Sekitar empat puluh satu tahun yang lalu, seorang guru musik sedang duduk di sebuah bangku bis yang sedang berjalan menuju Perhutani Nganjuk Jawa Timur untuk mengajar Kulintang, sebuah alat musik tradisional yang mirip gong yang cukup dikenal di Asia Tenggara.
Saat itu, di tangan sang guru ada sebuah koran yang sesekali ia baca untuk mengisi waktu selama perjalanan. Matanya berpindah dari satu judul berita ke judul lainnya hingga tiba-tiba, pandangannya terpaku pada sebuah sayembara. “Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Menyelenggarakan Sayembara Membuat Hymne Guru dengan Hadiah Uang Sebesar Rp750.000.”
Sartono, sang guru musik, mendadak berbinar matanya. Mungkin selama ini ia telah dikenal sebagai satu-satunya orang di Madiun yang mampu membaca not balok. Selain itu, ia juga juga telah “malang melintang” di dunia musik, seperti bekerja di perusahaan piringan hitam Lokananta, membentuk kelompok Band bernama Combo Ria, berkiprah sebagai personel grup musik Keroncong TNI AU, sampai mengajar di SMP Purna Karya Bhakti Madiun.
Oleh karena itu, lelaki berusia empat puluh empat tahun itu merasa sayembara ini sayang sekali jika dilewatkan. Ia pun bertekad untuk mengikutinya. Tetapi, hanya sedikit waktu yang tersisa. Pengumpulan karya akan berakhir dua minggu lagi.
Pada hari-hari berikutnya, Sartono mulai memikirkan ide tentang lirik hymnenya. Ia berharap hymne yang dibuatnya mampu melukiskan sosok guru yang sebenarnya. Oleh karena itu ia terus memikirkan apa dan bagaimana guru itu.
Namun, sampai menjelang tenggat waktu, Sartono belum berhasil merampungkan karyanya. Pada saat hari raya Idul Fitri menyela, ia tidak berkunjung ke rumah karib kerabat seperti biasanya. Bak seorang mistikus yang mencari pencerahan di dalam gua, Sartono harus mencari ide hymne guru di rumahnya.
Dalam suasana hari raya itu, ide-idenya seolah mengalir deras hingga lirik yang ia ciptakan tumpah lebih banyak dari semestinya. Karena itu, ia harus tega untuk memangkas lirik-lirik yang telah ia ciptakan untuk mencapai ketentuan durasi yang tak boleh melompati angka empat menit.
Di antara ide yang Sartono pertahankan adalah bahwa guru seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Kata Sartono, “Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa menempel pada mereka, seperti yang ada pada polisi atau tentara.”
Pada saat pengiriman hasil karya, terjadi masalah. Sartono tidak mempunyai uang untuk mengirim naskahnya ke Jakarta. Akhirnya, kata Sartono, “Saya menjual jas untuk biaya pos.”
Namun, kerja keras Sartono terbayar di kemudian hari. Pada hari pengumuman, nama Sartono diumumkan sebagai pemenang sayembara. Senyum sumringah pun tersungging di wajahnya. Lalu, selembar cek bernilai Rp750.000 pun tiba di tangan Sartono yang dengan itu kemudian Sartono membeli sebuah sepeda motor.
Setelah sayembara itu, Sartono terus menjalani hari-hari berikutnya sebagai guru honorer dengan gaji Rp60.000 per-bulan. Katanya, “Gaji saya sangat rendah, bahkan mungkin paling rendah diantara guru-guru lainnya.”
Itulah sebabnya, agar dapur rumahnya tetap mengepul, guru yang pandai piano, gitar dan saksofon ini mencari sampingan dengan mengajar kulintang di Perhutani Nganjuk yang jauhnya sekitar enam puluh kilometer dari rumahnya.
Dua puluh tahun setelah memenangkan sayembara, kala itu usianya sudah mencapai enam puluh empat tahun, Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin memberikan untuknya sebuah piagam penghargaan. Lima tahun kemudian, Gubernur Jawa Timur, Imam Utoyo, pun menghadiahinya sebuah keyboard dan uang sebesar Rp600.000.
Enam tahun yang lalu, pada 2015, Sartono berbaring lemah di RSUD Kota Madiun dan menutup mata untuk selama-lamanya, sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa seperti yang ditulisnya.
Bagaimanakah lirik hymne guru ciptaan Sartono yang telah memenangkan sayembara di atas? Yuk, lihat liriknya dan download instrumennya pada link berikut:
@ 2022 MisterArie. All right reserved.