Kelas Digital MisterArie adalah website belajar online terbaik dan terpercaya dalam menyediakan bagi kalian referensi, pengayaan dan bimbingan belajar.
Home » Mengenal Ibnu ‘Athoillah dan Kitab Al-Hikam
Hidup di negeri Alexandria, Mesir, Ibnu Athoillah yang nama aslinya Ahmad Tajuddin bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah mempelajari berbagai ilmu Islam tradisional: tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih, bahasa dan sastra.
Sebagian informasi mengatakan bahwa Ibnu Athaillah menganut madzhab Maliki, di samping itu, ada pula yang menyebutnya pengikut madzhab Syafi’i. Namun, yang pasti, di bidang tasawuf, ia mengikuti tarikat Syadziliyah.
Ibnu Athaillah, yang diberi julukan “As-Sakandari” (artinya dari Alexandria), tinggal di Kairo dan melewati hari-harinya dengan mengajarkan ilmu agama kepada umat Islam. Di Masjid Al-Azhar, ia menggelar majlis taklim, memberikan pengajian dan sekaligus menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan.
Guru Ibnu Athoillah yang terkenal, Abul Abbas Al-Mursi (wafat 686 H / 1288 M), pernah berkata kepada Ibnu Athoillah: “Tekunilah ilmumu. Demi Allah, jika kamu menekuninya kelak kamu akan menjadi mufti dalam dua bidang: syariat dah hakikat.”
Karena keluasan ilmu dan pemahamannya, Ibnu Athoillah menulis banyak karya, yaitu:
Pada bulan Jumadal Akhir tahun 1309 M / 709 M, Ibnu Athoillah wafat di Mesir.
Kitab Al-Hikam yang dikarang Ibnu Athoillah merupakan salah satu kitab tasawuf yang paling berpengaruh di dunia Islam, bahkan hingga masa kini. Kitab ini ditulis dengan latar belakang praktik dan pemikiran tasawuf yang marak berkembang sejak masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam.
Memang, pemikiran dan praktik tasawuf kerap menjadi kontroversi karena asal-usulnya diduga berasal dari filsafat Yunani: unsur asing dianggap mencemari, membuat ajaran Islam menjadi tidak murni. Makanya, sebagai antitesis dari situasi tersebut, lahirlah golongan kaum muslim yang berusaha memurnikan Islam, memahami Islam sedekat mungkin dengan pengertian tekstualnya, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyyah.
Apa yang dikuatirkan golongan pemurnian Islam tersebut memang cukup beralasan. Pasalnya, sebagian penganut tasawuf memang benar-benar telah jauh meninggalkan arti tekstual (yang hingga tingkat tertentu sangat diperlukan) dan berpaling kepada pendekatan tafsir batiniah yang meyakini secara mutlak adanya makna lain di balik teks yang tertulis. Persoalannya, adakah metode kontrol internal (dalam ajaran tasawuf sendiri) yang disepakati untuk mencegah agar penafsiran batiniah tersebut tidak keluar jauh dari maksud-maksud Al-Quran?
Karena ketiadaan kontrol dan berpotensi menjadikan penafsiran batiniyah disalahgunakan, maka kehadiran para ulama seperti Ibnu Taimiyyah dan mereka dari golongan tekstual sangat diperlukan sebagai kontrol eksternal. Ada check and balance.
Namun, pada nyatanya, tidak semua gerakan tasawuf melewati batas-batas yang “berbahaya”. Sebagian besar sufi dan tarikat sufi berjalan di jalan yang aman dalam akidah dan syariat agama. Mereka mengamalkan dzikir-dzikir agar pengikutnya selalu ingat bahwa di balik ibadah yang dilakukan ada Allah yang hendaknya dijadikan tujuan. Bukan ibadah yang memasukkan manusia ke dalam surga, bukan pula amal. Tetapi Rahmat Allah, keputusan Allah yang didasari oleh kasih sayangnya yang akan membuka pintu surga, seperti ditegaskan oleh Nabi saw.
لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
Artinya, “Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR Muslim)
Oleh karena itu, sebagian besar ulama pada masa lalu tidak keberatan, bahkan terlibat, dalam pemikiran tasawuf. Karena pemikiran tasawuf meminta orang-orang untuk sadar bahwa ibadah hanyalah sarana, tetapi tujuan dari semua ibadah adalah mendapatkan keridaan Allah. Seorang sufi (pengamal tasawuf) mengingatkan lagi: dunia ini hanya sementara. Pada masa itu, keberadaan tasawuf dirasakan seperti memberikan ruh ke dalam jasad fiqih, bahkan ke dalam kehidupan seorang muslim yang kering.
Konon, Imam Malik berkata tentang tasawuf (Aliy As’ad, Menyelami Samudra Hikmah Al-Hikam, h. 17) seperti ini:
مَنْ تَفَقَّهَ وَ لَمْ يَتَصَوَّفْ تَفَسَّقْ, وَ مَنْ تَصَوَّفَ وَ لَمْ يَتَفَقَّهْ تَزَنْدَقْ, وَ مَنْ تَفَقَّهَ وَ تَصَوَّفَ تَحَقَّقْ
Artinya, “Siapa yang menaati fiqih tanpa tasawuf maka dia menjadi fasiq, siapa bertasawuf tanpa menaati fiqih maka dia menjadi zindiq, dan siapa yang menaati fiqih dan sekaligus juga bertasawuf, maka ia mendapatkan kebenaran hakiki.”
Imam Syafi’i pun pernah berkata (Al-Hikam Imam Syafi’i, hal. 40),
فَقِيْهًا وَ صُوْفِيًّا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا # فَإِنِّى وَ حَقِّ اللهِ إِيَّاكَ أَنْصَحُ # فَذلِكَ قَاسٍ لَمْ يَذُقْ قَلْبُهُ تُقًى# وَ هذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الْجَهْلِ يَصْلَحُ
“Jadilah ahli fiqih dan sufi sekaligus. Demi Allah, Aku sungguh menasihatimu. Menjadi ahli fiqih saja, keras: hatinya tak merasakan takwa. Menjadi sufi saja, bodoh: bagaimana mungkin orang bodoh akan berguna?”
Bersamaan dengan tumbuhnya gagasan tasawuf lurus di atas, tumbuh pula organisasi-organisasi tasawuf yang dipimpin oleh figur sufi yang disebut juga mursyid (pembimbing spiritual). Masing-masing memiliki metode, atau tarekat (thariqah)nya masing-masing dalam bagaimana meng-upgrade keimanan dari diri yang penuh dosa menjadi diri yang mencintai Allah.
Sejak abad ke-6 Hijriyah, organisasi sufi yang disebut tarekat tersebut telah mulai bermunculan, antara lain:
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, di antara para sufi yang menonjol dalam pengajaran tasawuf adalah Ibnu Athoillah. Terdidik dalam tarekat Syadziliyyah, Ibnu Athoillah kemudian menghasilkan kitab tasawufnya yang terkenal, Al-Hikam. Arti bebasnya, “butir-butir mutiara hikmah.”
Banyak ulama yang memuji hingga terkagum-kagum terhadap Al-Hikam. Selain karena kedalaman isinya, ketepatan kandungan maknanya, kitab ini juga ditulis dengan gaya bahasa yang sangat indah. Bahkan, guru Ibnu Athoillah, Syeikh Abul Abbas Al-Mursi, pun memujinya:
لَقَدْ اَتَيْتَ يَا بُنَيَّ فِى هذِهِ الْكُرَّاسَةِ بِمَقَاصِدِ الْأَحْيَاءِ وَ زِيَادَةٍ
“Wahai anakku, dengan naskah ini, kamu berhasil menyuguhkan maksud tujuan orang hidup, bahkan lebih dari itu.“
Di Indonesia, para ulama menaruh perhatian yang besar pada Kitab Al-Hikam. Kitab ini sangat populer di pesantren-pesantren sebagai kitab pegangan dalam tasawuf, sejajar dengan Ihya Ulumiddin karangan Al-Ghazali.
Kelas Digital MisterArie adalah website belajar online terbaik dan terpercaya dalam menyediakan bagi kalian referensi, pengayaan dan bimbingan belajar.