Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang perempuan yang hidup di sebuah pulau. Setelah tahun demi tahun berlalu dan musim pun berganti, Putri Naga, perempuan ini, menikah dengan Moja, seorang lelaki yang berasal dari seberang pulau. Tak lama kemudian, Putri Naga hamil dan melahirkan anak kembar, keduanya laki-laki. Akan tetapi, mereka begitu terkejut karena salah satu dari anak mereka kelihatan mirip seperti kadal sementara anak yang lainnya tampak normal seperti manusia biasa.
Anak yang seperti kadal itu mereka namakan “Orah” dan anak yang normal mereka namakan “Gerong”. Karena perasaan malu dari pandangan orang-orang di sekitar mereka, dengan hati sedih yang bercampur malu, mereka pun membawa Orah ke tengah hutan dan meninggalkannya di sana sementara Gerong tetap hidup bersama mereka layaknya seorang anak.
Lalu, setelah tahun demi tahun berganti, Gerong telah tumbuh menjadi pemuda yang kuat. Pada suatu hari, ia memasuki hutan untuk berburu rusa dengan menggunakan tombak. Tetapi tiba-tiba ia dihadang oleh seekor kadal raksasa. Dengan sigap, Gerong pun bersiap melemparkan tombaknya ke arah kadal itu, tetapi tiba-tiba ibunya, Putri Naga, datang mencegahnya lalu berkata: “jangan bunuh kadal ini. Dia Orah, saudara kembarmu!”.
Penduduk asli di Pulau Nusa Tenggara saat ini percaya bahwa mereka mempunyai hubungan darah dengan komodo-komodo, the living dragons, yang hidup di hutan-hutan sebelah tempat tinggal mereka. Mereka percaya, para komodo itu adalah saudara mereka sehingga mereka tidak pernah berusaha menyakiti the living dragons itu. Legenda ini, betapapun tidak masuk akal, mereka perlukan untuk menjelaskan asal-usul komodo dan memberikan alasan mengapa mereka harus hidup harmonis bersama reptil mematikan itu.
Memang, ada tiga sumber cerita sejarah: pertama tradisi lisan, cerita dari mulut ke mulut, yang disebut legenda, dongeng, atau mitos. Legenda berasal dari imajinasi manusia dan seringkali tidak dapat dipahami dengan akal sehat. Legenda tentang asal-usul komodo di atas adalah contohnya.
Menurut Joseph Cambell, legenda, betapapun palsunya, diperlukan manusia sebagai sandaran hidup.[1] Seorang aktivis dari Jamaica, Marcus Garvey mengatakan, A people without the knowledge about their past history, origin, and culture, is like a tree without root, masyarakat tanpa pengetahuan tentang sejarah masa lalu, asal-usul, dan kebudayaan, adalah bagaikan pohon tanpa akar.[2] Dengan kata lain, tanpa memiliki cerita tentang asal-usulnya, suatu masyarakat akan cepat tumbang.
Namun, pada masa kini, daripada bersandar kepada legenda—yang asasnya adalah imajinasi—manusia lebih percaya kepada sains—yang bersandar pada bukti-bukti.
Sains, khususnya yang menggeluti sejarah, menjadi alternatif untuk menyusun cerita sejarah. Sains menyelidiki masa lampau dengan mencari bukti-bukti. Arkeolog menggali batu-batuan, paleontolog mencari fosil-fosil tua, para pemburu data itu telah menemukan dokumen, prasasti, tengkorak, batu-batu yang terkubur di dalam lapisan tanah yang berusia sangat tua.
Metode radio karbon membantu ilmuwan menaksir usia bebatuan. Ketika Arthur Lakes menemukan gigi taring raksasa pada 1874 di Colorado, lalu dua puluh enam tahun kemudian Barnum Brown, menemukan sebagian kerangkanya yang besar di Wyoming timur, dan pada tahun yang sama, seorang paleontolog amatir, Sue Hendrickson, menemukan delapan puluh persen kerangka reptil mematikan ini di Dakota Selatan yang kemudian menyusunnya menjadi kerangka T-Rex seperti yang sekarang kita kenal.[4]
Setelah penemuan demi penemuan tersebut, disusunlah sebuah cerita: pada zaman dahulu kala, pada zaman sekitar 115 juta tahun yang lalu, pernah hidup spesies kadal raksasa. Beratnya—yang ditemukan Sue—sekitar 5650 Kg dan masa hidupnya—berdasarkan analisis Histologi—mencapai 28 tahun. Inilah cerita sejarah versi sains, begitu akurat dan menarik, terlalu berharga untuk kita abaikan, bukan?
Akan tetapi, sains juga memiliki kelemahan, weakness. Kita harus mengakuinya. Kelemahan sains adalah keterbatasannya pada ruang lingkup perkara indrawi, pada pengalaman manusia, empiric.
Sains tidak berwewenang menyelidiki perkara gaib yang tidak dapat terdeteksi indra manusia.[5] Sains mungkin bisa mendeskripsikan pola perilaku orang-orang yang beragama tetapi ia tidak dapat melukiskan Tuhan. Teleskop Hubble mungkin telah berhasil menemukan bahwa galaksi-galaksi bergerak semakin menjauh yang mengindikasikan bahwa pada awalnya, alam semesta yang luas ini pernah berkumpul dalam satu titik energi yang lebih kecil dari tanda titik yang mengakhiri kalimat ini. Akan tetapi sains tidak dapat lagi menjelaskan apa yang terjadi sebelum peristiwa big bang itu, apalagi menjelaskan dari mana semua ini berasal dan hendak ke mana semua ini akan pergi. Apakah yang akan terjadi pada akhirnya? Untuk apa kehidupan singkat manusia terjadi? Adakah tujuannya?
Semua pertanyaan eksistensial tersebut tidak dapat dijelaskan dengan teleskop Hubble. Inilah keterbatasan sains, sementara tujuan tertinggi kita membaca sejarah bukan hanya mengetahui apa yang terjadi tetapi juga agar kita dapat mengambil pelajaran, ibroh, dari apa yang terjadi, mengapa umat-umat terdahulu musnah diterjang banjir atau ditempa badai topan yang mematikan.
Selain karena keterbatasan cakupannya yang mesti empiric, kelemahan sains dalam melukiskan sejarah juga bisa dikarenakan keterbatasan data-data yang dikumpulkan, apalagi menyangkut masa lampau yang sangat jauh. Apabila data belum lengkap, sebuah cerita sejarah akan sulit untuk disusun sempurna, bahkan bisa berbalik menyesatkan.
Karena kelemahan tersebut, cerita sejarah yang didasarkan atas sains pun akhirnya melibatkan imajinasi. Contoh ekstrim dan kontroversial mengenai hal ini adalah tentang temuan fosil-fosil pra-ikan, trilobita, tulang-belulang, tengkorak dan hingga peralatan batu-batu runcing yang kemudian dinarasikan sebagai sejarah evolusi makhluk hidup.
Temuan-temuan fosil yang mendukung cerita sejarah evolusi makhluk hidup sangat tidak memadai—untuk tidak menyebut tidak memenuhi syarat ilmiah—walaupun jumlah temuannya mencapai ratusan ribu keping tulang, dan mestinya keterbatasan ini mencegah seorang ilmuwan untuk memulai imajinasinya. Tetapi, khususnya dalam cerita evolusi makhluk hidup ini, sepertinya, ada godaan untuk meletakkan imajinasi di atas bukti, menciptakan narasi walaupun dengan keterbatasan data. Istilah kasarnya, “bikin aja ceritanya dulu, bukti-buktinya menyusul kemudian.”
Akhirnya, disusunlah narasi—seperti disampaikan oleh HG. Wells dalam A Short History of the World—bahwa setelah bumi terbentuk pada 4,5 miliar tahun yang lalu, planet ini mengalami fase badai api dahsyat yang berakhir dengan terciptanya lautan di atas bebatuan tandus. Lalu, sel tunggal—tanpa DNA—pertama muncul di air, sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu. Dari mana dan bagaimana sel pertama ini muncul? Dari mana benih kehidupan pertama ini tumbuh? Belum ada bukti dan data yang pasti sehingga para ilmuwan meletakkan persoalan ini ke dalam salah satu misteri yang belum mampu dipecahkan sains.
Kemudian, muncullah makhluk-makhluk pra-ikan, kerang-kerangan, siput, trilobita dan kawan-kawannya. Lalu tumbuhan muncul di daratan yang mestinya melewati fase panjang terjadinya klorofil dan percobaan-percobaan fotosintesis. Lalu ikan itu pindah ke darat sebagai reptil, lalu reptil berkembang menjadi burung dan mamalia. Bagaimana prosesnya?
Bagaimana evolusi antar-spesies ini bisa mendobrak keteraturan dalam genetika bahwa ikan hanya akan menelurkan ikan dan kambing hanya melahirkan kambing? Apakah sekarang kita akan percaya bahwa Putri Naga telah melahirkan komodo? Jawabannya, semua itu adalah mustahil, akan tetapi para ilmuwan yang bersikeras untuk mempertahankan narasi ini biasanya mengemukakan konsep mutasi, kecelakaan genetik yang menciptakan spesies baru.
Katakanlah seekor ikan—yang bernafas dengan insang — mengadu nasibnya untuk hidup di darat. Lalu apakah ketika ia bertelur dan salah satu keturunannya mengalami mutasi sehingga ia tiba-tiba memiliki paru-paru? Ataukah paru-paru itu terbentuk perlahan demi perlahan sebelum ia menjadi sempurna? Sebutlah ikan ini telah berhasil menjadi reptil di daratan, lalu bagaimana ia beradaptasi untuk mengembangkan sayap dan menjadi burung? Apakah mutasi kembali menjadi jawabannya? Apakah upaya untuk melompat yang terjadi selama ratusan tahun mendukung terjadinya mutasi sehingga reptil bisa melahirkan makhluk setengah burung setengah reptil yang kemudian dalam waktu yang panjang berevolusi menjadi burung sempurna? Lalu bagaimana ceritanya reptil itu bisa berkembang menjadi mamalia? Apakah mutasi lagi yang menjelaskan perkara ini?
Kemudian, apakah mamalia akan menurunkan banyak jenis hewan dan termasuk di dalamnya primata yang nantinya akan mengalami kecelakaan genetik sehingga menciptakan manusia? Lalu, di antara semua spesies, mengapa hanya kita yang mendapatkan kesadaran? Jadi, apakah kehidupan ini terjadi karena berjuta-juta kecelakaan genetik secara beruntun dan periodik yang tidak terduga yang kita sebut mutasi? Apakah kehidupan yang canggih ini terjadi hanya karena kebetulan-kebetulan atau kecelakaan-kecelakaan seperti di atas?
Fred Hoyle, seorang astronom Inggris, menyatakan bahwa peluang munculnya makhluk hidup dengan cara kebetulan adalah “sebanding dengan peluang angin tornado yang menyapu lahan penimbunan barang-barang bekas dan kemudian merakit sebuah pesawat Boeing 747 dari bahan-bahan yang ada di dalamnya.”[6]
Kembali lagi ke pembicaraan kita, dalam cerita evolusi makhluk hidup ini—yang dikemukakan Darwin dalam The Origin of Species by Means of Natural Selection—kita benar-benar mengalami kekurangan data, terutama mengenai ketersediaan fosil transisi. Di manakah fosil-fosil transisi yang menjadi jembatan antar spesies tersebut? Karena datanya tidak lengkap tetapi narasinya sudah disusun sekaligus dipasarkan secara sistematis dalam buku-buku teks sekolah, kita merasa curiga, sepertinya ada kepentingan terselubung yang ingin dilakukan oleh pihak tertentu.
Karena upaya yang terlalu memaksakan tersebut maka sebagian orang, baik dari kalangan Islam—yang meyakini Qur’an—ataupun Kristen—yang meyakini Bible—melihat bahwa cerita evolusi makhluk hidup tampaknya distir oleh orang-orang yang ingin membuat narasi sejarah sedemikian rupa sehingga Sang Pencipta tidak terlibat—untuk menyebut dihilangkan—dalam mekanisme terjadinya segala sesuatu di alam semesta.
Orang-orang ini, dari gejalanya, hendak memasarkan ideologi materialisme. Materialisme adalah faham yang meyakini bahwa alam semesta ini semuanya hanya tersusun dari material, materi, dari atom-atom yang bekerja dan bergerak dengan sendirinya, tanpa campur tangan kuasa Tuhan dan atom-atom ini beserta alam semesta adalah bahan mentah yang abadi, telah ada dan akan selalu ada. Dalam astronomi, ideologi ini menyusup dalam steady-state theory, sebuah teori yang memandang alam semesta ini selalu dalam keadaan tetap[7], tidak ada asal-mulanya, dengan kata lain, tidak ada Sang Pencipta.
Kita dapat melihat dengan jelas, teori steady-state yang menghilangkan peran Tuhan di langit sepertinya akan dilanjutkan dengan teori origin of species by means of natural selection yang menghilangkan peran Tuhan di bumi. Tampaknya, ada kepentingan yang dilakukan secara terstruktur lewat sains.
Apakah sains yang netral ini bisa distir oleh kepentingan golongan tertentu? Kenapa tidak? sains itu ibarat pistol, ia tidak jahat, ia tergantung siapa yang menggunakannya, who is the man/woman behind the gun? Ibarat sarung tangan Thanos dalam film Avenger End Game, ketika Thanos menggunakannya, ia membunuh setengah dari populasi bumi, tetapi ketika Iron Man yang menggunakannya, ia menyelamatkan umat manusia.
Lagipula, bukankah sains modern lahir sebagai antitesis dari agama yang kala itu menghegemoni kebebasan berfikir orang-orang Eropa? Marilah kita baca kembali sejarah kelam para ilmuwan Eropa yang bermusuhan dengan agama. Bukankah Galileo dipenjara gara-gara mengemukakan ide heliosentris yang bertentangan dengan agama (Kristen)? Bukankah Giordano Bruno harus dibakar oleh Roma karena mendukung ide yang sama?[8]
Sains modern lahir sebagai otoritas alternatif yang ingin lepas dari otoritas agama (Kristen), yang dibidani oleh orang-orang yang kecewa terhadap agama. Kenapa kecewa? Karena agama (Kristen) dianggap bertentangan dengan fakta-fakta saintifik, menghalangi kebebasan berfikir, menghalangi humanity, dan bertindak dengan tangan besi.
Maka tidaklah aneh jika para filsuf dan ilmuwan yang “kecewa” (terhadap hegemoni Kristen) dan para pengikutnya yang membabi-buta berusaha menghaluskan jalan menuju sains yang bebas dari Tuhan dan agama. Inilah agaknya yang sedang dilakukan oleh kaum materialis.
Oleh karena itu, sejarah tidak akan sempurna apabila kita hanya mengandalkan sains. Kita perlu mengandalkan sumber cerita lainnya, cerita dari kitab suci.
Kitab suci boleh jadi dianggap tidak ilmiah karena metodenya yang meminta manusia untuk percaya walaupun tanpa bukti. Tetapi inilah karakter agama: beriman sebelum berilmu, percaya sebelum bertanya. Tetapi, kewajiban iman ini—khususnya dalam agama Islam—tidak memasung manusia untuk bertanya. Seorang Mu’allaf Amerika, Jeffery Lang, pernah menulis sebuah buku berjudul, Even Angels Ask. Malaikat pun diperbolehkan untuk mempertanyakan keputusan Tuhan yang ingin menciptakan manusia. Peristiwa itu pernah terjadi. Kala itu Tuhan tidak menghukum malaikat karena bertanya, tetapi Dia mengungkapkan bahwa ada sesuatu dari manusia yang belum dipahami malaikat. Sesungguhnya Aku lebih Mengetahui apa yang kalian tidak ketahui.[9]
Seorang muslim boleh untuk beriman dengan kritis. Bukankah Nabi Ibrahim pernah meminta kepada Allah: Robbi, arini kayfa tuhyil mawta. Ya Allah, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan makhluk yang sudah mati. Kata Allah, a walam tu’min? Apakah Engkau tidak percaya? Lalu jawab Ibrahim, balaa. Walakin liyatma’inna qolbi, Aku percaya, tapi (melihat bukti ini tujuannya adalah) agar hatiku menjadi tenang.[10] Lalu Allah pun memperlihatkan kepada Ibrahim bagaimana proses menghidupkan burung yang sudah mati.
Tidak ada pembungkaman berfikir dalam agama (khususnya Islam), justru agama harus dibangun dengan berfikir. Tuhan wajib kita cari dengan ber-tafakkur, memikirkan fenomena di alam raya ini yang merupakan tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Al-Qur’an selalu menantang kita: A fala tafakkarun? A fala tadabbarun? A fala ta’qilun? Yang semuanya bermakna: apakah kalian semua tidak memikirkannya?
Bagi orang-orang yang meyakininya, kitab suci merupakan kebenaran. Isinya, informasinya, berasal dari Tuhan. Contohnya adalah tentang kisah penciptaan manusia pertama.
Baik Al-Quran maupun Bible menceritakan secara lengkap bagaimana manusia pertama yang bernama “Adam” diciptakan. Informasi ini menjadi dasar dalam buku-buku cerita sejarah Islam bahwa manusia bernasab kepada seorang nabi, bukan kepada primata seperti yang diimajinasikan dalam narasi evolusi makhluk hidup di atas.
Tetapi, persoalannya adalah, apakah kita, manusia, bahkan yang berpegang-teguh pada sains, mau percaya pada Tuhan sehingga kemudian mau mendengarkan cerita sejarah versi kitab suci?
Sebenarnya, rata-rata manusia percaya pada Tuhan. Sejak zaman kuno manusia telah meyakini Adanya Tuhan, bahkan mereka sangat yakin. Di Mesir, Fir’aun membangun obelisk, tugu-tugu rucing yang dipersembahkan kepada Tuhannya, dewa matahari. Bangsa Babilonia dan Persia juga demikian. Mereka membangun kuil-kuil pemujaan dewa-dewi. Orang-orang Maya dan mereka yang merupakan penduduk Amerika kuno juga memuja Tuhan. Kuil-kuil berbentuk piramida yang mereka bangun tidak lain dan tidak bukan merupakan bangunan untuk mendekati Tuhan. Kita tidak usah membahas orang-orang Yunani, mereka bangsa yang sangat “ber-Tuhan”. Dewa-dewi mereka begitu populer dengan cerita-ceritanya yang dramatis sehingga belakangan dibuatkan filmnya oleh Hollywood dengan judul Clash of the Titans, konflik antar Tuhan, antara Zeus sang dewa petir, Poseidon sang dewa laut, atau Ares sang dewa perang.
Jadi, masalah bangsa-bangsa kuno itu bukanlah karena mereka semua tidak ber-Tuhan, tetapi justru karena Tuhan mereka terlalu banyak (politeistik, musyrik) dan terlalu imajinatif.[11]
Pada zaman ketika manusia tidak berdaya di hadapan alam, dongeng-dongeng telah dibuat dan patung-patungnya pun dipahat. Cerita tentang Osiris, Isis, dan Horus—yang menjadi legenda bangsa Mesir kuno—adalah jalan keluar imajinatif untuk menangani masalah banjir akibat luapan Sungai Nil dan mengatasi problem kesuburan pertanian. Gadis cantik yang mereka lempar ke dasar Nil didasarkan atas asumsi imajinatif bahwa dewi sungai Nil itu ada dan dapat dibujuk dengan persembahan kurban gadis cantik itu. Meskipun tersesat dalam kesalahan tetapi pada faktanya bangsa-bangsa kuno adalah orang-orang yang takut kepada Tuhan.
Justru baru-baru ini saja, pada zaman modern, manusia menolak adanya Tuhan. Permusuhan antara ilmuwan—seperti Galileo dan Bruno—dan agamawan telah kita singgung sebelumnya yang mengakibatkan lahirnya golongan materialis, golongan yang menolak Tuhan dalam sistem kerja kehidupan.
Selain itu, golongan ini juga menganggap kehadiran Tuhan mengakibatkan matinya kemerdekaan manusia, matinya kemerdekaan berkehendak, berfikir, berbuat, dan berkarya. Tuhan dianggap sebagai antitesis dari freedom dan humanity. Fredriech Nitczhe mengatakan, God is Dead. Karl Marx menganggap agama sebagai candu yang membuat masyarakat menjadi lemah dan cenderung enjoy ketika ditindas kaum Kapitalis. Sigmund Freud menganggap agama sebagai delusi, pelarian manusia, bukan sesuatu yang nyata dan berdasar. Bahkan, belum lama ini, Stephen Hawking sebelum meninggal menulis dalam Grand Design bahwa alam semesta ini hanyalah satu dari banyak semesta dan semuanya tercipta tanpa Tuhan.
Baru pada zaman inilah Tuhan dilawan. Baru pada zaman inilah gejala ateisme atau ketidakpercayaan kepada Tuhan—seperti yang ditunjukkan oleh Nitzhe, Marx, Freud, dan Hawking di atas—muncul. Sainslah yang menjadi kendaraan bagi ateisme yang kemudian menanamkan keraguan terhadap Tuhan di dalam hati manusia, sebuah penyakit yang kini dianggap modern dan cool karena didasarkan atas sains, didasarkan atas percobaan empiris. Sehingga, kini, tidak sedikit orang yang dengan mudahnya mengatakan, “saya ateis”.
Sedemikian dianggap coolnya ateisme, sampai menurut survei yang dilakukan Ethical Humanist Association terhadap penduduk Reykjavik Islandia pada 2016, setengah dari anak-anak Muda di Islandia, khususnya yang berusia di bawah 25 tahun, percaya bahwa dunia ini diciptakan oleh Big Bang, bukan oleh Tuhan.[12]
Bahkan, gejala ateisme tersebut juga kini telah melanda dunia. Survei yang dilakukan oleh WIN-Gallup International pada 2012 memperlihatkan jumlah pengikut ateisme yang berada pada angka 13% dari populasi dunia, meningkat 3% dibandingkan tahun 2005 dan meningkat 10,7% dibandingkan tahun 1999 yang hanya berada di angka 2,3%. Mayoritas ateisme ini terkonsentrasi di Tiongkok sebesar 47%, di Jepang 31%, di Eropa Barat 14%. Selain itu, 23% dari penduduk dunia juga mengaku “tidak religius”, artinya mereka beragama tetapi tidak menjalankan agamanya.[13]
Betapa banyak orang-orang yang menganggap seolah-olah sains telah menjelaskan semuanya, seakan hanya beberapa keping puzzle sepele yang belum ditemukan untuk menatap lukisan alam semesta, padahal alam semesta ini masih terlalu sulit untuk dilukiskan dan masih terlalu banyak menyimpan misteri, masih jauh dari bayangan kita, soal ada apa sebelum big bang, force apa yang mengatur alam semesta dari tingkat sub-atomik hingga tingkat super-cluster, bagaimana sel hidup pertama muncul, bagaimana spesies yang beranekaragam bisa lahir, bagaimana kesadaran manusia pertama kali tumbuh, dan seterusnya. We still have so many home works to do. Thomas Alva Edison mungkin telah menciptakan bohlam yang menerangi kamar kita yang gelap, tetapi cahaya sains masih jauh dari cukup untuk menjadi lentera kehidupan manusia.
Bukanlah ranah sains untuk membicarakan alam gaib, menyelidiki masa lampau yang terlalu jauh, apalagi menemukan makna kehidupan. Tidak ada jalan lain, satu-satunya andalan manusia adalah agama.
Agama yang dapat memberitahukan manusia, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup di dunia, dan setelah mati akan pergi ke mana. Semua itu dijelaskan oleh Tuhan melalui lidah para nabi, hanya saja, pertanyaannya, apakah manusia bersedia percaya kepada Tuhan, mau percaya bahwa para nabi menerima wahyu langsung dari Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini? Apakah Anda seorang muslim ataukah non-muslim, marilah kita meninjau hakikat agama Islam ini.
Agama Islam, agama yang dibawa oleh Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan hingga Muhammad, percaya bahwa para nabi berbicara atas nama Tuhan. They speak for God. Mereka adalah pesuruh Tuhan. Kata Nabi bermakna “pembawa berita dari Tuhan”. Berita apa? Berita gaib, berita yang tidak dapat diverifikasi oleh sains, berita tentang dari mana manusia datang dan hendak kemana ia akan pergi.
Seorang Nabi—sebagaimana disebutkan Asy-Syaukani—tidak membawa syari’at dan tidak menerima wahyu dari malaikat Jibril, tetapi ia menerima ilham, suatu bentuk one way traffic communication dari Tuhan kepada manusia. Syari’at yang ia dakwahkan kepada umatnya adalah syari’at yang telah diturunkan kepada seorang Rasul sebelum dirinya.[14] Contohnya Nabi Harun, ia tidak mengajarkan—kepada Bani Israil—apapun kecuali Taurat yang telah diturunkan kepada Nabi Musa.
Adapun seorang Rasul adalah seseorang yang Tuhan pilih untuk melakukan suatu tugas, untuk menyampaikan risalah kepada umat manusia. Tetapi bagaimana manusia yang fisik dapat berhubungan dengan Tuhan yang non-fisik? Bagaimana makhluk nisbi dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta yang Abadi? Untuk keperluan ini, maka Tuhan pun menggunakan Rasul yang lain, yaitu makhluk gaib dari unsur cahaya bernama malaikat.
Dalam Al-Qur’an, malaikat Jibril juga disebut Rasul karena ia juga mendapatkan perintah dari Tuhan untuk melaksanakan banyak urusan, di antaranya untuk menyampaikan risalah dari Tuhan kepada para nabi.
Malaikat Jibril, panglimanya para malaikat, adalah jembatan antara dunia metafisik dan dunia fisik, antara alam ghaib dan alam syahadah, antara dua dimensi yang berbeda. Malaikat Jibril membawa wahyu dari Allah kemudian menyampaikannya kepada para Rasul—yang seluruhnya berjumlah 315 orang—yang dimulai dari Nabi Adam dan berakhir pada Nabi Muhammad. Tidak ada satu umat pun yang tidak diutus kepada mereka seorang Rasul atau Nabi. Sebanyak 124.000 nabi telah dikerahkan kepada semua umat manusia di sepanjang zaman untuk mengajak manusia menyembah Allah, Tuhan Satu-Satunya.
Wahyu yang disampaikan oleh para Rasul dihimpun menjadi kitab suci. Himpunan kitab suci yang dibawa oleh Musa menjadi hukum bagi Bani Israil dan disebut Taurat, himpunan Wahyu Daud disebut Zabur, himpunan Wahyu Isa disebut Injil dan himpunan Wahyu yang diajarkan Muhammad disebut Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang terakhir adalah revisi final dari kitab suci-kitab suci yang pernah diturunkan, yakni Taurat dan Injil. Sebab, bukanlah sebuah rahasia lagi untuk mengatakan bahwa Taurat yang kini menjadi pedoman bangsa Israel dan Bible—yang berisi himpunan Taurat dan Injil—yang menjadi pedoman umat Kristiani telah mengalami banyak perubahan, interpolasi, dari versi aslinya. Taurat bangsa Israel telah ditulis-ulang dengan menghapus hal-hal yang tidak menguntungkan bangsa Israel. Adapun Injil, kitab yang kini dipegang umat Kristiani, turut menghimpun surat-surat Paulus yang mengajarkan ketuhanan Isa yang membuat hampir sepertiga dari penduduk planet ini menganggap Isa adalah anak Tuhan dan juru selamat bagi umat manusia.
Walaupun, khusus mengenai interpolasi dalam Injil, dibantah oleh Elijah Syeikh, cendikiawan Kristen Iran, namun fakta-fakta tentang perubahan atau interpolasi Bible ini terlalu gamblang dan telah luas dibahas oleh para ilmuwan, antara lain oleh Karen Arsmtrong dalam Sejarah Tuhan dan Sejarah Alkitab.[15]
Umat Islam percaya bahwa Nabi Muhammad merupakan Nabi dan Rasul terakhir yang diutus untuk meluruskan agama Islam yang sebenarnya juga merupakan agamanya Isa—yang disembah oleh umat Kristiani—dan Musa—yang dianggap sebagai salah satu nabi terpenting dalam sejarah Israel.
Umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang orisinil dan merupakan Kalam Ilahi yang suci dari rekayasa manusiawi. Walaupun ayat-ayat Al-Qur’an—sebagian kecilnya—turun untuk menjawab realitas yang terjadi pada zaman Nabi, untuk menjawab pertanyaan aksidental yang ditanyakan oleh orang-orang kepada Nabi, dan singkat-kata, melebur dalam sejarah, dikemas dalam bahasa Arab yang merupakan bagian dari sejarah, namun umat Islam percaya bahwa Kalam Ilahi ini suci dari intervensi sejarah, ia merupakan Kalam Ilahi yang Abadi sejak zaman azali. Perkara ini akan terdengar mirip dengan perkara taqdir, predestination, di mana manusia berkehendak pada hari ini tetapi sebenarnya Tuhan telah menuliskannya pada zaman azali.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang cukup kuat untuk membuktikan orisinalitas Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi. Karena salah satu pondasi buku sejarah ini adalah Al-Qur’an maka perlulah di sini untuk dikemukakan mengenai orisinalitas dan otoritas Al-Qur’an sebagai sumber sejarah yang akan kita gali. Kita tidak akan mengupas semuanya. Bagi pembaca yang penasaran dan ingin terkagum-kagum kepada Al-Qur’an, silahkan membaca buku Mukjizat Al-Quran yang dikarang oleh Prof. Quraish Shihab.[16]
Pertama, berbeda dari Bible yang sebagian isinya bertentangan dengan sains—seperti kesalahan Bible yang mengatakan bahwa bumi ini merupakan pusat alam semesta, tidak ada satu ayat Al-Qur’an pun yang bertentangan dengan sains modern. Malah, ayat-ayat Al-Qur’an yang turun sekitar seribu tiga ratus tahun yang lalu di gurun Arabia, telah menyebutkan fakta-fakta saintifik yang baru ditemukan pada abad ke-20. Berikut akan kami kemukakan beberapa contohnya.
Ketika teleskop Hubble, pada abad ke-20, baru menguatkan pandangan bahwa alam semesta yang luas ini pernah memadat dalam satu titik energi yang sangat kecil yang kemudian meledak dan menciptakan dentuman besar yang dikenal dengan big bang, Al-Qur’an yang turun di gurun Arabia sekitar seribu tiga ratus tahun sebelumnya telah mengatakan “apakah orang-orang kafir itu tidak tahu bahwa langit dan bumi, keduanya, dahulu satu padu—rapat—kemudian kami pisahkan keduanya.” (QS. Al-Anbiya: 30)
Ketika astronomi pada abad ke-20 baru menemukan bahwa matahari merupakan sumber cahaya di tata surya sementara bulan cahayanya hanya merefleksikan cahaya matahari, Al-Qur’an yang turun di gurun Arabia sekitar seribu tiga ratus tahun sebelumnya telah membedakan antara cahaya matahari (sebagai sumber cahaya) dan cahaya bulan dalam ayat “Maha suci Allah yang telah menciptakan di langit bintang-bintang yang besar, dan menciptakan di sana lampu yang terang (yakni matahari) dan bulan yang bercahaya (QS. Al-Furqon: 21)
Ketika astrofisika pada abad ke-20 baru menemukan bahwa alam semesta ini semakin mengembang seperti balon yang ditiup, meluas menjauhi titik ledakan big bang, maka Al-Qur’an yang diturunkan di gurun Arabia sekitar seribu tiga ratus tahun sebelumnya telah mengatakan, Dan langit, Kami membangunnya dengan Kekuasaan. Dan sungguh, benar-benar kami terus memperluasnya. (QS. Adz-Zariat: 47)
Ketika geologi pada abad ke-20 baru mampu menemukan bahwa gunung merupakan bagian kecil dari kulit bumi yang menonjol sementara bagian besarnya memancang seperti pasak ke perut bumi yang berfungsi sebagai pasak untuk membuat permukaan bumi layak huni, Al-Qur’an yang diturunkan di gurun Arabia sekitar seribu tiga ratus tahun yang lalu telah mengatakan Bukankah telah Kami Jadikan bumi ini sebagai tempat tinggal? Dan gunung-gunung sebagai pasaknya? (QS. An-Naba: 6-7)
Ketika biologi pada abad ke-20 baru menemukan bahwa lebah diperintah oleh ratu lebah dan para lebah pekerja yang membawa madu dari bunga ke sarang adalah lebah-lebah betina, Al-Qur’an yang diturunkan di gurun Arabia sekitar seribu tiga ratus tahun sebelumnya telah mengatakan, Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah: jadikanlah, ittakhidzii, (ittakhidzii, sebuah kata perintah dalam bahasa Arab yang ditujukan kepada perempuan. Jika kepada laki-laki bukan ittakhidzii, tetapi ittakhidz) gunung-gunung sebagai tempat tinggalmu, dan juga pohon-pohon, dan di manapun yang tegak berdiri (QS. An-Nahl: 68)
Ketika biologi pada abad ke-20 baru menemukan bahwa semut diperintah oleh semut betina, Al-Qur’an yang diturunkan di gurun Arabia sekitar seribu tiga ratus tahun yang lalu telah merekam ucapan semut ketika Nabi Sulaiman akan melintas, Berkatalah Ratu Semut/Semut betina, Namlah, wahai naml (semut jantan), masuklah kalian ke dalam rumah kalian agar tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya sementara mereka tidak menyadarinya (QS. An-Naml: 18)
Ketika biologi pada abad ke-20 baru menemukan sistem peredaran darah, di mana usus menyerap substansi penting dari makanan lalu melalui darah, mengirimnya ke seluruh organ tubuh yang di antaranya menghasilkan susu, Al-Qur’an yang diturunkan di gurun Arabia sekitar seribu tiga ratus tahun yang lalu telah mengatakan sesuatu tentang peredaran darah, Sesungguhnya pada hewan ternak ada pelajaran bagi kalian: Kami memberi-minum kalian dari apa yang keluar dari perutnya (susu), dari antara usus dan darah, menjadi susu murni …. ( An-Nahl: 66)
Ketika biologi pada abad ke-20 baru menemukan adanya reseptor rasa sakit yang menempel pada kulit manusia—sehingga manusia dapat merasakan perih—Al-Qur’an yang diturunkan di gurun Arabia sekitar seribu tiga ratus tahun yang lalu, ketika berbicara tentang siksaan di neraka menyinggung soal kulit, Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, Kami akan bakar mereka dengan api. Ketika kulit mereka telah habis, kami ganti lagi dengan kulit lainnya agar mereka merasakan adzab… (QS. An-Nisa: 56).
Itulah sebagian dari ayat Al-Qur’an yang diturunkan tiga ratus tahun yang lalu yang berbicara tentang fakta-fakta yang baru ditemukan sains pada abad ke-20. Cukup banyak buku-buku yang menguraikan topik ini, antara lain buku Dr. Zakir Naik, Al-Quran and the Modern Science Compatible or Incompatible?[17]
Selain karena wataknya yang selalu one step ahead of science, Al-Qur’an juga mengandung konten matematis yang begitu menakjubkan. Penelitan Dr. Rasyad Khalifah dan Abdulrazaq Naufal akan mengakhiri argumentasi kami mengenai orisinalitas dan otoritas Al-Qur’an sebagai Kitab Suci ilahi.
Pertama, Dr. Rasyad Khalifah mengemukakan angka 19 sebagai angka patron yang menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab suci yang sangat matematis. Kalimat Basmalah yang mengawali Al-Qur’an terdiri dari 19 huruf. Al-Qur’an terdiri dari 114 surat (19×6), wahyu pertama, Surat Al-Alaq 1-5 terdiri dari 19 kata dan 76 huruf (19×4). Wahyu pertama, seluruh ayatnya berjumlah 19 dan merupakan urutan ke-19 surat Al-Qur’an dari belakang. Surat ini terdiri dari 304 huruf (19×16).
Kedua, Abdulrazaq Naufal dalam Al-I’jaz Al-Adad Al-Qur’an Al-Karim menyebutkan keseimbangan-keseimbangan dalam konten Al-Qur’an. Perhatikan tabel-tabel berikut ini:
Semua keseimbangan matematis tersebut adalah bukti kekuasaan Tuhan. Mengingat fakta bahwa ayat-ayat Al-Qur’an turun pada abad ke-7 Masehi di gurun Arabia secara berangsur-angsur, di mana sebagian ayatnya justru diturunkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat, maka mustahil ketika ayat-ayat itu dihimpun menjadi satu Kitab lalu mempertontonkan kepada kita keseimbangan-keseimbangan yang menakjubkan seperti pada tabel di atas.
Keseimbangan di atas adalah bukti bahwa Al-Qur’an berasal dari Tuhan, bukan karangan manusia, bukti bahwa Al-Qur’an, kitab suci yang dipegang oleh umat Islam adalah orisinil dan memiliki otoritas untuk kita jadikan sandaran.
Sebagian dari isi wahyu adalah informasi tentang sejarah. Sebagian isi Al-Qur’an adalah kisah-kisah. Jika kita meyakini bahwa wahyu dalam kitab suci adalah kebenaran, maka secara logika kita pun mestinya meyakini kebenaran sejarah versi kitab suci.
Di atas, kita telah membicarakan tiga sumber cerita sejarah: legenda, sains, dan kitab suci, khususnya Al-Qur’an. Kita telah menyinggung sedikit tentang asal-usul komodo, dewa-dewi Mesir, cerita evolusi makhluk hidup, Avenger, ateisme, hingga mukjizat Al-Qur’an. Semua itu tampaknya merupakan topik-topik yang acak padahal tidak demikian. Semuanya merupakan bagian-bagian penting dari sumber sejarah yang akan kita gali untuk memperkaya buku ini.
Telah banyak buku sejarah yang ditulis berdasarkan legenda dan tidak terhitung buku-buku yang dikarang berdasarkan temuan sains serta tidak sedikit juga buku-buku sejarah yang disusun berdasarkan informasi dari kitab suci. Kini, pertanyaannya adalah: adakah titik temu dari ketiganya?
Penulis meyakini adanya titik temu dari ketiga sumber tersebut.
Namun demikian, tidak ada sinergi yang benar-benar sempurna. Ada waktunya kita akan menjelaskan Al-Qur’an dengan bukti-bukti saintifik (sinergi). Ada kalanya kita akan mengabaikan sains atau legenda dan menggunakan Al-Qur’an (konflik). Ada saatnya kita hanya mengutip sains tanpa mengutip Al-Qur’an karena kitab suci tersebut tidak berbicara mengenai topik yang sama (harmoni).
Pada buku ini, kita akan memberikan prioritas pertama kepada Al-Qur’an dan kedua, kepada sains. Legenda hanya kita akan jadikan sebagai pelengkap.
Kerangka besar dalam cerita sejarah manusia akan kita buat berdasarkan informasi Kitab Suci, karena di sini bukan wewenang sains dan bukan pula filsafat. Tetapi, kita akan menempatkan cerita-cerita Al-Qur’an dalam time line yang telah dibuat oleh sains. Periodisasi sejarah yang dilakukan oleh geologi akan tetap kita gunakan untuk melukiskan zaman-zaman yang berusia milyaran tahun yang lalu.
Tidak banyak buku-buku sejarah—berbahasa Indonesia—yang ditulis dengan metode yang mengharmonikan antara sains dan agama. Asal Usul Manusia yang dikarang Dr. Moris Bucaille, Ternyata Adam Dilahirkan karangan Agus Musthofa, atau Perjalanan Akbar Ras Adam tulisan Agus Haryosudarmojo adalah salah satu di antara yang sedikit itu. Buku yang pertama lebih fokus pada asal-usul makhluk hidup dan asal-usul manusia; buku yang kedua ingin mendamaikan antara cerita manusia purba dan kelahiran Nabi Adam; adapun buku yang terakhir fokus pada teori out of Africa dan bagaimana komunitas manusia pertama mulai menyebar di muka bumi hingga menjadi beraneka ras.
Namun, buku-buku sejarah Islam—yang berdamai dengan sains—yang disusun dalam narasi besar sejarah dunia dari zaman pra-sejarah hingga zaman modern bisa dibilang cukup langka. Buku Firas Al-Khatheeb, The Lost Islamic History ditulis sangat bagus dengan rentang dari sekitar abad ke-6 sampai abad ke-20. Tetapi mungkin, tidak kalah menariknya buku Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam, ditulis dengan rentang sejak timbulnya peradaban kuno di Mesopotamia hingga abad ke-20.
Kelebihan lain dari buku Ansary adalah upayanya untuk mengganti istilah-istilah yang Eropasentris, seperti “timur tengah”. Alih-alih, ia menggantinya dengan istilah “Dunia Tengah”, sebab, ia melihat kawasan Arabia dan utaranya, di sebelah timur Mediterania, adalah kawasan yang berada di tengah-tengah antara negeri-negeri barat di sekeliling Mediterania dan negeri-negeri timur yang sambung-menyambung melalui jalur darat yang dahulu dikenal sebagai “jalur sutra”.
Buku-buku di atas menjadi motivasi bagi penulis untuk menghadirkan sebuah narasi besar sejarah dunia versi Islam yang merentang sejak penciptaan alam semesta hingga tibanya abad ke-20.
Yang ingin disampaikan dalam buku ini adalah bahwa alam semesta dan kehidupan ini tidak diciptakan melainkan semata-mata sebagai ujian bagi manusia. Langit dan bumi yang canggih ini diciptakan sedemikian rupa sebagai prasarana sehingga manusia dapat hidup dengan tenang. Sejak awal terbitnya fajar kesadaran manusia dalam kisah manusia pertama, agama Islam telah tumbuh menjadi agama manusia. Namun, setelah zaman demi zaman berlalu, monoteisme tercemar dan mulai digantikan oleh politeisme. Berhala-berhala pun mulai dipahat dan dipuja seiring dengan narasi-narasi mitologis yang terus dikembangkan. Para Nabi dan Rasul diutus sepanjang zaman, menyebar di berbagai umat, untuk meluruskan agama manusia yang sesat, sampai tibanya zaman nabi terakhir, Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad membawa peringatan untuk kembali kepada monoteisme yang telah diajarkan sejak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga Isa. Beliau juga mengingatkan bahwa kiamat sudah dekat. Walaupun relatif masih lama diukur dengan usia manusia tetapi relatif dekat jika diukur dari usia bumi yang sudah begitu tua.
Setelah Islam jatuh dalam peperangan yang dimenangkan oleh Barat, ada waktunya ketika Islam akan bangkit kembali.
[1] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. xliii
[2] https://www.gotravelaindonesia.com/legenda-sejarah-komodo/
[3] Marvin Perry, Sejarah Peradaban Barat
[4] Wikipedia/Tiranosaurus/
[5] Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
[6] Agus Haryosudarmojo, Perjalanan Akbar Ras Adam, hal. 4
[7] Ensiklopedi Sains Populer
[8] Nidhal Guessom, Memahami Sains Modern.
[9] QS. Al-Baqoroh
[10] QS. Al-Baqoroh: 260
[11] Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan
[12] Rifki Muhida, Bukti Sains Adanya Penciptaan Alam Semesta dan Kiamat, hal. 1 dan 2
[13] Rifki Muhida, Bukti Sains … hal. 2
[14] Ali Musthofa Ya’qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi
[15] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan dan Sejarah Al-Kitab
[16] Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an (Bandung: Mizan)
[17] Zakir Naik, Al-Quran and the Modern Science Compatible or Incompatible?
@ 2022 MisterArie. All right reserved.