Home » Menguak Makna Zalim dalam Al-Quran
Kita sering mendengar kata “zalim” seperti “dia telah berbuat zalim”, atau “dia adalah raja zalim”. Kezaliman akan selalu terdengar sebagai perbuatan yang tidak bermoral, apakah benar demikian? Untuk menjawab itu, marilah kita menguak makna zalim dalam Al-Quran.
Zalim atau “zhulm” (ظُلْمٌ) merupakan salah satu ungkapan “tindak kesalahan” dalam Al-Qur’an. Kata yang disebutkan sebanyak 289 kali dalam Al-Quran ini memiliki arti “Tidak meletakkan sesuatu di tempat yang seharusnya”. Contohnya, ungkapan Arab اَرْضٌ مَظْلُوْمَةٌ berarti “tanah yang digali ditempat yang salah”, demikian pula ungkapan اِلْزَمِ الطَّرِيْقَ وَ لَا تَظْلِمْهُ bermakna “tetaplah di jalan dan jangan menyimpang”. Dengan kata lain, kata “zalim” digunakan Al-Quran untuk menyebutkan perbuatan yang salah, menyimpang, dan tidak pada tempatnya.
Ada beberapa makna “zalim” yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Pada mulanya, kata ini digunakan secara harfiah saja, yaitu “perbuatan yang salah” atau “tindakan yang melanggar peraturan”, atau “sesuatu yang tidak pada tempatnya”, namun pada perkembangannya, Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk menyebut dosa yang sangat besar.
Makna awal kata “zalim” dapat kita temukan dalam kisah tentang Nabi Adam tatkala Allah menempatkan dirinya dan istrinya ke dalam surga.
وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ
“Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu, dan janganlah kamu dekati pohon ini, sehingga kamu termasuk orang-orang zalim!”
Maksud dari ayat di atas adalah bahwa Adam dan Hawa diperintahkan untuk mendiami “kebun” surga. Allah memperbolehkan mereka memakan apapun di dalamnya kecuali sebuah pohon. Jangankan makan buahnya, mendekatinya saja tidak diperbolehkan. Pohon apakah itu?
Menurut keterangan Surah Thaha ayat 120, pohon itu disebut Pohon Khuld, Pohon Khuldi, atau Syajarotul Khuldi yang berarti “pohon kekekalan”. Namun, nama pohon tersebut merupakan nama palsu yang dibisikkan Setan kepada Adam. Tatkala menerobos surga, Setan mengatakan,
فَوَسْوَسَ اِلَيْهِ الشَّيْطٰنُ قَالَ يٰٓاٰدَمُ هَلْ اَدُلُّكَ عَلٰى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلٰى
“Maka, setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya. Ia berkata, “Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi (keabadian) dan kerajaan yang tidak akan binasa?”
Setan mengharapkan Adam dan istrinya percaya bahwa dengan memakan buah dari pohon larangan tersebut mereka akan menjadi kekal (immortal) seperti malaikat.
Berbeda dari Al-Quran, di dalam Bible, pohon ini disebut “pohon kehidupan” (the tree of life), dan pohon pengetahuan mengenai baik dan buruk (the tree of knowledge of good and evil).
Lalu, Adam dan istrinya pun memakan buah itu. Namun, pada kenyataannya, apakah Adam dan istrinya benar-benar menjadi kekal setelah memakan buah tersebut? Apakah mereka menjadi malaikat? Ternyata tidak. Adam tetap menjadi manusia, demikian pula istrinya. Dengan kata lain, nama “Pohon Khuldi” adalah nama palsu buatan Setan.
Selanjutnya, setelah menyadari kesalahannya, Adam pun merasa bersalah dan mengakui kesalahannya. Bapak umat manusia ini bertaubat dari “kezaliman” yang diperbuatnya. Ia bertaubat sembari berucap, “Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami. Maka jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’rof: 23).
فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنْ رَّبِّهٖ كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّهٗ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 37)
Hal penting yang perlu untuk kita perhatikan adalah bahwa Adam dan Hawa telah menyesal, mengakui kesalahan mereka dan bertaubat. Allah pun telah menerima taubat mereka. Masalah sudah selesai.
Namun, bagi para teolog Kristen, masalahnya belum selesai karena setelah itu, Adam diperintahkan turun dari “kebun” surga. Menurut Kristen, turunnya Adam dari surga merupakan hukuman akibat kezalimannya memakan buah terlarang. Sehingga, setiap manusia yang lahir sebagai keturunan Adam memikul dosa yang telah diperbuat oleh Adam. Dosa ini disebut “dosa asal.”
Sebaliknya, bagi Islam, iman agama Kristen mengenai dosa asal tersebut keliru, karena bertentangan dengan sejarah Islam yang dituturkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 37 di atas. Sebagaimana telah dikemukakan, Adam dan istrinya telah bertaubat dan Allah memaafkan mereka.
Dalam sudut pandang Islam, kesalahan Adam adalah satu hal dan turunnya Adam dari “kebun” surga adalah hal lain. Tidak ada hubungan antara keduanya. Sebab, rencana untuk menciptakan panggung kehidupan yang dihuni oleh “pengganti” atau khalifah Allah telah dibuat jauh sebelumnya, sebagaimana dituturkan Al-Qur’an:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah” (QS. Al-Baqoroh [2]: 30)
Oleh karena itu, dapat dikatakan, meskipun Adam tidak melanggar larangan “mendekati pohon”, ia dan istrinya tetap akan turun ke muka bumi untuk menjadi khalifah.
Pelanggaran Adam dan istrinya tatkala memakan buah dari pohon terlarang merupakan sebuah kezaliman dalam pengertian harfiah, yakni bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang tidak seharusnya.
Pemaknaan kata “zalim” sebagai “perbuatan salah” seperti dalam kisah Nabi Adam ini dipegang teguh oleh para sahabat Nabi Muhammad hingga turunnya Al-An’am (6) ayat 82 di kemudian hari.
Lanjut: Menguak Makna Zalim dalam Al-Quran (Bagian Kedua)
@ 2023 MisterArie. All right reserved.