ulama tidak harus berturut-turut. Hanya madzhab Zhohiri dan Hasan Al-Bashri yang mewajibkan berturut-turut.

8. Sunnah-Sunnah Puasa

Sunnah puasa adalah hal-hal yang kita lakukan saat berpuasa dengan tanpa-konsekuensi-berdosa jika kita tidak melakukannya, tetapi jika kita lakukan, tentu saja kita mendapatkan tambahan pahala. Apa sajakah sunnah-sunnah puasa?

  • Makan sahur. Jika waktu fajar (waktu memulai puasa) adalah pukul 04.00 pagi, maka kita dapat bangun pada pukul 03.00 untuk memasak nasi, telur, ikan, atau makanan yang tersedia di dapur kita. Kita memakannya sebelum waktu puasa dimulai. Makan sebelum puasa ini disebut sahur. Kata Nabi Muhammad, sahur itu barokah dan para malaikat (yang tidak dapat kita lihat) mendoakan saat kita bersahur.

اَلسَّحُوْرُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةَ مَآءٍ فَإِنَّ اللهَ وَ مَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ

“Sahur itu barakah maka jangan tinggalkan meski hanya dengan seteguk air. Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur” (HR Ahmad)

Sahur itu sendiri sudah sunnah dan merupakan barokah, tetapi, jika kita makan sahur menjelang dekat-dekat sebelum fajar tiba, maka ada tambahan pahala sunnah lainnya. Kata Nabi, “Umatku masih dalam kebaikan selama mereka “bersegera” (ta’jil) dalam berbuka dan “mengakhirkan” (ta’khir) dalam sahur.” (HR. Ahmad) 

  • Bersegera dalam Berbuka Puasa. Sunnah bagi kita untuk segera berbuka puasa saat waktu maghrib tiba, sebagaimana sabda Nabi, “Umatku masih dalam kebaikan selama mereka “bersegera” (ta’jil) dalam berbuka dan “mengakhirkan” (ta’khir) dalam sahur.” (HR. Ahmad). Jadi, jika ditanyakan kepada kita, apakah saat waktu berbuka tiba kita lebih baik segera berbuka ataukah segera melaksanakan salat maghrib? maka jawabannya adalah segera berbuka, baru setelah itu melaksanakan salat maghrib. 
  • Memberi Makan Orang yang Berpuasa. Nabi saw. mengatakan bahwa memberi makan orang yang berpuasa bernilai seperti halnya kita berpuasa juga.

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192)

  • Membaca Al-Qur’an. Nabi saw. selalu membaca Al-Qur’an pada bulan Ramadhan (bersama Malaikat Jibril) sehingga sunnah bagi kita untuk meneladaninya.

كَانَ جِبْرِيْلُ يَلْقَى النَّبِيَّ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

“Jibril selalu menemui nabi saw. pada setiap malam di bulan Ramadhan untuk mengajarkannya Al-Qur’an” (HR. Bukhori dan Muslim)

  • Bersedekah di Bulan Ramadhan. Nabi saw. gemar bersedekah pada bulan Ramadhan sehingga sunnah bagi kita untuk meneladaninya juga.

أَنَّهُ كَانَ أَجْوَدُ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَ كَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فِى رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ

“Rasulullah adalah orang yang sangat murah hati untuk memberikan sumbangan dan beliau lebih murah hati lagi pada bulan Ramadhan, yaitu tatkala Jibril menemuinya (HR. Bukhori dan Muslim)

Kesimpulan

Demikianlah gambaran tentang puasa Ramadhan, tentang syarat wajib dan syarat sahnya, tentang hal-hal yang membatalkan puasa, dan lain sebagainya. Semoga artikel ini dapat memberikan gambaran yang jelas tentang puasa Ramadhan, guna menjadi pelita bagi setiap muslim yang ingin melaksanakannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.