Sebagai pedagang, Abdullah turut serta dalam kafilah perdagangan Suku Quraisy menuju Palestina dan Suriah pada tahun ini. Walaupun cukup berat baginya meninggalkan Makkah, karena istrinya sedang mengandung, akan tetapi tidak ada jalan lain bagi penduduk Makkah untuk bertahan hidup kecuali dengan pergi berdagang.
Sementara itu, ketika Abdullah dan kafilah perdagangan Quraisy telah berangkat, tersiar kabar mengejutkan bahwa raja Yaman, sedang memimpin pasukan bergajah menuju Makkah. Tujuh puluh ribu prajurit sedang berbaris di belakang Abrahah, beserta gajah-gajah perang yang diangkut dari Habasyah, untuk menghancurkan Bait suci yang dipelihara oleh kaum Quraisy, Ka’bah.
Para penduduk Makkah bukan main terkejut ketika mendengar berita ini. Mereka mencari-cari tahu penyebab yang membuat sang raja nekat ingin menghancurkan sebuah Bait suci. Akhirnya, mereka mendengar bahwa penyebab dari penyerbuan ini adalah karena seorang Arab dari Bani Kinanah telah menodai gereja yang baru saja ia bangun dengan cara buang hajat di dalamnya.
Namun, tentu saja, orang-orang Arab mengetahui alasan itu hanyalah omong kosong sang raja. Mereka menyadari betul bahwa Abrahah sedang berusaha memajukan kegiatan ekonomi Negeri Habasyah dan untuk itulah ia membangun tempat pemujaan, di mana, pada zaman itu, tempat pemujaan mampu menciptakan traffic ziarah yang tinggi, kedatangan banyak orang, dan pada kelanjutannya menjadi sarana untuk memajukan perdagangan. Inilah tujuan utamanya.
Akan tetapi, pembangunan gereja ini tidak akan efektif selama di jazirah Arab masih berdiri Ka’bah yang selalu diziarahi semua orang, karena itulah sebuah “omong kosong” perlu dibuat sebagai alasan untuk menghancurkan Ka’bah. Mengapa “omong kosong”? Karena semua orang mengerti bahwa seharusnya Abrahah menyerbu Bani Kinanah sebagai pelaku penodaan gereja, bukan menghancurkan Ka’bah.
Selain itu, kenekatan Abrahah untuk menghancurkan Ka’bah ini juga berasal dari asal-usulnya yang, memang, bukanlah orang Arab sehingga ia tidak mempunyai penghormatan terhadap Ka’bah sebagaimana orang-orang Arab pada umumnya. Abrahah merupakan orang Habsyi, orang-orang berkulit hitam yang menyebrangi laut Qalzum—sekarang, laut Merah—dari Afrika, tepatnya dari kerajaan Habasyah (atau Aksum), yang sedang tumbuh dengan dukungan kerajaan Romawi.
Abrahah sendiri belum lama menjejakkan kakinya di atas tanah Yaman. Tadinya, ia adalah seorang prajurit berbakat dalam pasukan yang dipimpin oleh Aryath, jendral perang Negeri Habasyah. Pasukan ini merupakan bala bantuan Romawi untuk menolong orang-orang Kristen Yaman yang ditindas oleh rajanya sendiri, Yusuf Dzu Nuwas, yang–bukan kebetulan–merupakan raja bawahan Persia, sehingga sebenarnya, ini semua hanya soal persaingan kekuasaan antara Romawi di satu pihak dan Persia—yang mendukung Dzu Nuwas—di pihak lain.
Singkat cerita, pasukan Habasyah yang didukung Romawi itu berhasil menduduki Yaman dan mengusir semua unsur Persia. Kemudian, Abrahah, prajurit berbakat tadi, pun menggulingkan jendralnya sendiri lewat suatu duel maut. Dalam duel itu, Abrahah hampir tewas, wajahnya terbacok pedang, akan tetapi anak buahnya melompat dan menolong dengan menikam jendral perang Habasyah dari belakang, dan akhirnya tewaslah Aryath. Sejak itu, Abrahah mendaulat diri sebagai raja Yaman, bawahan dari kerajaan Habasyah.
Setelah peristiwa itu, masalah penindasan terhadap orang-orang Kristen mungkin selesai, tetapi penindasan terhadap sisa-sisa unsur Persia pun dimulai. Banyak orang-orang telah disiksa untuk membangun gereja besar Abrahah yang bahan-bahannya diangkut dari pualam-pualam reruntuhan istana kerajaan Saba’ yang legendaris. Tidak sedikit yang mati, sehingga bisa dikatakan, Yaman hanya berpindah dari mulut macan ke mulut buaya.
Sekarang, Abrahah terus bergerak ke utara dan, dalam perjalanan itu, beberapa suku ‘Arab berkoalisi menghadang pasukan Abrahah, akan tetapi, usaha mereka sia-sia. Kekuatan mereka kalah besar sehingga pemimpin mereka—dari Bani Khats’am—ditawan dan dipaksa untuk memilih: mati atau menjadi penunjuk jalan. Nufail, sang pemimpin, pun terpaksa memilih menjadi penunjuk jalan.
Lalu, Abrahah dan pasukan bergajahnya melanjutkan perjalanan. Setelah melewati beberapa malam, tibalah mereka di Tha’if, sebuah negeri subur yang terletak tidak jauh di selatan Makkah. Di negeri itulah berdiri berhala Arab yang terkenal, اللات, Al-Laat, sebuah sesembahan berbentuk batu yang diyakini sebagai anak perempuan Tuhan yang di Yunani disebut Athena dan di Romawi dipanggil Minerva. Penyembahan dewi Al-Laat ini merupakan hasil pergaulan dengan Bangsa Nabatea yang terjepit di antara Bangsa Mesir dan Bangsa Suriah yang keduanya merupakan bangsa penyembah berhala.
Kaum Tsaqif, penduduk negeri Tha’if, kuatir apabila Abrahah akan menyangka kuil Al-Laat mereka sebagai Ka’bah. Maka demi menjaga kuil, mereka segera menemui Abrahah dan memberitahukan kepadanya di mana Ka’bah terletak lalu kepadanya disodorkan seorang penunjuk jalan sebagai hadiah. Sebenarnya Abrahah sudah mempunyai Nufail, tetapi, tentu saja, seorang penunjuk jalan lain akan cukup berguna.
Kemudian Abrahah bergerak lebih dekat ke Makkah. Di perjalanan, penunjuk jalan yang baru itu mati dan selama seribu tahun selanjutnya, orang-orang Arab yang melewati tempat matinya si penunjuk jalan itu, Abu Righal, di Mughammis, selalu melempar batu ke kuburannya, sebuah bentuk laknat duniawi yang tak termaafkan.
Namun herannya, pada saat itu, Abrahah tidak melihat matinya sang penunjuk jalan itu sebagai peringatan dari Tuhan untuk berhenti. Ia tidak menyadari bahwa Allah sedang menegurnya dengan suatu cara yang sebenarnya umum dipahami oleh orang-orang pada masa itu. Ambisinya untuk menghancurkan Ka’bah telah menggelapkan hatinya.
Dari Mughammis, Abrahah mengirimkan pasukannya ke berbagai tempat untuk merampas harta penduduk sekitar Makkah, dan termasuk dari rampasan itu, dua ratus unta milik Abdul Muthollib. Selain untuk menunjang makanan bagi pasukannya, juga seolah mengatakan kepada orang-orang Arab, “Minggir kalian semua, Abrahah akan lewat!”
Pasukan bergajah ini berkemah tidak jauh dari Makkah. Mungkin Abrahah memberikan pengarahan terakhir kepada pasukannya sebelum menghancurkan Ka’bah. Ambisi utamanya adalah menghancurkan bangunan batu yang dipelihara kaum Quraisy itu, bukan berperang. Karena itu, ia perlu menyampaikan kepada orang-orang Makkah untuk menyingkir dari jalan yang akan dilaluinya. Lalu, untuk maksud itu, ia mengirim utusannya ke Makkah, mengundang pemimpin Makkah untuk datang ke kemah Abrahah. Tetapi siapakah pemimpin Makkah?
Sebenarnya tidak ada pemimpin tertinggi di kalangan Suku Quraisy yang memelihara Ka’bah. Dahulu pernah ada Qushoy sang pendiri Makkah, lalu putranya, Abdud-Daar. Akan tetapi setelah itu, Hasyim dan beberapa kabilah Quraisy menggugat model kepemimpinan tunggal di tanah suci ini. Alhasil, sekarang kepemimpinan di Makkah dibagi-bagi di antara anak-anak keturunan Qushoy, sebagian dari mereka melayani perbekalan para peziarah yang datang ke Ka’bah, sebagian menjaga kunci Ka’bah, sebagian lagi mengurus keamanan dan pertahanan Makkah.
Akan tetapi, meskipun secara de jure tidak ada pemimpin tertinggi di Makkah, secara de facto semua orang di Makkah menghormati Abdul Muthollib, putra Hasyim, cucu Abdu Manaf, cicit Qushoy. Abdul Muthollib dikenal keteguhannya dalam agama. Ia menepati janjinya ketika bernadzar akan menyembelih salah seorang putranya jika Allah memberinya sepuluh orang anak laki-laki. Ia juga telah menemukan kembali sumur Zamzam setelah ditimbun sekian lama oleh penguasa Makkah pra-Quraisy. Keteguhannya dalam agama dan kredibilitasnya di mata semua orang membuatnya secara de facto dianggap sebagai pemimpin Makkah. Oleh karena itu, ketika utusan Abrahah tiba untuk memanggil pemimpin Makkah, semua orang menunjuk Abdul Muthollib. Maka bersama beberapa orang keluarganya, lelaki bernama-asli Syaibah ini pun menemui Abrahah di kemahnya.
Ketika Abdul Muthollib memasuki kemah, Abrahah berdiri menyambutnya dan tanpa panjang berpidato, langsung menyatakan tujuannya datang ke Makkah. Melalui Abdul Muthollib ia meminta semua orang Makkah untuk menyingkir karena kedatangannya bukan untuk berperang, melainkan untuk menghancurkan Ka’bah.
Ketika tiba giliran Abdul Muthollib untuk berbicara, ia tak meminta apapun dari Abrahah, selain dua ratus ekor untanya yang telah dirampas. Selain karena keyakinannya yang sangat kuat pada kuasa Allah, pasti ia juga menyadari bahwa Abrahah tidak mungkin menghentikan langkahnya karena gerejanya tidak akan diziarahi orang selama Ka’bah berdiri.
Saat itu, Abrahah tidak mengira Abdul Muthollib hanya meminta untanya, tidak tercetus sedikitpun kata-kata untuk mencegahnya dari penghancuran Ka’bah. Akan tetapi, mungkin kata-kata Abdul Muthollib yang terlontar setelah itu membuatnya cukup tergetar. Kata Abdul Muthollib, “unta-unta ini akulah pemiliknya dan akulah yang menjaganya. Akan tetapi, Bait suci ini ada Pemiliknya dan Dialah yang akan menjaganya.” Lalu setelah itu, Abdul Muthollib kembali.
Setibanya di Makkah, Abdul Muthollib menyeru semua orang untuk berlindung di atas perbukitan di sekitar Makkah. Ketika semua orang bergegas menyingkir ke perbukitan, Abdul Muthollib, bersama beberapa ketua kabilah, mendekati Ka’bah. Ia berdoa, meminta kepada Allah agar menjaga Rumah-Nya,
يَارَبِّ لَا أَرْجُو لَهُمْ سِوَاكَا
يَارَبِّ فَامْنَعْ مِنْهُمْ حِمَاكَا
إِنَّ عَدُوَّالْبَيْتِ منْ عَادَاكَا
“Ya Allah, tidak yang kami harapkan selain Engkau!
Ya Allah, selamatkanlah Rumah-Mu dari mereka!
Sesungguhnya, musuh Rumah-Mu adalah orang yang memusihi-Mu!”
Setelah semua gajah bersiap dan pasukan Habasyah pun sudah berbaris hendak menghancurkan Ka’bah, terjadilah peristiwa yang aneh. Gajah-gajah itu tidak mau melangkah, seolah dari arah Ka’bah ada sesuatu yang menakutinya. Akan tetapi, ketika binatang yang diangkut dari Afrika ini diarahkan untuk berbalik ke arah pulang, mereka bergerak seperti biasa. Sebagian orang di sana pasti mulai menyadari bahwa keanehan ini merupakan sebuah pertanda bahwa Sang Pemilik Ka’bah sedang murka.
Di saat kegaduhan gajah itu terjadi, Nufail menyelinap pergi dan bergabung bersama orang-orang Makkah di perbukitan. Lalu apa yang terjadi setelah itu benar-benar mengejutkan. Tiba-tiba, dari balik bukit-bukit datanglah burung-burung yang sangat banyak. Mengingat jumlah prajurit Abrahah yang mencapai tujuh ratus ribu, maka boleh jadi jumlah burung-burung ini pun lebih banyak lagi jumlahnya. Namanya mungkin burung Ababil, atau boleh jadi “Ababil” bermakna “gerombolan”, tidak ada yang tahu pasti. Tetapi tidak dapat dipungkiri, burung ini merupakan pertolongan Allah untuk menjaga Rumah-Nya, seolah menjawab doa Abdul Muthollib dan orang-orang Quraisy Makkah.
Burung-burung ini membawa batu di paruh dan dalam cengkraman cakarnya, lalu ketika batu ini meluncur, melesat turun dan mengenai tubuh prajurit Abrahah, dengan seketika tubuh itu hancur seperti daun dimakan ulat. Mayat-mayat pasukan Abrahah pun bergelimpangan di sana.
Sebagian pasukan bergajah ini lari pulang ke Yaman, termasuk Abrahah sendiri, dengan luka terbuka yang tak tersembuhkan. Ada di antara mereka yang mati di tengah jalan, dan adapula yang mati setelah sampai di negerinya, seperti Abrahah. Kehancuran mereka ini sekaligus menyebar berita kepada suku-suku dan tempat-tempat yang mereka lewati bahwa Ka’bah benar-benar sebuah tempat suci yang Ada Pemiliknya dan Pemiliknya benar-benar menjaganya.
Setelah peristiwa ini, orang-orang di seantero Arab semakin menghormati Ka’bah dan kaum Quraisy yang memeliharanya. Dari segala penjuru semua orang dari banyak negeri terus berdatangan untuk berziarah ke Ka’bah.
Semua orang di Arab akan selalu mengingat tragedi penyerbuan tentara bergajah ini. Karena itu, mereka menjadikan tahun ini sebagai titik tolak untuk menandai berbagai peristiwa. Mereka menyebutnya “Tahun Gajah”.
Ketika peristiwa tentara bergajah ini terjadi, Abdullah masih berdagang di Suriah. Akan tetapi, ketika seluruh kafilah Quraisy kembali ke Makkah, Aminah tidak menemukan Abdullah di antara mereka. Dikabarkan, suaminya sedang sakit dan harus singgah di Yatsrib.
Abdul Muthollib menyuruh Harits, putra sulungnya, untuk menjemput Adiknya ke Yatsrib. Namun, ketika Harits tiba di kampung paman-pamannya itu, semua orang menyatakan belasungkawa kepadanya. Ia pun memahami bahwa adiknya sudah tiada.
Ibnu Ishaq, Sirah Nabawiyah
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid I
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury, Ar-Rohiqul Makhtum
Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik
Quraish Shihab, Sirah Nabi Muhammad Saw
@ 2023 MisterArie. All right reserved.