Membangun Guru Membangun Bangsa

Hari Guru

Selain Hari Kemerdekaan, masyarakat dunia juga memperingati apa yang disebut dengan Hari Guru. Hari Guru adalah hari untuk menunjukkan penghargaan terhadap guru. 

Mengapa manusia di dunia menyelenggarakan hari guru? Karena peran guru sangat penting dalam membangun sebuah bangsa.

Secara luas, guru adalah mereka yang mengajar di sekolah, perguruan tinggi, atau di lembaga-lembaga pendidikan tradisional.

Di Amerika, Hari Guru diperingati selama seminggu pertama pada bulan Mei (Minggu Apresiasi Guru) sedangkan di Brazil, Hari Guru ditetapkan pada hari ketika tokoh bangsa di sana menyetujui dekrit penataan kembali sekolah dasar di Brazil. 

Selain itu, adapula negara yang menetapkan Hari Guru berdasarkan hari lahir presidennya (India), guru agamanya (Taiwan), atau pada hari wafat guru bangsanya (Iran). 

Lalu, bagaimanakah caranya hari guru diselenggarakan? Ternyata setiap negara mempunyai caranya masing-masing. 

Ada negara yang meliburkan sekolah pada Hari Guru (Vietnam, Singapura). Masyarakat di Vietnam diliburkan pada Hari Guru agar setiap orang dapat mengunjungi guru-guru mereka, baik yang masih mengajarkan mereka ataupun yang tidak. 

Adapun di Korea Selatan ada tradisi membagikan bunga Anyelir untuk para guru sementara di China para murid juga memberikan hadiah kepada guru. Bukan hanya dengan bunga, tetapi juga dengan kartu ucapan, dan hadiah lainnya.

Adapun di Indonesia, Hari Guru ditetapkan pada hari berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan biasanya dirayakan dengan upacara peringatan di sekolah-sekolah dan pemberian tanda jasa pagi para guru.[1]

Peran Penting Guru

Betapapun berbeda-beda cara memberikan apresiasi terhadap guru, namun semua bangsa sepakat bahwa guru merupakan ujung tombak pembangunan. Sebab setiap bangsa yang besar dan maju mesti dibangun oleh masyarakatnya yang juga berpikiran besar dan maju dan proses pembentukan masyarakat semacam itu hanya dapat dilakukan melalui pendidikan oleh para guru.

Menarik untuk kita ingat kembali bagaimana bangsa Jepang begitu menyadari pentingnya peran guru. 

Pasca Perang Dunia II bangsa Jepang mengalami kehancuran yang cukup serius, baik dalam hal politik, ekonomi, dan aspek lainnya. Dua kotanya, Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur akibat bom atom yang ditembakkan oleh pesawat Amerika Serikat.

Namun setelah kekalahan itu, yang pertama dilakukan Jepang bukan membangun kembali ekonomi ataupun militernya. Alih-alih, yang mereka lakukan adalah membangun pendidikannya, mengumpulkan para gurunya.

Hal yang sama dilakukan pula oleh Malaysia dan Vietnam. Untuk membangun bangsanya agar bangkit dan menjadi negara yang lebih baik, mereka mengirim para pelajarnya ke negeri lain untuk menimba ilmu.

Berdasarkan catatan sejarah, sebagian dari pelajar-pelajar Malaysia dan Vietnam itu pergi ke Indonesia untuk belajar. Lalu, setelah kembali, mereka membangun bangsanya.

Beberapa dekade kemudian, Malaysia dan Vietnam menjadi negara yang relatif lebih maju dari sebelumnya. Hasil belajar mereka kini menjadi produk-produk yang dinikmati orang Indonesia dengan label “Siam” atau “Bangkok”, seperti “labu Siam”, “sepat Siam”, “jambu Bangkok”, “ayam Bangkok”, dan berbagai bangkok-bangkok lainnya.[2]

Dalam cakupan negara dunia ketiga, negara-negara yang tercatat mengalami kemajuan sebagai hasil dari pendidikan para guru adalah Cina, Brazil, dan India. 

Dr. Mohammed Hassan (Direktur dari the Academy of Sciences of Developing World) menyatakan bahwa ketiga negara di atas, ditambah dengan Korea Selatan (yang telah maju lebih dulu), merupakan “pusat-pusat keunggulan ilmu pengetahuan baru di dunia ini”, sejajar dengan negara-negara Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.[3]

Selain dari negara-negara tersebut, beberapa negara berkembang lainnya mulai menyusul, seperti oleh Pakistan, Iran, Afrika Selatan Mesir, Kuba, Cile, Thailand, dan Nigeria. Keunggulan ilmu pengetahuan tersebut meliputi bidang bioteknologi (Cina, Brazil, India, Mesir, Kuba, Korea Selatan, Afrika Selatan, dan Iran), teknologi informatika dan komunikasi (India, Cina, dan Pakistan), aerospace engineering atau teknologi antartika (Cina, India, Brazil, Pakistan, dan Iran), dan nanoteknologi (Cina, India, Brazil, dan Afrika Selatan).

Bahkan, dalam jurnal bergengsi Nature Biotechnolgy 2004, Iran dinyatakan telah masuk jajaran ke-7 Negara Dunia Ketiga yang terdepan dalam bidang kedokteran (setelah Cina, India, Brazil Mesir, Kuba, Korea Selatan, dan Afrika Selatan) atas keberhasilannya dalam riset stem cell untuk leukemia.

Peran Pemerintah

Perkembangan bangsa-bangsa di atas tak lain karena guru dan pendidikan mendapatkan perhatian yang tak kalah besar dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Bagaimanakah cara pemerintah memperhatikan pendidikan? caranya, antara lain dengan mengalokasikan anggaran biaya pendidikan yang cukup dan memberikan tunjangan yang layak bagi kehidupan guru.

Marilah kita ambil sebuah contoh, yaitu negara Pakistan. 

Dalam 2nd World Science Forum di Budapest, Hungaria tahun 2005, Prof. Dr. Rode (Asisten Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Austria [saat itu]) menceritakan bagaimana Pakistan mengejar ketertinggalan dari India:

Pervez Musharaf, mengundang ilmuwan Kimia terkemua Pakistan, Prof. Dr. Atthaur Rahman dan beliau diminta kesediaannya untuk menjadi Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Pakistan.

Saat itu Prof. Atthaur Rahman balik bertanya kepada presiden, “are you serious on science Mr. President?”. President Musharraf menjawab: “Of course, I’m serious!”

Atthaur Rahman kemudian mengatakan, “if you are serious on science, then follow my policy! 

Apa policy yang diminta Prof. Atthaur Rahman? Sang profesor mengatakan: “First goverment must increase higher education budget this year by 100%, then followed by 50% every years to come untul 5 year. 

Secondly, Government must increase research expenditure by 6000% and lastly, government must pay Pakistani outstanding scientist four time higher than cabinet ministers! If you agree with my policy, I’m ready to be your minister!” 

Presiden Pervez Musharraf setuju dengan policy ini. Dan setelah 5 tahun, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan industri di Pakistan mengejar keberhasilan India.[4]

Kasus pada Pakistan tersebut menunjukkan pentingnya peran pemerintah dalam pemberdayaan guru. Hingga saat ini, Pakistan tercatat sebagai salah satu negara terdepan dalam ilmu pengetahuan di antara negara-negara berkembang.

Perjuangan Guru Indonesia

1. Memberantas Buta Huruf

Apa yang dilakukan Pakistan untuk mengembangkan guru dan pendidikan sebetulnya dapat ditiru oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia. Namun setiap negara biasanya memiliki tantangan yang satu sama lain tidak sama sehingga diperlukan gagasan yang lebih kreatif dan relevan untuk negara yang berbeda.

Dalam hal Indonesia, sebetulnya peran guru dalam pembangunan bangsa baru dapat diperhatikan setelah tahun 1945, tahun kemerdekaan Republik Indonesia. 

Adapun sebelum titik waktu tersebut dapat dikatakan belum terdapat apa yang dinamakan “Indonesia” secara formal, meskipun tentunya upaya-upaya untuk membangun kesadaran berbangsa sudah mulai dipopulerkan.

Menurut Anis Baswedan, pada tahun 1945, sekitar 95% bangsa Indonesia masih buta huruf Latin[5], padahal kemampuan baca tulis dan bahasa Indonesia sebuah prasyarat penting untuk membangun Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. 

Namun, berkat guru-guru Indonesia yang berjuang di seluruh kota dan daerah, pada saat ini, tinggal 8% dari bangsa Indonesia yang masih buta huruf Latin, dan sebagian besar dari jumlah tersebut adalah para orang tua.

2. Meningkatkan Level Literasi

Namun demikian, memberantas buta huruf bukanlah tujuan akhir dari perjuangan para guru. Sebab, tantangan zaman telah berubah di mana sekarang informasi mengalir deras dan berlimpah melalui banyak saluran: website, e-book, youtube, televisi, dan banyak sumber lainnya, termasuk buku-buku, koran dan majalah.

Konsekuensi dari perubahan tersebut di atas adalah kini manusia perlu meningkatkan level literasi mereka, dari sekadar mampu membaca dan menulis menjadi mampu memilah dan memilih informasi yang benar, informasi yang penting, dan bermanfaat. Bahkan, lebih dari itu, mereka juga dituntut untuk berperan aktif memproduksi secara kreatif konten-konten informasi. 

Oleh karena itulah, Alvin Toffler menulis di dalam Third Wave:

the illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn” 

(kebutahurufan pada abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, menanggalkan pelajaran sebelumnya, dan belajar kembali).[6]

Karena tantangan tersebut, para  guru Indonesia berusaha merancang model pendidikan yang diperlukan untuk menjawab tantangan zaman. 

Untuk itu, mula-mula, gagasan-gagasan pun dimunculkan, antara lain, seperti:

  1. Penguatan Pendidikan karakter
  2. Keterampilan Abad ke-21
  3. Literasi
  4. Merdeka Belajar

Ketiga konsep di atas merupakan hal-hal penting yang perlu dicapai dalam pendidikan di Indonesia pada masa kini.


Baca juga: Enam Keterampilan Penting pada Abad ke-21


Untuk mencapai tujuan di atas, para guru di Indonesia berjuang dari dua arah: pertama secara top down, dari pemerintah kepada lembaga pendidikan dan yang kedua secara botttom up, yaitu dari rakyat untuk bangsa Indonesia.

Secara top down, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh pada tanggal 15 Juli 2013 M secara resmi telah meluncurkan Kurikulum 2013.[7] 


Download Paparan tentang Kurikulum 2013 di sini.


Kurikulum tersebut cukup berbeda dari kurikulum sebelumnya, terutama karena dirancang agar siswa mampu belajar secara mandiri dengan memanfaatkan media informasi yang saat ini terus berkembang.

Adapun secara bottom up, para guru terus berjuang dalam mendidik di bilik-bilik kelas dari tingkat dasar sampai tingkat universitas.

Tidak mudah perjuangan guru dalam mendidik di era informasi ini. Namun dengan segala keterbatasan tersebut, para guru terus berjuang untuk meningkatkan pendidikan anak bangsa.

Memperhatikan beratnya perjuangan guru yang sangat berat sebagai ujung tombak pembangunan bangsa Indonesia, amatlah pantas bagi guru untuk mendapatkan dukungan  yang lebih layak, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.

Oleh karena itu, Peringatan Hari Guru mestinya menjadi pengingat bahwa betapa pentingnya peran guru bagi bangsa ini, dan secara simbolis dapat mengingatkan kita pula untuk selalu menghargai guru, yang disebut oleh bangsa Indonesia sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa.”

Referensi

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Guru diakses pada 20 November 2014 M

[2] Ayah Edy, Ayah Edy Punya Cerita (Jakarta: Noura Books, 2013), h. v

[3] Surat yang disampaikan oleh Umar Anggara Jenie (ketua LIPI periode 2002-2010) kepada Amin Rais untuk melengkapi monografnya. Lihat Amin Rais, Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia (Jogjakarta: PPSK Press, 2008), h. 249

[4] Amin Rais, Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia, h. 252-253

[5] Wawancara Anis Baswedan di Kabari News, sebuah stasiun TV komunitas bangsa Indonesia di San Francisco, Amerika Serikat, diakses pada 20 November 2014 M,  www.youtube.com/watch?v=M0aHvhXkecY

[6] http://www.goodreads.com/quotes/8800-the-illiterate-of-the-21st-century-will-not-be-those, diakses pada 21 November 2014 M

[7] http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/artikel-kurikulum2013-oleh-rektor-uny, diakses pada 21 November 2014 M