Home » Sedekah adalah Pinjaman Yang Baik
Sedekah merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang menunjukkan sikap kepedulian sosial. Dalam Islam, aspek kepedulian sosial ini tidak kalah penting dari aspek ibadah, karena tujuan manusia diciptakan tak lain dan tak bukan adalah untuk menjadi khalifah atau seseorang yang bertugas memelihara bumi.
Oleh karena itu, ada banyak retorika Allah dalam menumbuhkan semangat untuk memberikan sedekah. Misalnya, dalam satu ayat Allah katakan, bahwa “Perumpamaan orang-orang yang memberikan sedekah (membelanjakan hartanya di jalan Allah) itu bagaikan sebutir benih yang darinya tumbuh tujuh bulir, dan pada tiap-tiap bulir itu tumbuh seratus benih lainnya…” (QS. Al-Baqoroh: 261).
مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗٓ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۗوَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah? Dia akan melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki). Kepada-Nyalah kamu dikembalikan (QS. Al-Baqoroh: 245)
Jika kita artikan secara literal, Pinjaman Yang Baik adalah pinjaman yang diberikan tanpa mengharapkan keuntungan dunia, yaitu pinjaman tanpa bunga dan tanpa kepentingan. Namun, ayat di atas menggunakan bahasa metaforis atau majaz sehingga di balik ungkapan “memberikan pinjaman kepada Allah” terkandung maksud “memberikan sedekah kepada manusia atau masyarakat yang membutuhkan.”
Menurut Ibnu Arabi, ada tiga kategori orang dalam menjawab ayat ini, pertama, sebutlah istilahnya “Kategori orang kafir”, kedua, “Kategori orang bakhil”, dan terakhir, “Kategori orang beriman.” Bagaimanakah penjelasannya?
Tatkala ayat ini diturunkan, seorang elit Yahudi Madinah, Huyay bin Akhthob, mengolok-olok dengan berkata, “Tuhannya Muhammad itu miskin! Dia (Tuhan) memohon pinjaman dari kita! Maka, kitalah yang kaya!”
Menurut sebuah hadits dari Al-Hasan, Karena ucapan Huyay tersebut, maka turunlah ayat Al-Qur’an lainnya sebagai jawaban Allah,
لَقَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ فَقِيْرٌ وَّنَحْنُ اَغْنِيَاۤءُ ۘ سَنَكْتُبُ مَا قَالُوْا وَقَتْلَهُمُ الْاَنْۢبِيَاۤءَ بِغَيْرِ حَقٍّۙ وَّنَقُوْلُ ذُوْقُوْا عَذَابَ الْحَرِيْقِ
Sungguh, Allah benar-benar telah mendengar perkataan orang-orang (Yahudi) yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah itu miskin dan kami kaya.” Kami akan mencatat perkataan mereka dan pembunuhan terhadap nabi-nabi yang mereka lakukan tanpa hak (alasan yang benar). Kami akan mengatakan (kepada mereka pada hari Kiamat), “Rasakanlah azab yang membakar!” (QS. Ali Imron: 181)
Dengan menunjukkan kedurhakaan kaum Yahudi pada masa lalu (yaitu pembunuhan terhadap nabi-nabi, seperti terhadap Nabi Zakariya dan Nabi Yahya), Allah mengungkapkan motif permusuhan dan makar kaum Yahudi terhadap nabi masa kini, yaitu Nabi Muhammad. Lalu, Allah mengancam mereka dengan azab yang pedih pada hari kiamat.
Selanjutnya, ada pula orang yang menjawab turunnya ayat tersebut dengan keengganan. Orang ini beragama Islam, tetapi Islamnya hanya sampai di ujung lidah karena hatinya tidak peduli pada Islam.
Pada masa nabi, secara politik orang-orang ini adalah pengikutnya Abdullah bin Ubay, yaitu pemimpin kelompok oportunis Madinah. Namun pada masa kini kita sendiri tentu dapat mengidentifikasinya. Mereka pelit dan bakhil sehingga tidak rela hartanya berkurang demi menolong orang lain untuk memenuhi seruan Allah ini.
Apakah pada zaman ini ada orang-orang oportunis seperti ini? Orang Islam yang kaya harta tetapi enggan bersedekah, lancar rezeki tetapi pelit untuk berbagi. Berjuta-juta uang habis untuk rekreasi tetapi tetangga sendiri kesulitan tidak mengetahui, atau bahkan tidak peduli.
Namun, ada pula orang beriman yang menyambut seruan Allah pada ayat di atas dengan penuh semangat, salah satunya adalah Abu Dahdah, seorang pebisnis ulung di Madinah.
Abu Dahdah Al-Anshari telah berbisnis sejak masa jahiliyah. Kepiawaiannya dalam berniaga menandingi Abdurrahman bin Auf, Urwah Al-Bariqi, dan Utsman bin Affan. Dahulu, seluruh waktunya habis digunakan untuk berbisnis sehingga ia memperoleh kekayaan yang berlimpah, namun sejak ia memeluk Islam, mindsetnya berubah. Kebahagiannya tidak lagi terletak pada besar kekayaan melainkan pada ketaatannya pada Rasulullah.
Sedekah Abu Dahdah
Menurut hadits yang bersumber dari Zaid bin Aslam, tatkala ayat tersebut turun, Abu Dahdah langsung menemui nabi saw. dan berkata,
“Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu (ungkapan keseriusan), wahai Rasulullah! Benarkah Allah meminta pinjaman dari kami padahal Dia sendiri tidak membutuhkan pinjaman itu?“
“Ya“, jawab sang nabi. “Dia (Allah) ingin memasukkan kamu ke surga dengan melakukan itu“, tambahnya.
Abu Dahdah tampak sudah tertarik untuk menukar hartanya dengan janji surga. Tetapi, ia menginginkan lebih dari itu. Seperti semua orang yang mencintai keluarganya, Abu Dahdah ingin keluarganya juga turut masuk surga bersamanya, maka langsung ia tanyakan kepada sang nabi,
“Jika saya memberikan pinjaman kepada Allah, apakah Dia (Allah) akan menjamin saya masuk surga bersama anak-anak saya?“, tanyanya lagi.
“Ya”, jawab rasulullah.
Mendengar jawaban tersebut, Abu Dahdah hatinya tenang dan sekaligus puas. Ia sangat menyadari bahwa hartanya tak akan lagi berguna saat ia sudah mati, maka saat itulah ia memulai transaksi,
“… ulurkanlah tanganmu kepadaku!“, kata Abu Dahdah kepada Rasulullah. Maka rasulullah pun melakukannya. Kemudian Abu Dahdah berkata,
“Aku mempunyai dua kebun kurma, yang satu berada di dataran tinggi dan yang lainnya di dataran rendah. Demi Allah, Aku tidak mempunyai yang lain kecuali kedua kebun ini dan Aku ingin menjadikan keduanya sebagai pinjaman untuk Allah.”
Dengan ikrar tersebut, Abu Dahdah hendak memberikan seluruh kekayaannya! Tetapi Islam adalah agama yang seimbang, akhirat boleh dikejar tapi dunia tetap harus dimiliki. Maka nabi saw. pun menyarankan kepadanya, “Jadikanlah (kebun kurmamu) yang satu sebagai pinjaman untuk Allah dan yang lainnya sebagai mata pencarianmu dan keluargamu!“.
Abu Dahdah menerima saran sang Rasul, maka ia pun mengulangi ikrar transaksinya,
“saksikanlah wahai Rasulullah, (di antara dua kebun kurma yang saya punya) saya ingin menjadikan yang terbaik dari kedua kebun kurma itu sebagai pinjaman untuk Allah! Di dalamnya ada enam ratus batang pohon kurma!”
“… Allah akan memberikan untukmu surga”, kata Rasulullah.
Kemudian, setelah transaksi itu, Abu Dahdah pun bergegas pergi menemui istri dan anak-anaknya di kebun kurma. Istri dan anak-anaknya tinggal di kebun tersebut.
“Ummu Dahdah!” Serunya kepada istrinya.
“Kupenuhi panggilanmu (labbaik), suamiku”, jawab Ummu Dahdah.
Abu Dahdah berkata, “Keluarlah dari kebun! Sungguh kebun ini telah kupinjamkan kepada Rabku.”
Lalu, Abu Dahdah pun menceritakan transaksinya bersama Rasulullah, dan kemudian dia pun membuat sebuah sya’ir-enam-baris yang menyatakan bahwa dia telah memberikan salah satu kebunnya sebagai pinjaman untuk Allah.
Mendengar berita tentang transaksi suaminya tersebut, di mana sang suami menyedekahkan sebagian dari total kekayaannya, kira-kira, bagaimanakah reaksi Ummu Dahdah istrinya?
Sang istri tidak marah karena takut menderita kemiskinan, tidak kesal karena sang suami tidak mendiskusikan hal sepenting itu kepadanya. Ummu Dahdah adalah seorang wanita salehah. Surga adalah cita-citanya bersama keluarganya, iman adalah modal hidupnya. Maka, seperti suaminya yang beriman, ia pun berkata,
“Betapa untungnya transaksi itu! Semoga Allah memberkahi transaksimu!”
Lalu, menurut riwayat, setelah itu, Ummu Dahdah pun mendatangi anak-anaknya, mengeluarkan kurma yang sedang dikunyah di mulut anak-anaknya dan bahkan yang sedang berada dalam genggaman mereka.
Lalu, mengomentari hal tersebut, nabi saw. pun berkata,
كم من عذقٍ (غصنٌ من نخلةٍ) ردَّاح (ثقيل) لأبي الدحداح في الجنة
“alangkah banyaknya tandan kurma Abu Dahdah di surga!“
Allah menjadikan sedekah sebagai pinjaman yang baik dan ganjarannya adalah surga. Bagi seorang muslim yang hidup untuk Allah dan menyerahkan dirinya kepada Allah serta berkomitmen untuk taat pada Rasulullah, perintah apapun yang datang dari agama akan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Kaum lelaki dapat menjadikan Abu Dahdah sebagai inspirasi, model hartawan yang dermawan dan kaum wanita perlu meniru Ummu Dahdah, model wanita salehah yang hidupnya tidak melekat pada harta, tetapi menjadikan surga sebagai tujuannya.
@ 2023 MisterArie. All right reserved.