misterarie
Facebook
WhatsApp
Email

Muktazilah

washil bin atho

Pendahuluan

Muktazilah merupakan salah satu mazhab teologi paling berpengaruh pada masa awal Islam yang didirikan oleh Washil bin Atha (700–748 M/80–131 H). Washil sendiri pada awalnya adalah murid Hasan al-Basri, seorang ulama besar yang dikenal karena kesalehan dan keilmuannya. Namun, Washil kemudian berpisah dari majelis gurunya karena perbedaan pendapat teologis. Perpecahan ini melahirkan istilah i’tazala (menjauh atau memisahkan diri), yang kemudian menjadi nama mazhabnya, Muktazilah.

Salah satu alasan utama Washil bin Atha meninggalkan Hasan al-Basri adalah perbedaan pandangan mengenai status pelaku dosa besar. Washil memperkenalkan doktrin “al-manzilah bayna al-manzilatayn” (posisi di antara dua posisi), yaitu bahwa pelaku dosa besar tidak bisa disebut sebagai mukmin maupun kafir, tetapi berada di suatu posisi di antaranya.

Kelak, di antara murid tekun Muktazilah, ada pula yang keluar dari barisan muktazilah. Ia mendirikan faham kontra muktazilah yang kini dikenal dengan Asy’ariyah.

Baca juga: Abul Hasan Al-Asyf’ari

Perkembangan Muktazilah di Era Abbasiyah

Muktazilah berkembang pesat pada masa Dinasti Abbasiyah, terutama pada era Khalifah al-Ma’mun (813–833 M). Khalifah al-Ma’mun mendukung Muktazilah karena pandangan rasional dan filosofisnya yang sesuai dengan semangat intelektual zaman itu. Al-Ma’mun bahkan menjadikan doktrin Muktazilah sebagai doktrin resmi negara, yang dikenal sebagai era mihnah (ujian agama).

Prinsip Utama Muktazilah

Muktazilah terkenal dengan ajaran lima prinsip dasar (al-usul al-khamsah), yaitu:

  1. Tauhid
    Allah Esa dan tidak memiliki keserupaan dengan makhluk-Nya. Doktrin ini menyebabkan mereka menolak konsep sifat-sifat Allah yang dianggap menyerupai manusia (seperti tangan atau wajah).

  2. Al-Adl (Keadilan Ilahi)
    Allah adalah Maha Adil. Mereka menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, sehingga manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya.

  3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
    Allah pasti memenuhi janji-Nya untuk memberi pahala kepada orang beriman dan hukuman kepada orang yang berbuat dosa, tanpa pengecualian.

  4. Al-Manzilah Bayna al-Manzilatayn
    Pelaku dosa besar berada di posisi antara mukmin dan kafir.

  5. Amr bil Ma’ruf wa Nahy ‘an al-Munkar
    Kewajiban untuk mendorong kebajikan dan mencegah kemungkaran, termasuk melawan penguasa yang zalim.

Tokoh-Tokoh Utama Muktazilah dan Ajarannya

  • Washil bin Atha
    Pendiri dan perumus awal doktrin Muktazilah. Doktrin utama Washil adalah Al-Manzilah Bayna al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi). Pelaku dosa besar bukan mukmin, tetapi juga bukan kafir.
    Selain itu, Washil juga menegaskan prinsip Tauhid, yang secara spesifik berarti menekankan keesaan Allah tanpa menyerupai makhluk, menolak sifat-sifat antropomorfis Allah (seperti “Allah duduk di ‘Arsy”, “Tangan Allah”, dsb.).
    Terakhir, Kehendak Bebas. Washil mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, karena Allah menciptakan manusia dengan kemampuan memilih.

  • Amr bin Ubaid
    Murid Washil yang melanjutkan ajaran Muktazilah. Selain melanjutkan faham Al-Manzilah bayna al-Manzilatayn, Amr menekankan kehidupan sederhana dan ketakwaan, menggabungkan teologi dengan moralitas pribadi.
    Ia juga mengajarkan prinsip Keadilan Ilahi, bahwa Allah tidak mungkin berbuat zalim; keadilan-Nya menuntut balasan yang sesuai bagi setiap perbuatan manusia.

  • Abu al-Hudzail al-Allaf
    Seorang filsuf besar Muktazilah yang menyempurnakan pandangan rasional mereka. Abul Hudzail menolak keberadaan sifat Allah sebagai entitas terpisah (karena jika terpisah tidak lagi “tauhid”), menegaskan bahwa sifat Allah identik dengan zat-Nya. Lalu, ia juga mengajarkan prinsip Kemahakuasaan Allah, yaitu bahwa Allah hanya melakukan hal yang terbaik (aslah) bagi makhluk-Nya, sesuai dengan keadilan dan kebijaksanaan.

  • An-Nazzam
    Tokoh yang terkenal dengan gagasan-gagasan inovatifnya, termasuk teori atomisme. Berkenaan dengan teori atomisme, An-Nazzam berpendapat bahwa alam terdiri dari partikel-partikel kecil (juz’ la yatajazza) yang tidak dapat dibagi lagi. Lalu, ia juga meyakini Kehendak Bebas Ekstrem yang berarti bahwa manusia memiliki kontrol penuh atas tindakannya tanpa campur tangan langsung dari Allah. Dan terakhir, ia bersikap kritis terhadap Hadis, skeptis terhadap banyak hadis, terutama yang dinilai tidak rasional, dan lebih mengandalkan Al-Qur’an serta akal.

  • Al-Jahiz
    Seorang penulis dan pemikir yang menggunakan retorika untuk menyebarkan gagasan Muktazilah. Al-Jahiz menggunakan gaya bahasa yang indah dan logika untuk menyebarkan doktrin Muktazilah. Lalu, ia juga menekankan pentingnya kehendak bebas dalam menciptakan masyarakat yang adil, serta toleransi dan mendorong dialog antarmazhab, dengan pendekatan rasional yang mengedepankan pemahaman bersama.

Kejayaan dan Kemunduran

Pada masa al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Wathiq, Muktazilah menjadi doktrin resmi negara. Mereka memanfaatkan dukungan ini untuk menyebarkan ajaran mereka dan memperkuat pengaruh di bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan teologi.

Namun, setelah Khalifah al-Mutawakkil (847–861 M) naik takhta, kebijakan resmi negara berubah. Al-Mutawakkil memihak Ahlusunnah wal Jamaah dan menghapuskan doktrin Muktazilah sebagai ajaran negara. Akibatnya:

  1. Reaksi Sosial dan Politik: Muktazilah kehilangan dukungan politik dan menghadapi penindasan.
  2. Kritik Ulama: Tokoh-tokoh Ahlusunnah seperti al-Ash’ari dan al-Maturidi membantah ajaran Muktazilah dengan argumen yang kuat, sehingga pengaruh mereka semakin surut.
  3. Penolakan Tradisionalisme: Ajaran Muktazilah dianggap terlalu rasional dan bertentangan dengan pendekatan tradisional dalam memahami agama.

Tenggelam dalam Sejarah

Pada akhirnya, Muktazilah secara bertahap kehilangan pengaruhnya. Mereka tetap memiliki pengikut dalam lingkaran kecil intelektual, tetapi tidak lagi menjadi mazhab teologi dominan dalam Islam.

Warisan Muktazilah

Meskipun Muktazilah tenggelam, warisan mereka tetap hidup dalam beberapa aspek:

  • Dorongan mereka untuk mengintegrasikan akal dan wahyu memengaruhi filsafat Islam.
  • Pemikiran mereka menjadi dasar bagi diskusi tentang kehendak bebas, keadilan, dan hubungan antara akal dan wahyu.

Muktazilah mengajarkan pentingnya dialog dan penggunaan akal, meskipun perjalanan mereka dalam sejarah menunjukkan tantangan ketika rasionalitas bertemu dengan tradisionalisme agama.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Join Komunitas Kelas Digital MisterArie

misterarie baru

Kelas Digital MisterArie adalah website belajar online terbaik dan terpercaya dalam menyediakan bagi kalian referensi, pengayaan dan bimbingan belajar.

Post Terbaru

Youtube

Scroll to Top