Home » Sejarah Inggris
Pada awalnya, wilayah Inggris kuno didiami oleh suku-suku Celtic yang tersebar di seluruh wilayah tersebut. Namun, pada tahun 43 Masehi, Kaisar Romawi Claudius memerintahkan pasukannya untuk menyerang orang-orang Celtic tersebut dan setelah melalui pertempuran yang sengit, Romawi berhasil menguasai sebagian besar wilayah yang dahulu disebut Britania itu.
Kekuasaan Romawi di Inggris
Romawi pelan-pelan membangun peradaban di Inggris kuno. Mereka membangun jaringan jalan, jembatan, tembok pertahanan, dan bangunan umum lainnya di Inggris. Selain itu, Romawi juga memperkenalkan agama Kristen ke Inggris dan mendirikan gereja-gereja.
Namun, pada abad ke-4 Masehi, Romawi mengalami kemunduran dan mulai menarik pasukannya dari wilayah Inggris. Hal ini memberikan kesempatan bagi suku-suku Jermanik seperti suku Anglo-Saxon untuk masuk ke Inggris dan menguasainya pada abad ke-5 Masehi.
Pada abad ke-5, tiga suku Jermanik – Saxon, Angles, dan Jutes – menyerbu wilayah Inggris yang saat itu dikuasai oleh bangsa Britania-Romawi. Mereka menginvasi wilayah di sebelah timur laut pulau, yang kemudian menjadi wilayah yang kini dikenal sebagai Inggris.
Penaklukan tersebut tidak dilakukan sekali waktu, tetapi terjadi dalam beberapa gelombang, dimulai dengan invasi Jutes ke Kent pada sekitar tahun 449, lalu Angles menginvasi wilayah sekitar Sungai Humber, sedangkan Saxons menaklukkan wilayah Wessex dan Mercia. Kekuatan-kekuatan ini kemudian bersatu dan membentuk kerajaan Anglo-Saxon yang kemudian menjadi salah satu kekuatan paling dominan di Inggris selama berabad-abad.
Saat mereka menginvasi, suku-suku Jermanik ini membawa kebudayaan mereka sendiri, termasuk bahasa mereka yang kemudian berkembang menjadi bahasa Inggris Kuno. Mereka juga memperkenalkan agama Kristen, meskipun agama ini belum sepenuhnya diterima oleh seluruh rakyat Inggris pada saat itu.
Pada abad ke-7, Inggris kuno menjadi terbagi menjadi beberapa kerajaan yang saling bersaing dan berperang satu sama lain. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut adalah Northumbria, Mercia, dan Wessex. Pada saat itulah, agama Kristen mulai menyebar di Inggris kuno. Bagaimanakah cara Kristen memasuki Inggris?
Alkisah, St. Augustine, yang kemudian menjadi Uskup Agung Canterbury, dikirim ke Inggris oleh Paus Gregorius Agung pada tahun 597 untuk menyebarkan agama Kristen kepada bangsa Anglo-Saxon. Setelah tiba di Inggris, ia dan para misionaris Kristen lainnya memulai kampanye mereka di kerajaan Kent dan mendirikan gereja-gereja dan pusat-pusat keagamaan di Canterbury dan sekitarnya.
Augustine kemudian bertemu dengan Raja Ethelbert dari Kent dan berhasil mengonversinya ke Kristen, sehingga memperluas jangkauan misi Kristen ke wilayah lain di Inggris. Namun, penyebaran agama Kristen tidak selalu berjalan mulus, terutama ketika agama pagan yang dipraktikkan oleh masyarakat Anglo-Saxon masih sangat kuat.
Suku-suku Anglo-Saxon menyembah berbagai dewa dan roh, termasuk dewa-dewi seperti Woden, Thor, Freya, dan sebagainya. Agama ini memiliki kaitan dengan alam dan musim, dan praktik-praktik seperti pengorbanan hewan juga dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh keberuntungan dan melindungi diri dari bahaya.
Augustine terus bekerja dengan gigih hingga akhirnya berhasil membawa banyak orang Inggris ke dalam agama Kristen, yang akhirnya menjadi agama dominan di Inggris pada akhir Abad Pertengahan.
Pada abad ke-9, Viking mulai menyerang Inggris kuno dan menjarah wilayah tersebut. Ini mengakibatkan beberapa kerajaan Inggris kuno runtuh, sementara kerajaan lainnya berkembang dan memperkuat diri untuk melawan serangan Viking.
Orang-orang Viking berasal dari negara-negara Skandinavia, seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia. Mereka memasuki Inggris untuk mencari kekayaan, terutama emas dan perak, serta untuk mencari tempat untuk dihuni.
Viking melakukan serangan dan penjarahan di wilayah Inggris secara berkala selama lebih dari 200 tahun sejak abad ke-9. Mereka menyerang kota-kota pantai, seperti York, London, dan Canterbury, serta monasteri-monasteri dan pemukiman-pemukiman kecil di seluruh Inggris.
Selama masa penyerangan, Viking juga membangun benteng-benteng dan pemukiman di Inggris, seperti di York, Jorvik, dan Dublin. Mereka juga membawa agama mereka, yaitu paganisme Norse, ke Inggris.
Namun, pada abad ke-10, Wessex menjadi kerajaan terkuat di Inggris kuno dan berhasil mengalahkan Viking. Pada akhirnya, Viking yang menetap di Inggris mulai beralih ke agama Kristen dan menyatu dengan masyarakat Inggris. Namun, pengaruh Viking tetap terlihat dalam budaya Inggris, seperti dalam bahasa, tradisi, dan arsitektur.
Beberapa kata dalam bahasa Inggris modern masih memiliki akar Norse atau bahasa Viking, seperti “berserk“, “saga“, dan “thor” sebagai contohnya. Selain itu, beberapa wilayah di Inggris juga memiliki nama yang berasal dari Viking, seperti York (dari kata Viking “Jorvik“) dan Derby (dari kata Viking “Deoraby“). Warisan Viking juga dapat dilihat dalam tradisi seperti olahraga tradisional “hurling“, yang mirip dengan permainan Viking yang disebut “knattleikr“.
Pada 1066, setelah mengalahkan pasukan Inggris di pertempuran Hastings, William Sang Penakluk berhasil menaklukkan Inggris dan menjadi raja Inggris pertama dari dinasti Norman. Sang raja memerintah dari tahun 1066 hingga 1087.
William memperkenalkan sistem feodalisme, yang memberikan tanah dan hak atas warga Inggris yang setia kepada raja. Ia juga memperkenalkan bahasa Prancis dan tradisi Norman, yang berpengaruh pada bahasa dan budaya Inggris pada masa itu.
Selain itu, William juga membangun banyak kastil di seluruh Inggris untuk mengamankan kekuasaannya, termasuk Kastil Tower di London. Meskipun awalnya mendapat perlawanan dari warga Inggris, William berhasil mengonsolidasikan kekuasaannya dan menetapkan fondasi untuk pemerintahan Norman di Inggris selama berabad-abad.
Pada abad ke-11, Paus Urbanus menyerukan Perang Salib. Perang ini adalah serangkaian konflik militer antara abad ke-11 dan ke-13 yang melibatkan Eropa dan Timur Tengah, antara Kristen dan Islam. Inggris terlibat dalam perang panjang ini dan sejarah Inggris sejak Perang Salib mencakup banyak peristiwa penting, berikut beberapa di antaranya:
pada akhir abad ke-12, Dinasti Plantagenet naik tahta Inggris dengan naiknya Raja Henry II. Dinasti ini terus berkuasa selama hampir tiga abad dan mencakup beberapa raja terkenal seperti Raja Richard the Lionheart dan Raja Henry V.
pada tahun 1215, Raja John dituntut oleh para baron Inggris untuk menandatangani Magna Carta, dokumen yang menjamin hak-hak dasar bagi rakyat Inggris dan menetapkan batasan kekuasaan raja.
Pada abad ke-14 terjadi perang besar antara Inggris dan Perancis. Perang Seratus Tahun, perang panjang ini adalah konflik yang dimulai pada tahun 1337 ketika Raja Edward III dari Inggris mengklaim takhta Prancis melalui hubungan keluarga.
Konflik ini berlangsung selama hampir satu abad dan mencakup beberapa pertempuran terkenal seperti Pertempuran Crécy dan Pertempuran Agincourt. Konflik ini berakhir pada tahun 1453 ketika Inggris berhasil merebut kota Bordeaux dan beberapa wilayah di Prancis, namun konflik ini tidak sepenuhnya diakhiri hingga Perjanjian Picquigny ditandatangani pada tahun 1475.
Penyebab utama Perang Seratus Tahun adalah ambisi Inggris untuk memperluas wilayahnya ke daratan Eropa dan klaim mereka atas takhta Prancis. Selain itu, hubungan antara Inggris dan Prancis juga tegang karena persaingan ekonomi dan perdagangan yang semakin intensif.
Pemenang Perang Seratus Tahun adalah Inggris, yang berhasil merebut sebagian wilayah di Prancis dan mengukuhkan kekuasaannya di laut. Namun, perang ini juga menimbulkan dampak besar bagi kedua belah pihak, termasuk kerugian besar dalam jumlah korban jiwa dan harta benda serta kerusakan ekonomi dan sosial yang berkepanjangan.
Setelah Perang Seratus Tahun, terjadi peristiwa penting lainnya: Reformasi Protestan. Reformasi Protestan di Inggris pada masa Raja Henry VIII dimulai pada tahun 1534, ketika Raja Henry VIII memproklamirkan Kepala Gereja Inggris dan memisahkan Gereja Inggris dari Gereja Katolik Roma.
Penyebab terjadinya pemisahan ini adalah karena Raja Henry VIII ingin menceraikan istrinya, Catherine of Aragon, karena tidak memberikan keturunan laki-laki. Namun, Paus tidak mengizinkan perceraian tersebut, sehingga Raja Henry VIII memutuskan untuk memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma dan mendirikan Gereja Inggris yang berpusat pada dirinya sebagai kepala gereja.
Setelah mendirikan Gereja Inggris, Raja Henry VIII melakukan reformasi dalam gereja dan mempromosikan doktrin-doktrin Protestan, seperti penolakan terhadap keuskupan Roma, penghapusan praktik-praktik seperti puasa dan doa bagi orang mati, serta penghapusan keharusan untuk menjadi biarawan atau biarawati. Meskipun demikian, Gereja Inggris yang didirikan oleh Raja Henry VIII masih mempertahankan beberapa doktrin dan ritual Gereja Katolik Roma, termasuk penggunaan Sakramen dan Hierarki gereja.
Reformasi Protestan di Inggris pada masa Raja Henry VIII memiliki dampak besar pada sejarah Inggris dan dunia. Perpecahan dengan Gereja Katolik Roma mengubah struktur keagamaan dan politik Inggris serta memicu konflik antara Inggris dan negara-negara Katolik lainnya di Eropa. Selain itu, Reformasi Protestan juga memengaruhi perkembangan pemikiran dan budaya di Inggris serta membuka jalan bagi gerakan Reformasi Protestan lainnya di Eropa.
Sejarah Inggris sejak masa Ratu Elisabeth I (1558-1603) terdiri dari banyak peristiwa dan perubahan penting dalam politik, budaya, dan ekonomi Inggris. Pada periode ini, Inggris mulai menginvasi Irlandia. Dan berikut beberapa peristiwa penting lain pada masa ini:
Pada tahun 1588, armada Spanyol mencoba menyerang Inggris, tetapi berhasil dipukul mundur oleh angkatan laut Inggris yang dipimpin oleh Sir Francis Drake. Kemenangan ini mengokohkan posisi Inggris sebagai kekuatan laut utama di Eropa.
Pada awal abad ke-17, Inggris mulai mengirimkan penduduk dan membuka pemukiman di Amerika sebelah utara. Pemukiman-pemukiman seperti Jamestown dan Plymouth menjadi awal dari koloni-koloni Inggris di Amerika Utara.
Ada beberapa alasan mengapa Inggris melakukan pengiriman ini, di antaranya adalah:
Inggris berusaha untuk mengembangkan kekuasaannya dan menjelajahi wilayah-wilayah baru untuk mencari sumber daya baru dan memperluas pengaruhnya di dunia.
Sebagian besar penduduk Inggris yang melakukan migrasi ke Amerika adalah kelompok Protestan yang ingin melarikan diri dari penindasan agama di Inggris, seperti penganiayaan oleh Gereja Katolik Roma dan keterlibatan Gereja Inggris dalam konflik agama.
Inggris melihat kolonisasi sebagai cara untuk memperoleh sumber daya dan meningkatkan perdagangan mereka di Amerika, seperti hasil pertanian, kayu, dan sumber daya mineral.
Beberapa penduduk Inggris yang bermigrasi ke Amerika ingin mencari kebebasan dalam hal politik, ekonomi, dan sosial.
Koloni-koloni Inggris di Amerika berkembang pesat selama abad ke-17 dan ke-18 dan menjadi negara-negara baru yang penting di Amerika. Proses kolonisasi ini memiliki dampak besar pada sejarah Amerika dan dunia, karena menjadi awal dari proses pembentukan Amerika Serikat dan pengaruh Inggris dalam membentuk budaya dan kebijakan di Amerika.
Pada abad ke-17 (1642-1651) terjadi perang saudara di Inggris yang merupakan konflik bersenjata antara pihak Royalis (yang mendukung Raja Charles I) dengan pihak Parlementaria (yang mendukung Parlemen Inggris). Konflik ini disebut juga dengan nama Perang Sipil Inggris.
Pemicu dari perang ini adalah perselisihan antara Raja Charles I dengan Parlemen Inggris, terutama terkait masalah keuangan dan kebijakan agama. Raja Charles I berusaha menguasai kekuasaan pemerintahan dengan cara menutup Parlemen Inggris dan memerintah secara otoriter, namun pihak Parlementaria menentang kebijakan ini dan menuntut hak-hak mereka sebagai wakil rakyat.
Pada tahun 1642, konflik ini memuncak dan memicu pecahnya perang. Selama perang ini, kedua belah pihak melakukan pertempuran sengit di berbagai wilayah Inggris, seperti di York, Marston Moor, dan Naseby. Pada tahun 1646, pasukan Royalis berhasil dikalahkan oleh pasukan Parlementaria dan Raja Charles I ditangkap.
Raja Charles I kemudian diadili dan dieksekusi pada tahun 1649 oleh pihak Parlementaria. Setelah kematian Raja Charles I, Inggris diproklamirkan sebagai republik dengan Oliver Cromwell sebagai pemimpinnya. Namun, setelah kematian Oliver Cromwell pada tahun 1658, kekuasaan kembali berpindah ke tangan keluarga kerajaan Inggris dan perang ini diakhiri dengan Restorasi pada tahun 1660, di mana monarki kembali dipulihkan di Inggris.
Perang Saudara Inggris memberikan dampak besar pada politik, budaya, dan sosial di Inggris, termasuk terkait dengan pengaruh agama, kebebasan sipil, dan pembagian kekuasaan antara raja dan parlemen.
Revolusi Industri di Inggris dimulai pada akhir abad ke-18 dan berlangsung hingga pertengahan abad ke-19. Revolusi ini ditandai dengan perubahan besar dalam cara produksi, perdagangan, dan masyarakat di Inggris, serta menjadi awal dari perubahan besar dalam sejarah dunia.
Salah satu faktor yang memicu Revolusi Industri di Inggris adalah perkembangan teknologi dalam bidang industri dan pertanian, seperti mesin tenun dan pabrik kapas yang memungkinkan produksi lebih efisien. Selain itu, Inggris memiliki sumber daya alam yang melimpah, seperti batu bara dan bijih besi, yang menjadi bahan baku penting dalam industri.
Pada masa Revolusi Industri, Inggris juga mengalami perkembangan dalam sektor transportasi dan perdagangan, seperti pembangunan jalur kereta api dan pelabuhan yang memudahkan distribusi barang. Perubahan sosial juga terjadi, dengan munculnya kelas pekerja industri baru yang bekerja di pabrik-pabrik besar.
Revolusi Industri mengubah Inggris dari negara agraris menjadi negara industri yang maju, dengan meningkatnya produksi dan kemakmuran. Namun, perubahan ini juga memberikan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan, seperti perubahan dalam struktur kelas sosial dan peningkatan urbanisasi.
Revolusi Industri di Inggris menjadi awal dari perubahan besar dalam sejarah dunia, dengan mempengaruhi perkembangan industri di negara lain dan membuka jalan untuk kemajuan teknologi yang lebih lanjut.
Sejarah kolonialisme Inggris dimulai pada abad ke-16 dengan eksplorasi dan penjelajahan wilayah baru di luar Inggris. Inggris menjadi salah satu kekuatan kolonial terbesar di dunia, dan memiliki banyak koloni dan protektorat di seluruh dunia, terutama di Amerika Utara, India, Afrika, dan Australia.
Pada awalnya, Inggris mengirim ekspedisi ke Amerika Utara dan mendirikan koloni di Jamestown, Virginia pada tahun 1607 dan di Massachusetts pada tahun 1620. Koloni-koloni ini berfungsi sebagai basis untuk ekspansi Inggris ke Amerika Utara. Di samping itu, Inggris juga memiliki koloni di Karibia dan di Amerika Selatan.
Selama abad ke-18 dan 19, Inggris mengalami perkembangan yang signifikan dalam bidang industri, sehingga menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Untuk mendukung industri dan perdagangan, Inggris mencari sumber daya alam di luar negeri dan menaklukkan wilayah-wilayah baru di India dan Afrika. India menjadi salah satu koloni terpenting Inggris dengan didirikannya British East India Company, dan kemudian dijadikan wilayah kekuasaan langsung oleh Inggris.
Inggris juga memiliki pengaruh besar di Afrika melalui perdagangan budak dan penjajahan wilayah-wilayah Afrika Selatan dan Afrika Timur. Di Australia, Inggris mendirikan koloni di Sydney pada tahun 1788 dan kemudian mendirikan federasi Australia pada tahun 1901.
Meskipun Inggris mengalami kejayaan sebagai kekuatan kolonial, namun juga memunculkan banyak masalah, seperti penindasan terhadap penduduk asli, eksploitasi sumber daya alam, dan perbudakan. Akhirnya, pada awal abad ke-20, banyak koloni Inggris meraih kemerdekaan mereka, dan Inggris kehilangan kekuasaan atas koloni-koloni tersebut.
Perang Dunia I dimulai pada tahun 1914 dan berakhir pada tahun 1918. Inggris bergabung dengan sekutu yang terdiri dari Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat untuk melawan Blok Sentral yang terdiri dari Jerman, Austria-Hungaria, dan Italia.
Inggris mengirimkan lebih dari 5 juta tentara dan terlibat dalam pertempuran besar seperti Pertempuran Somme dan Pertempuran Passchendaele. Inggris juga terlibat dalam blokade laut terhadap Jerman yang membatasi pasokan makanan dan bahan bakar.
Pada akhirnya, Inggris dan sekutu berhasil memenangkan perang, dan Perjanjian Versailles ditandatangani pada tahun 1919, yang menetapkan kondisi perdamainya.
Perang Dunia II dimulai pada tahun 1939 dan berakhir pada tahun 1945. Inggris kembali bergabung dengan sekutu dan terlibat dalam perang melawan Blok Poros, yang terdiri dari Jerman, Italia, dan Jepang.
Inggris menjadi target utama serangan udara Jerman selama Pertempuran Britania Raya dan mengalami kerugian besar. Namun, Inggris berhasil membalikkan keadaan pada Pertempuran El Alamein dan D-Day, yang merupakan pendaratan sekutu di Normandia.
Selain itu, Inggris juga terlibat dalam perang laut, dengan kemenangan terbesar terjadi pada Pertempuran Atlantik. Pada akhirnya, Inggris dan sekutu berhasil memenangkan perang dan Perjanjian Potsdam ditandatangani pada tahun 1945, yang menetapkan kondisi perdamainya.
Selama kedua perang dunia, Inggris mengalami kerugian besar baik dalam sumber daya manusia maupun materi. Namun, Inggris berhasil memainkan peran penting dalam memenangkan perang dan memperoleh posisi strategis di panggung dunia setelah perang. Inggris juga terlibat dalam pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945, yang menjadi cikal bakal terbentuknya PBB yang ada hingga saat ini.
Sejak tahun 1973, Inggris bergabung dengan Komunitas Ekonomi Eropa (EEC), yang kemudian menjadi Uni Eropa. Namun, pada tahun 2020 Inggris menyatakan keluar dari Uni Eropa. Bagaimana peristiwa ini terjadi?
Brexit terjadi karena pada tahun 2016, Inggris melakukan referendum untuk menentukan apakah mereka ingin tetap menjadi anggota Uni Eropa atau keluar dari Uni Eropa. Referendum ini diadakan sebagai tanggapan atas kekhawatiran di kalangan masyarakat Inggris mengenai imigrasi, ketergantungan pada Uni Eropa, dan kebijakan ekonomi Uni Eropa yang dianggap merugikan Inggris.
Hasil referendum menunjukkan bahwa mayoritas warga Inggris mendukung keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Pemerintah Inggris kemudian mengumumkan niatnya untuk keluar dari Uni Eropa dan memulai negosiasi dengan Uni Eropa mengenai syarat dan kondisi keluarnya.
Negosiasi Brexit berlangsung selama beberapa tahun dan diwarnai oleh perselisihan dan ketidaksepakatan mengenai berbagai masalah, termasuk hak imigrasi, peraturan perdagangan, dan keamanan. Pada akhirnya, pada tanggal 31 Januari 2020, Inggris secara resmi keluar dari Uni Eropa dan memulai masa transisi selama 11 bulan.
Selama masa transisi ini, Inggris dan Uni Eropa mencapai kesepakatan mengenai sejumlah isu, termasuk perdagangan, keamanan, dan hak imigrasi. Namun, perundingan ini juga diwarnai oleh ketidaksepakatan dan kontroversi, dan banyak pihak yang merasa bahwa Inggris mendapatkan kesepakatan yang kurang menguntungkan.
Brexit telah berdampak pada berbagai aspek kehidupan Inggris dan Uni Eropa, termasuk perdagangan, perjalanan, dan hubungan internasional. Meskipun Inggris telah keluar dari Uni Eropa, kedua pihak masih terus melakukan negosiasi dan berusaha mencapai kesepakatan yang lebih baik di masa depan.
Inggris saat ini adalah sebuah negara maju yang memiliki ekonomi yang kuat dan banyak mempengaruhi perkembangan politik dan ekonomi global. Meskipun mengalami beberapa tantangan seperti Brexit dan pandemi COVID-19, Inggris tetap menjadi negara yang diperhitungkan dalam bidang perdagangan, teknologi, dan budaya. Inggris juga memiliki sistem pendidikan yang terkenal di seluruh dunia dan merupakan tujuan wisata yang populer karena memiliki banyak destinasi bersejarah dan keindahan alam yang menakjubkan. Di samping itu, Inggris juga merupakan negara yang multikultural, dengan penduduk dari berbagai latar belakang yang hidup dan bekerja bersama dalam harmoni.
@ 2023 MisterArie. All right reserved.