Perang Badar

Pertempuran Badar adalah peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada Bulan Ramadhan tahun 624 Masehi, dua tahun setelah hijrahnya Nabi Muhammad dan kaum muslimin dari Makkah ke Madinah. Pertempuran ini terjadi antara pasukan Muslim yang dipimpin oleh Nabi Muhammad dengan pasukan Quraisy yang dipimpin oleh Abu Jahl di wilayah Badar, Arab Saudi. 

Baca Juga: Peristiwa Sejarah Yang Terjadi Pada Bulan Ramadhan

Latar Belakang Perang Badar

a. Penganiayaan di Makkah

Sebelum pertempuran ini terjadi, hubungan antara kedua pihak sudah memburuk sejak Nabi Muhammad memproklamirkan ajaran Islam di Makkah. Selama periode tiga belas tahun, kaum muslimin dianiaya, disiksa, bahkan pada tahun terakhir berada di Makkah, Nabi saw sendiri telah dikepung rumahnya untuk dibunuh yang karena itulah Nabi saw melakukan hijrah ke Madinah. 

b. Pengancaman Pasca Hijrah

Setelah kaum muslimin hijrah ke Madinah, ancaman dan intimidasi kaum Quraisy masih terus berlanjut, dendam dan kedengkian kaum paganis (musyrik) Makkah terhadap agama baru ini belum berakhir. Berikut ini adalah beberapa contoh ancaman yang muncul sebelum Perang Badar:

  1. Orang-orang Quraisy menulis surat kepada tokoh Yatsrib, Abdullah bin Ubay, untuk mengajaknya (dengan ancaman) berkoalisi memerangi kaum muslimin, baik imigran dari Makkah (Muhajirin) ataupun para muslim madinah yang menjadi penolongnya (Anshar). Menanggapi surat ini, Abdullah bin Ubay pun langsung mengumpulkan pasukannya, tetapi Rasulullah keburu mendengar masalah ini dan berhasil menghentikannya (Shahih Bukhori, 2/655-656)
  2. Sa’ad bin Mu’adz pergi ke Makkah untuk Umroh, di sana ia menetap di rumah Umayyah bin Khalaf. Menjelang siang, ia keluar bersama Umayyah dan berpapasan dengan Amru Bin Hisyam (yang kita sebut Abu Jahal) lalu Abu Jahal pun berkata kepadanya, “Bukankah kalian bisa berthawaf dengan aman? Tetapi mengapa kalian malah  melindungi orang-orang yang keluar dari agamanya (kaum Muhajirin)? Bahkan kalian bertekad untuk membantu dan menolong mereka! Demi Allah, anda saja engkau tidak bersama Abu Shafwan (Umayyah bin Khalaf), tentu engkau tidak bisa kembali kepada keluargamu dalam keadaan selamat!” Menanggapi ancaman ini, Sa’ad naik pitam dan berteriak, “Demi Allah, jika engkau menghalangiku saat ini, pasti aku akan menghalangimu dengan cara yang lebih keras lagi saat perjalananmu melewati penduduk Madinah.” (Shahih Bukhori, Kitab Maghazi, 2, h. 563)
  3. Orang-orang Quraisy mengirim pasukan kepada orang-orang muslim dan menyampaikan pernyataan mereka: “janganlah kalian bangga dulu karena bisa meninggalkan kami dan pindah ke Yatsrib! Kami akan mendatangi kalian, lalu merenggut dan membenamkan tanaman kalian di halaman rumah kalian! (Al-Mubarakfuri, Ar-Rohiqul Makhtum, hal. 221)

Kedua peristiwa di atas, yang terjadi pada tahun pertama setelah hijrah, menunjukkan bahwa ancaman perang dan pembunuhan dari kaum Quraisy sangat nyata di depan mata mereka. 

Yang diancam oleh Kaum musyrik bukan hanya Nabi Muhammad, tetapi juga kaum Muhajirin dan seluruh kaum Anshar, sehingga Ubay bin Ka’ab mengatakan, “Tatkala Rasulullah dan para sahabatnya tiba di Madinah, lalu dilindungi oleh Anshar, maka seluruh bangsa Arab sudah sepakat untuk melontarkan satu anak panah kepada mereka (untuk memerangi mereka). (sehingga) Tidak pagi, tidak sore, mereka (kaum muslimin) selalu siap dengan senjatanya.” (Al-Mubarokfuri, Ar-Rohiqul Makhtum, hal. 222)

Oleh karena itu, pada malam pertama Rasulullah tiba di Madinah, beliau tidak bisa tidur karena kuatir adanya serangan sehingga Sa’ad bin Abi Waqqash datang untuk menjaganya dengan senjata. Sa’ad mengatakan kala itu, “Aku merasa kuatir terhadap keamananmu, wahai Rasulullah, maka aku datang untuk menjagamu.”

Perlawanan Militer Madinah Pra-Perang Badar

Menyikapi ancaman serius dari Makkah, maka kaum muslimin di Madinah tidak tinggal diam. Apalagi, orang-orang Madinah (yang dahulu disebut “Yatsrib”) memiliki pengalaman puluhan tahun bertempur dan mereka sangat handal dalam strategi perang. 

Kaum muslimin di Madinah pun merencanakan sebuah serangan balik terhadap Makkah. Mereka memanfaatkan keuntungan geografi Madinah yang terletak di jalur dagang antara Makkah di selatan dan Syam di utara. Sembari menjalin aliansi dengan suku-suku di kawasan tersebut, mereka melakukan penyerangan terhadap kafilah-kafilah dagang Quraisy yang lewat, baik dari Makkah ke utara ataupun yang kembali dari Syam menuju Makkah. Sekarang, kaum elit Makkah panik karena bukan hanya agama mereka, tetapi perekonomian mereka terancam bangkrut. 

Berikut ini adalah beberapa serangan balik yang dilancarkan oleh Madinah dalam rangka mengendalikan jalur dagang yang menjadi mata pencarian utama Kaum Quraisy. 

  1. Sariyah ke Siful Bahr,terjadi pada 1 Ramadhan tahun ke-1 H (623 M). Memanfaatkan keuntungan strategis lokasi Madinah yang berada di perlintasan dagang antara Makkah di selatan dan negeri Syam di utara, 30 personil kaum muslimin yang dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Muthollib (paman nabi) mencoba menghadang Kembalinya kafilah dagang kaum Quraisy dari Syam menuju Makkah di  mana Amr bin Hisyam (yang dijuluki “Abu Jahal”) ikut di dalamnya. Tetapi, tatkala kedua pasukan tersebut sudah berhadap-hadapan, muncul Majdi bin Amr Al-Juhani di antara mereka dan melerai kedua pasukan tersebut dari berperang.
  2. Sariyah ke Rabigh, terjadi sekitar 6 bulan pasca Sariyah ke Siful Bahr, persisnya pada Bulan Shafar tahun ke-1 H. Pada benturan ini, dua pasukan telah berhadapan: 60 orang Muhajirin dipimpin oleh Ubaidah bin Al-Harits bin Abdul Muthollib dan 200 orang Quraisy dipimpin oleh Abu Sufyan. Kedua pasukan tersebut telah melepaskan anak panah tetapi benturan ini tidak sampai menyebabkan terjadinya peperangan. 
  3. Sariyah ke Al-Kharrar, terjadi sebulan setelah Sariyah ke Rabigh, persisnya pada Bulan Dzul Qo’dah tahun ke-1 H (Mei 623M). Juga memanfaatkan keuntungan strategis lokasi Madinah yang berada di perlintasan dagang, Rasulullah memerintahkan Sa’ad bin Abi Waqosh bersama 20 tentara untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Rasulullah berpesan agar Sa’ad dan pasukannya tidak melewati wilayah Al-Kharrar. Kaum Quraisy berhasil menghindari penghadangan ini.
  4. Ghazwah Al-Abwa‘ atau Waddan, terjadi pada Bulan Shafar tahun ke-2 H (Agustus 623 M). Juga memanfaatkan keuntungan strategis lokasi Madinah yang berada di perlintasan dagang antara Makkah di selatan dan negeri Syam di utara, 70 personil kaum Muslimin, dipimpin oleh Nabi Muhammad, mencoba menghadang kafilah dagang kaum Quraisy yang sedang kembali dari Syam menuju Makkah. Meskipun kafilah Quraisy berhasil melarikan diri dari penghadangan ini, tetapi Kaum Muslimin berhasil menjalin aliansi persahabatan dalam perjalanan tempur ini dengan Bani Dhamrah yang dipimpin oleh Amr bin Makhsyi. Isi perjanjiannya seperti ini: “Ini adalah perjanjian dari Muhammad, Rasul Allah dengan Bani Dhamrah. Sesungguhnya harta dan diri mereka akan dijamin keselamatannya, dan mereka berhak mendapatkan pertolongan jika ada yang menyerang mereka, kecuali jika mereka memerangi agama Allah. Jika Nabi mengajak mereka agar memberi pertolongan, maka mereka harus memenuhinya.” Dari bahasa perjanjian ini, dapatkah kalian merasakan, betapa powerful-nya kesatuan militer Kaum muslimin saat itu?
  5. Ghazwah Buwats, terjadi pada Bulan Rabi’ul Awwal tahun ke-2 H (September 623 M). Juga memanfaatkan keuntungan strategis lokasi Madinah yang berada di perlintasan dagang antara Makkah di selatan dan negeri Syam di utara, Rasulullah bersama 200 orang sahabat mencoba menghadang 100 personil kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Umayyah bin Khallaf, ketua Bani Jumah yang pernah menganiaya Bilal bin Rabah. Kafilah tersebut membawa barang dagang melimpah di atas punggung 2500 ekor unta. Rasulullah tiba di Buwats dari arah Radhwa tetapi tidak terjadi benturan dengan kafilah dagang tersebut.
  6. Ghazwah Safawan, terjadi pada bulan yang sama dengan Ghazwah Buwats, yaitu Rabi’ul Awwal tahun ke-2H (September 623 M). Beberapa orang Musyrik (salah satunya adalah Kurs bin Jabir Al-Fihri) menyerbu kandang hewan gembala di Madinah dan merampok domba-dombanya. Menyikapi gangguan tersebut, maka Nabi Muhammad membawa 70 orang sahabat untuk mengejar mereka hingga tiba di Wadi Safawan (dari arah Badar). Peristiwa yang terjadi di wilayah Badar ini dikenal dalam sejarah sebagai “Perang Badar Kecil.”
  7. Ghazwah Dzul Usyairah, terjadi pada Bulan Jumadal Ula dan Jumadal Akhiroh, tahun ke-2 H, bertepatan dengan November dan Desember 623 M. Kafilah “dagang” Makkah berangkat menuju Syam. Kabar ini pun sampai ke telinga Rasulullah. Maka, berangkatlah beliau bersama 150 Muhajirin untuk menghadang mereka. Tetapi, sesampainya di Dzul ‘Usyairah, di Lembah Yanbu’, kafilah yang dibawa oleh Abu Sufwan tersebut sudah lewat. 

Setelah Ghazwah tersebut, terjadilah peristiwa beberapa peristiwa, antara lain terjadinya perang kecil yang terjadi pada bulan Rajab, bulan suci yang di dalamnya Allah melarang umat manusia untuk berperang. 

Berkaitan dengan perang di bulan suci tersebut, Rasulullah sendiri sempat berbeda pendapat dan mengatakan kepada Abdullah bin Jahsy serta kawan-kawan dalam misi tersebut, “Aku tidak memerintahkan kalian untuk berperang pada bulan suci”.

Namun, rupanya Allah menurunkan ketetapan lain dan turunlah wahyu, QS. Al-Baqoroh, ayat 217, yang bernada membela Abdullah bin Jahsy dan timnya. Dalam ayat tersebut dinyatakan dengan tegas, “Berperang pada bulan itu (bulan suci) adalah dosa besar. Tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah! Dan berbuat fitnah (kerusakan semacam tadi) lebih besar (dosanya) daripada membunuh.”

Baca juga: Peristiwa Perang di Bulan Suci

Pecahnya Perang Badar

Lewatnya Kafilah Abu Sufyan

Dua bulan kemudian, kafilah dagang Abu Sufyan akan kembali dari Syam. Setelah gagal menyergap mereka di Dzul ‘Usyairah, di Lembah Yanbu’, kini Rasulullah akan kembali mengejar mereka. 

Sebenarnya, ada dugaan bahwa kafilah “dagang” Abu Sufyan Shakhr bin Harb tersebut sedang membawa harta penduduk Makkah (bahkan, kaum perempuan ikut menyumbangkan harta mereka) untuk membeli persenjataan perang di Negeri Syam dan kemudian akan digunakan untuk menyerang Madinah. Makkah dan Hijaz tidak mempunyai pabrik-pabrik senjata perang, oleh sebab itu, senjata-senjata semacam itu harus didatangkan dari luar, dari utara. 

“…rombongan tersebut sedang pulang dengan bawaan barang dagangan, senilai lebih kurang 50.000 dinar emas. Tujuan penggunaan kekayaan ini adalah untuk penyerangan terhadap Madinah.” (An-Nadwi, Sirah Nabawiyah, 246)

Misi Pengintaian

Karena situasi genting tersebut, Thalhah bin ‘Ubaidillah dan Sa’id bin Zaid diutus untuk memata-matai pergerakan kafilah itu di Al-Haura’ lalu kembali ke Madinah. Mereka melaporkan bahwa kafilah tersebut membawa kekayaan penduduk Makkah yang sangat berlimpah-ruah: 1000 unta yang mengangkut harta mereka, yang nilainya tak kurang dari 50. 00 dinar emas.

Rasulullah berkata: “Ini adalah kafilah dagang Quraisy yang membawa harta benda mereka. Hadanglah kafilah itu, semoga Allah memberikan barang rampasan itu kepada kalian!” Maka, berangkatlah beliau bersama tiga ratus sekian belas orang.

Pertempuran Badar dimulai dengan serangan dari pasukan Muslim. Mereka menyerang dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa sehingga membuat pasukan Quraisy terkejut. Serangan itu berhasil membunuh beberapa prajurit Quraisy, termasuk beberapa panglima perangnya. Namun, pada pertempuran tersebut, Quraisy masih lebih banyak dan lebih kuat, sehingga pertempuran berlanjut dengan pertarungan yang sengit.

Setelah beberapa jam, pasukan Muslim mulai mengambil alih keuntungan. Mereka berhasil membunuh beberapa prajurit Quraisy dan berhasil merebut sebagian besar harta yang diambil oleh Quraisy. Setelah itu, pasukan Quraisy melarikan diri, dan pasukan Muslim berhasil meraih kemenangan besar.

Dalam pertempuran Badar, terdapat korban dari kedua belah pihak. Pasukan Quraisy kehilangan 70 orang prajurit, sementara pasukan Muslim hanya kehilangan 14 orang prajurit. Meskipun jumlah korban dari pasukan Muslim lebih sedikit, namun pertempuran tersebut merupakan suatu perjuangan yang sangat berat.

Pertempuran Badar memiliki arti penting dalam sejarah Islam. Kemenangan tersebut membuktikan bahwa kekuatan pasukan Muslim bukan hanya dalam jumlah atau persenjataan, tetapi juga dalam keimanan dan keberanian mereka. Selain itu, kemenangan ini juga menjadi titik balik bagi umat Islam dalam memperkuat kepercayaan mereka terhadap ajaran Islam dan menjaga keamanan serta keberlangsungan keberadaan umat Islam. Kemenangan tersebut juga memberikan pengaruh besar dalam memperluas daerah kekuasaan Islam dan memperkuat kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published.