Kelas Digital MisterArie adalah website belajar online terbaik dan terpercaya dalam menyediakan bagi kalian referensi, pengayaan dan bimbingan belajar.
Home » Pengusiran Yahudi Bani Qainuqa
Sebelum menyaksikan pengusiran kaum Yahudi Bani Qainuqa, perlu bagi kita untuk memahami latar belakang sosial dan politik kaum Yahudi dan kaum muslimin pasca perang Badar. Tujuannya adalah agar kita memahami bahwa pengusiran tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. Banyak provokasi dan makar telah mendahuluinya. Singkat kata, kaum Yahudi ingin “menyalakan api” di Madinah.
Setelah perang badar usai, orang-orang Yahudi dan komunitas munafiq semakin waspada dan kuatir terhadap kekuatan politik Nabi Muhammad. Oleh karena itu, sejak Perang Badar yang terjadi dua tahun setelah hijrah ke Madinah, aneka provokasi terjadi. Kaum Yahudi yang tak berkutik juga melancarkan hasutan kepada komunitas munafiq Madinah untuk menjatuhkan otoritas nabi.
Beberapa peristiwa pernah terjadi. Contohnya seorang Yahudi bernama Abu Afaq dari Bani Amr bin Auf menggubah sajak berisi penghinaan dan penyerangan terhadap nabi saw. Tidak rela atas penghinaan itu, Salim bin Umair, seorang muslim, mendatangi Abu Afaq yang ternyata sedang tertidur di beranda rumahnya. Ia pun menusukkan pedangnya ke jantung Yahudi itu hingga tewas.
Selain Abu Afaq, seorang wanita bernama Ashma binti Marwan juga kerap memprovokasi orang-orang untuk menjatuhkan otoritas Nabi Muhammad. Maka pada suatu malam, seorang muslim lainnya, Umair bin Auf, pun membunuhnya.
Dengan keberanian orang-orang seperti Umair atau Salim di atas, maka orang-orang di Madinah pun mulai berani secara terang-terangan menyatakan keislamannya dan beribadah di tengah kaumnya. Sebelumnya, meskipun telah disepakati Piagam Madinah, minoritas muslim yang hidup dalam suku-suku non-Muslim Madinah mengalami cukup tekanan.
Selain Abu Afaq dan Ashma’ binti Marwan, seorang pemuka Yahudi bernama Ka’ab bin Asyrof melakukan provokasi untuk menyalakan api perang. Padahal, sebelum Perang Badar, Ka’ab tidak pernah menampakkan permusuhan terhadap kaum muslimin. Mungkin karena ia menganggap tidak ada ancaman yang berarti. Namun pasca Perang Badar, Ka’ab mulai memprovokasi Mekkah untuk menyerang Madinah.
Pada suatu hari, Ka’ab berangkat ke Makkah. Di tengah-tengah kaum Quraisy Makkah yang sedang berduka akibat kekalahan mereka dalam Perang Badar, Ka’ab melantunkan sajak-sajak ratapan dan menangisi mereka yang terkubur di Badar. Lelaki Yahudi ini berharap Makkah kembali mengangkat senjata untuk membalas dendam atas kekalahan mereka di Badar.
Setelah itu, Ka’ab kembali ke Madinah. Di kota Nabi itu, Ka’ab menunjukkan sikap yang sama. Mengolok-olok kaum muslimin dan berusaha melecehkan wanita muslim.
Oleh karena provokasi Ka’ab yang dianggap telah melanggar Piagam Madinah, maka Nabi Saw pun memutuskan untuk menghentikannya. Dalam Shahih Bukhari direkam pertanyaan nabi kepada para sahabatnya, “Siapakah di antara kalian yang sanggup membunuh Ka’ab bin Ashraf? Sebab dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya“.
Menerima tawaran ini, Muhammad bin Maslamah, dibantu Abu Na’ila (Silkan bin Salama) yang merupakan saudara angkat Ka’ab, pun mendatangi Ka’ab. Mereka berpura-pura mengeluh terhadap eksistensi Nabi Muhammad.
“Kedatangan orang ini ke Madinah membawa bencana, membuat orang Arab saling bermusuhan dan berpecah-belah. Hubungan kekerabatan kita terputus, sanak-keluarga hilang, dan ia (Muhammad) juga melakukan beberapa pencegatan sehingga menyulitkan para kafilah dagang yang menempuh perjalanan jauh”, ujar mereka.
Lalu, singkat cerita, setelah mereka berhasil merebut hati Ka’ab dan mengunjungi rumahnya dan membawanya keluar tak jauh dari rumah tersebut, mereka pun membunuhnya. Dalam situasi perang, taktik semacam ini dibolehkan.
Provokasi dan kedengkian Kaum Yahudi tidak berhenti sampai di sana. Pada suatu hari, terjadi sebuah pelecehan. Seorang wanita Arab, muslimah, sedang berbelanja di Pasar Yahudi Bani Qainuqa dengan membawa perhiasan. Lalu, ia pun duduk di hadapan seorang tukang emas.
Orang-orang di pasar itu memintanya menyingkapkan jilbab, tetapi wanita itu menolak. Aurat seorang muslim harus ditutup dan hal itu merupakan sebuah prinsip.
Tetapi, tiba-tiba, seorang Yahudi berjalan mengendap-endap, mendekati wanita muslimah itu dari belakang lalu dengan sebatang ranting, ia menyingkapkan jilbab wanita itu sehingga tampaklah auratnya. Kemudian, orang-orang Yahudi di sana semua menertawainya ramai-ramai. Sontak saja, wanita itu kaget, takut, malu, sehingga ia menjerit histeris.
Mendengar jeritan itu, seorang muslim pun berlari ke arah wanita itu kemudian menyerang si tukang emas dan membunuhnya. Baginya, orang-orang Yahudi itu bukan melecehkan wanita, tetapi melecehkan Islam.
Melihat kawan Yahudinya dibunuh, seluruh orang Yahudi di tempat itu pun mengeroyok si lelaki muslim. Mereka menangkapnya, mengikat tangannya, lalu membunuhnya.
Tatkala kabar ini sampai ke telinga keluarga si lelaki muslim yang terbunuh, mereka pun meminta bantuan kaum muslimin lain untuk menuntut balas kepada orang -orang Yahudi yang telah mengeroyoknya. Sejak saat inilah timbul perseteruan yang lebih panas antara kaum muslimin dan kaum Yahudi.
Nabi Muhammad sendiri memahami hal ini sebagai sebuah pelecehan terhadap Islam. Sebagai pemimpin, ia berupaya melerai dan meminta kaum Yahudi agar tidak mengganggu kaum muslimin. Beliau mengatakan, jika Yahudi kembali berulah, maka mereka akan mengalami seperti yang dialami kaum Quraisy di lembah Badar.
Kaum Yahudi Bani Qainuqa meremehkan peringatan nabi tersebut dengan berkata,
“Hai, Muhammad, jangan tertipu dan merasa hebat karena dapat mengalahkan mereka (Quraisy Mekkah). Mereka hanyalah sekelompok orang yang tak pandai berperang. Tentu saja kau bisa mengalahkan mereka. Akan tetapi, beda ceritanya jika kami yang memerangimu, pasti kamu akan merasakan perang yang sesungguhnya.”
Kaum Yahudi tersebut telah melakukan tiga kesalahan besar. Pertama, mereka melanggar Piagam Madinah dengan melecehkan seorang muslimah dan membunuh seorang muslim. Kedua, mereka menolak peringatan dari nabi yang merupakan second chance (kesempatan kedua) bagi mereka. Ketiga, mereka telah mengucapkan kata “perang”, menantang kaum muslimin. Maka, tak ada lagi pilihan bagi kaum muslimin selain perang.
Maka berbarislah tentara kaum muslimin mengepung perkampungan Yahudi Bani Qainuqa. Mereka tidak berani melawan, agaknya semua ucapan mereka hanyalah “omong kosong” belaka.
Selama lima belas hari, Kaum Yahudi Bani Qainuqa tidak dapat keluar untuk keperluan apapun, termasuk untuk makan. Pada akhirnya, mereka pun menyerah. Setelah berunding dengan para pemuka muslim, terutama dari kalangan Anshar, Nabi Saw. memutuskan untuk menghukum-mati mereka semua.
Tiba-tiba, datanglah Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang muslim oportunis. Al-Qur’an menyebut dirinya dan komunitasnya sebagai orang-orang munafiq. Orang munafiq akan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya, bahkan jika harus berbohong, melanggar janji, ataupun berkhianat. Mereka muslim di lidah, tetapi hati mereka menyimpan kebencian terhadap Islam.
Abdullah bin Salul adalah salah satu tokoh yang digadang-gadang akan menjadi pemimpin Madinah sebelum kedatangan nabi. Tetapi, setelah nabi saw. dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, pupuslah tujuannya. Nabi pun dianggapnya sebagai orang yang telah merebut posisinya. Keislamannya tak lain hanyalah sebuah “topeng” dusta untuk menutupi rencananya menjatuhakn otoritas nabi saw.
Abdullah bin Ubay meminta nabi saw. untuk membebaskan kaum Yahudi, “Wahai, Muhammad, alangkah baiknya jika engkau berlaku baik terhadap kawan-kawanku” (orang Yahudi).
Nabi tidak menghiraukannya sehingga ia mengulangi lagi ucapannya. Maka, nabi saw. pun menolaknya secara tegas. Pemimpin komunitas munafiq itu pun segera memasukkan tangannya ke saku baju perang nabi sehingga nabi sangat marah dan berkata, “lepaskan!”
“Lepaskan!” ucap Nabi lagi, “celakalah kau!”. Jawab Abdullah bin Ubay, “Aku takkan melepaskannya sebelum kau bersikap baik kepada sekutuku.”
Keberanian (atau kelancangan) Abdullah bin Ubay untuk mendesak nabi sebetulnya dapat kita pahami: ia masih memiliki pengaruh besar di kalangan Suku Aus dan Khazraj, dua suku besar di Madinah yang menjadi penolong kehadiran Nabi dan Kaum Imigran (Muhajirin) Makkah. Baginya, jika dirinya “diusik”, maka pendukungnya akan menyebabkan kerusuhan dan perpecahan yang mana hal tersebut dapat berdampak buruk bagi Madinah.
Pada akhirnya, Ubadah bin Ash-Shamit menyampaikan pandangannya kepada nabi saw. untuk menerima permintaan Abdullah bin Ubay dengan alasan agar pemimpin komunitas munafiq itu memiliki “hutang budi” kepada nabi.
Akhirnya, Nabi Saw. pun melunak. Ia menerima saran Ubadah. Tetapi diputuskan bahwa Yahudi Bani Qainuqa harus pergi dari Madinah untuk selamanya.
Dikawal oleh Ubadah bin Ash-Shamit, kaum Yahudi meninggalkan Madinah. Pada awalnya mereka berdiam di Wadi al-Quro, kemudian mereka pindah ke Adzriat, suatu daerah yang berbatasan dengan Syam. Namun, sebagian dari mereka berkumpul ke dalam komunitas Yahudi yang lebih besar di Khaibar, di utara Madinah.
Sejarah pengusiran Yahudi Bani Qainuqa ini mengundang kritikan para orientalis. Menurut mereka, masalah pelecehan seorang wanita oleh tukang emas mestinya tidak berujung pada sebuah pengusiran dramatis seluruh kabilah Yahudi Qainuqa. Hal tersebut mereka nilai terlalu berlebihan.
Namun, sudut pandang kaum muslimin tetap penting. Bagi orang Arab pada umumnya, kehormatan adalah lebih utama dari apapun. Pelecehan seorang perempuan merupakan sebuah penghinaan besar. Apalagi, menurut penilaian kaum muslimin kala itu, pelecehan tersebut dianggap sebagai perendahan terhadap eksistensi Nabi saw. dan Islam sebagaimana provokasi-provokasi yang terjadi sebelumnya.
Hussein Haekal, mantan menteri kebudayaan Mesir, menganalogikan peristiwa pelecehan wanita muslimah ini dengan terbunuhnya putra mahkota Austria di Sarajevo pada tahun 1914 yang memicu terjadinya Perang Dunia dan melibatkan seluruh Eropa. Ini bukan soal satu nyawa, ini soal kehormatan kolektif yang disepelekan.
Kelas Digital MisterArie adalah website belajar online terbaik dan terpercaya dalam menyediakan bagi kalian referensi, pengayaan dan bimbingan belajar.