Home » Tradisi Memperingati Kelahiran Nabi Muhammad Saw. di Indonesia
Di Indonesia, kelahiran Nabi Muhammad Saw., atau maulid, diperingati setiap tahun secara formal. Menurut Peraturan Menteri Agama RI No. 5 Tahun 2010 Tentang Penetapan Hari-Hari Besar Islam Tingkat Kenegaraan, tujuan dari peringatan tersebut adalah agar umat Islam dapat mempelajari, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Untuk itu, pemerintah menetapkan tanggal yang bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal sebagai hari libur nasional.
Pada tingkat kenegaraan, peringatan ini dilakukan dengan mendengarkan dakwah bil lisan, alias mendengarkan pidato yang disampaikan oleh ulama pilihan pemerintah yang biasanya berkenaan dengan hikmah maulid Nabi Muhammad Saw.
Di tengah-tengah masyarakat, peringatan kelahiran nabi saw. diselenggarakan dalam berbagai bentuk kegiatan.
Terpengaruh oleh tradisi Islam yang dibawa oleh para habaib dari Hadramaut dan dianggap berakar pada tradisi kaum muslimin pada era dinasti Bani ‘Abbas, kaum muslim tradisional (di Indonesia, terhimpun dalam ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama) biasanya berkumpul untuk membacakan sya’ir berbahasa Arab tentang kisah Nabi Muhammad Saw., puji-pujian dan shalawat untuk beliau dalam kitab “Al-Barzanji“ (nama aslinya Kitab ‘Iqdul Jawahir) yang ditulis oleh Sayyid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim bin Muhammad Al-Barzanji atau dalam Kitab “Burdah” yang ditulis oleh Imam Al-Bushiri dan kitab-kitab lainnnya.
Pada saat pembacaan sampai pada bagian “kelahiran nabi saw.” maka berdirilah jamaah sembari melantunkan “marhaban jaddal husaini” (artinya “selamat datang, kakeknya Hasan dan Husein”). Lalu, setelah pembacaan kitab tersebut, biasanya seorang kyai atau ustadz akan berdiri untuk memberikan ceramah.
Bagi kaum muslim tradisional, tradisi tersebut bukan hanya memiliki akar sejarah yang panjang tetapi juga mempunyai dalil-dalil yang dapat dipertanggung-jawabkan, di antaranya sebagai berikut:
Bersandar pada otoritas Ibnu Hajar Al-Atsqolani yang menyatakan bahwa diperbolehkan bagi kaum muslim untuk memperingati hari-hari bersejarah berdasarkan hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tiba di Madinah, Beliau mendapatkan mereka (orang Yahudi) malaksanakan shaum hari ‘Asyura (10 Muharam) dan mereka berkata; “Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu Nabi Musa ‘Alaihissalam mempuasainya sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Beliau bersabda: “Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka”. Maka Beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummat Beliau untuk mempuasainya (HR. Bukhari)
Selain itu, bagi kaum muslim tradisional, kewajiban umat Islam terhadap nabi saw. bukan terbatas hanya beriman kepadanya melainkan juga dengan memuliakannya.
Maka, di antara banyak cara memuliakan beliau adalah dengan memujinya, bershalawat kepadanya, tidak terkecuali melalui bentuk kegiatan berkumpul, bershalawat kepada nabi, memuji-muji nabi dan mendengarkan ceramah yang mengangkat kisah perjuangan dan dakwah nabi saw.
Di antara ayat Al-Qur’an yang memerintahkan untuk memuliakan nabi saw. adalah QS. Al-A’raf ayat 156-157 berikut:
۞ وَاكْتُبْ لَنَا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ اِنَّا هُدْنَآ اِلَيْكَۗ قَالَ عَذَابِيْٓ اُصِيْبُ بِهٖ مَنْ اَشَاۤءُۚ وَرَحْمَتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍۗ فَسَاَكْتُبُهَا لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَالَّذِيْنَ هُمْ بِاٰيٰتِنَا يُؤْمِنُوْنَۚ ١٥٦ اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ ١٥٧
Namun, sebagian kaum muslim di tanah air yang terpengaruh oleh ide pemurnian Islam Muhammad bin Abdul Wahhab (kini disebut Kaum Wahabi atau Salafi) sejak reformasi politik dan dakwah di Arab Saudi pada tahun 1926, menjauhkan diri dari peringatan maulid, bahkan menyebutnya perbuatan bid’ah (jenis ibadah baru yang terlarang).
Baca Juga: Dampak Ide Pemurnian Islam Muhammad bin Abdul Wahab dalam “Sejarah Tradisi Tahlilan”
Selain karena terdapat unsur puji-pujian yang berlebihan kepada Nabi Saw yang dianggap dapat mengakibatkan pengkultusan manusia (seperti yang dialami oleh Nabi Isa), maulid juga dianggap menyerupai atau telah menjadi “id” atau “hari raya” yang tidak diperbolehkan pelaksanaannya tanpa adanya perintah dari nabi saw.
Karena itu, selama hampir seratus tahun telah terjadi perbedaan pendapat yang kerap berujung pertengkaran antara kaum muslim tradisional yang terpengaruh dari Hadramaut dan kaum muslim modernis yang terpengaruh dari Arab Saudi.
Sedikit berbeda dengan kelompok Salafi/Wahabi, Ormas Muhammadiyah, yang juga berakar pada ide pemurnian Islam, menganggap tradisi maulid sebagai sesuatu yang “tidak ada perintahnya dan tidak pula terdapat larangannya”. Dengan demikian, Muhammadiyah hanya tidak melaksanakannya.
Namun demikian, Muhammadiyah menganggap bahwa membaca kitab puji-pujian yang berlebihan kepada Nabi Saw merupakan tradisi yang dapat mencederai hukum maulid, oleh sebab itu, jika maulid diselenggarakan, maka pembacaan tersebut sebaiknya tidak dilaksanakan.
Sejalan dengan pemikiran Muhammadiyah tersebut, pemerintah Indonesia menyelenggarakan maulid tanpa pembacaan kitab maulid yang berisi puji-pujian terhadap Nabi Saw. Seperti telah dikemukakan di muka, setiap tahun pemerintah menetapkan satu hari libur nasional untuk memperingati Maulid Nabi Saw lalu mengisinya dengan ceramah keislaman di istana negara.
Namun, sebagai solusi jangka panjang untuk menjaga ukhuwah Islamiyah di Indonesia, agaknya, pemikiran kita terhadap Islam mestinya tidak dikekang oleh ide-ide yang (tanpa terasa) telah menjadi identitas kelompok. Misalnya, “Salafi itu anti-maulid”, “NU itu pro-maulid”, “Muhammadiyah pro-qunut”, “Salafi pro-cingkrang”, dan sebagainya. Karena “ide yang menjadi identitas” tersebut dapat memburamkan objektivitas kita dalam melihat kebenaran. Kita tidak akan pernah memiliki keberanian untuk berbeda pendapat dengan ide kelompok kita.
Muhammadiyah telah memulai pemikiran yang objektif bahwa persoalan maulid bersifat baru dan ijtihadi (perlu dibahas hukumnya). Maka, menetapkan maulid sebagai bid’ah merupakan hasil ijtihad kelompok Salafi/Wahabi dengan mengqiaskan (menganalogikan) maulid dengan hari raya (‘id). Akan tetapi, membolehkan maulid yang dilakukan oleh Nahdhatul Ulama juga merupakan ijtihad berdasarkan dalil yang telah dikemukakan di atas.
Oleh karena itu, perbedaan hasil ijtihad antar kelompok hendaknya tidak membuat sesama muslim bertengkar. Namun penting bagi kita untuk menghayati pemikiran berikut: