Home » Konspirasi Umair dan Shafwan
Setelah perang Badar usai, kaum Quraisy memendam kemarahan dan rasa malu yang luar biasa. Mereka mempunyai tiga kali lebih banyak pasukan tetapi tidak berhasil memukul mundur Kaum Muslimin yang berjumlah tidak lebih dari tiga ratusan orang. Kini, mereka bolak-balik mengendarai unta ke Madinah untuk menegosiasikan pembebasan keluarga mereka yang menjadi tawanan.
Di salah satu perumahan keluarga Bani Jumah, seorang Bangsawan Quraisy yang berandil besar dalam menabung genderang perang Badar tampak murung. Umair bin Wahab Al-Jumahi merasa gelisah karena putranya termasuk yang menjadi tawanan di Yatsrib. “Apakah putranya akan dicambuk? Apakah akan ditenggelamkan di oasis Madinah? Ataukah akan dipenggal kepalanya?” Pertanyaan-pertanyaan ini terus melintas di fikirannya.
Maka, pada suatu pagi, Umair pergi Thawaf ke masjidi haram, mungkin untuk menenangkan fikirannya. Kala itu, orang-orang Arab memang masih menghormati Ka’bah, tetapi ironinya, mereka pun menyembah ratusan berhala pada saat yang sama.
Seusai Thawaf, Umair melihat sepupunya, Shafwan bin Umayyah sedang duduk di Hijir Isma’il. Umair mendekat dan menyapanya, “Ada apa gerangan, wahai Shafwan, pagi-pagi seperti ini kau sudah berada di sini?”
“Engkau sendiri mengapa sudah ada di sini sepagi ini, wahai Umair?”, balas Shafwan. “Ayo, kita duduk di sini, mengobrol sebentar”, lanjutnya.
Setelah keduanya duduk, mereka pun mulai membicarakan banyak hal tentang kehidupan masing-masing hingga akhirnya mereka membahas kekalahan kaum Quraisy dalam Perang Badar dan tentang keluarga mereka yang menjadi tawanan, hingga akhirnya Shafwan menghela nafas panjang dan berkata, “Demi Allah, tidak ada lagi artinya hidup setelah itu.”
“Benar”, sergah Umair. Lalu ia pun berkata, “Demi Tuhan Penguasa Ka’bah, kalau bukan karena aku masih menanggung hutang yang belum kulunasi, juga keluarga yang kukhawatirkan terbengkalai sepeninggalku, tentu aku akan mendatangi Muhammad untuk membunuhnya. Aku ingin sekali menghabisinya, menghentikannya dari dakwah.”
Shafwan bin Umayyah yang cukup kaya dan sangat membenci Nabi Muhammad ini langsung mengambil kesempatan dan berkata, “Wahai, Umair. Kalau begitu biar aku yang menanggung seluruh hutangmu, berapapun besarnya. Dan biar aku juga yang menjamin kelangsungan hidup keluargamu selagi aku dan mereka masih ada.”
Seolah sebuah jalan keluar sudah muncul. Bagi Shafwan, biarlah hartanya terbuang untuk membayar hutang Umair dan membiayai keluarganya, tetapi yang penting dakwah Islam musnah dari negeri Arab. Ini sepadan.
Umair setuju dengan transaksi ini. Ia berkata, “Kalau begitu, rahasiakan perbincangan kita ini. Jangan sampai ada orang yang mengetahuinya.”
Dalam beberapa hari, Umair menyiapkan banyak hal: transportasi, logistik, hingga senjata. Tekadnya sudah kuat untuk membunuh nabi. Ia tahu betul bahwa setelah membunuh nabi, ia akan ditangkap dan hidupnya akan berakhir. Tetapi paling tidak, Shafwan sudah menjamin keluarganya, juga telah membayar semua hutangnya.
Lalu, berangkatlah Umair menuju utara. Pedang yang dibawanya telah berlumur racun mematikan. Sekali tebas, pasti akan langsung mati mengenaskan. Itu fikirnya.
Dalam perjalanan, beberapa kali ia tentu berpapasan dengan bangsawan-bangsawan Quraisy yang baru kembali dari Madinah untuk menegosiasikan pemulangan keluarganya yang ditawan. Maka, perjalanannya ke Madinah tentu tidak akan dicurigai. Ia akan berpura-pura ingin membicarakan pembebasan putranya yang ditawan.
Setelah sepuluh hari perjalanan, Umair tiba di Madinah. Ia pun menambatkan untanya lalu menghunuskan pedang yang telah dilumurinya dengan racun. Dengan mantap ia berjalan menuju masjid nabawi.
Namun, sayangnya, di muka masjid, Umair harus berhadapan dengan Umar bin Khatab dan para sahabat lain yang sedang duduk berjaga. Dalam situasi ini, sebetulnya, riwayatnya sudah tamat.
Saat melihat Umair, sontak Umar berkata, “Ini dia si anjing musuh Allah, Umair bin Wahab! Tentu dia datang ke sini dengan maksud jahat! Dialah yang menghasut kaum musyrik di Makkah untuk menyerang kita!” Para sahabat pun langsung mengepung Umair.
Lalu, Umar langsung memerintahkan para sahabat lainnya untuk bergegas melindungi nabi dan dirinya pun menyusul. Umar menemui nabi dan berkata, “Wahai, Rasulullah! Musuh Allah, Umair bin Wahab datang dengan pedang terhunus. Menurutku, dia mempunyai maksud jahat!”
“Suruh dia masuk!”, jawab Nabi Muhammad. Umar pun mengambil Umair dari para sahabat. Ia mencengkram kerah bajunya dan menghunuskan pedang ke lehernya seraya membawanya menuju Nabi Muhammad. Sementara itu, pedang Umair masih terhunus ke bawah.
Nabi berkata, “lepaskan dia, wahai Umar!”. Umar pun melepaskannya. “Mundurlah”, lanjut nabi. Umar pun mundur. Sekarang nabi dan Umair pun berhadap-hadapan.
“Mendekatlah, wahai Umair”, kata Nabi. Lalu Umair mendekat seraya menyapa, “An’im Shobahan” (selamat pagi).
Rasulullah menjawab, “Wahai, Umair, sesungguhnya Allah telah memuliakan kita dengan tahiyyat (sapaan penghormatan) yang lebih baik daripada sapaanmu tadi. Allah memuliakan kita dengan “salam” (ucapan Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh). Itulah sapaan (tahiyyat) penghuni surga”.
“Apa yang membawamu ke sini, wahai Umair?” Tanya Rasulullah saw.
“Aku ingin engkau membebaskan tawanan. Sudilah engkau berbuat baik kepadaku dengan membebaskan mereka”, jawab Umair.
Rasulullah, matanya, melirik ke pedang di tangan Umair. “Lantas, apa maksud pedang di tanganmu itu?” tanya Rasulullah.
“Persetan dengan pedang! Adakah yang lebih dibutuhkan darinya di Perang Badar?” Jawab Umair.
“Jujurlah padaku, Umair, apa sebenarnya yang membawamu kemari?” Tanya nabi, untuk menunjukkan bahwa beliau tidak percaya Umair datang ke Madinah dengan pedang terhunus hanya untuk membebaskan tawanan.
“Ya, aku datang untuk tujuan tadi”, tegas Umair.
Karena Umair terus menyembunyikan niatnya, maka Rasulullah pun berkata, “bukankah engkau pernah duduk bersama Shafwan di Hijr Ismail lalu kalian saling menceritakan korban yang berjatuhan dari kalangan Quraisy? Di situ engkau mengatakan ‘Andaikata aku tidak punya hutang dan keluarga yang menjadi tanggunganku, niscaya aku akan pergi membunuh Muhammad’. Lalu Shafwan bin Umayyah menanggung hutangmu dan menjamin keluargamu supaya engkau bisa membunuhku. Akan tetapi Allah menghalangi keinginanmu itu.”
Bergetar Umair mendengar ucapan ini. Patah sudah logika yang dipegangnya, langsung insaflah dia bahwa ucapan ini mustahil keluar dari mulut manusia biasa. Ia pun dengan gemetar berkata, “aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah” (asyhadu annaka Rasulullah).
“Wahai Rasulullah, selama ini kami mendustakan bahwa engkau menerima wahyu, akan tetapi perihal “transaksiku” dengan Shafwan sungguh tidak seorang pun yang tahu, kecuali aku dan dia. Demi Allah, pengetahuanmu tentang hal ini tidak lain pasti merupakan wahyu dari Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menggiringku kepadamu untuk memberiku petunjuk kepada Islam”, ucap Umair.
Lalu, Umair pun mengucap “dua kalimat syahadat”. Secara resmi, ia telah menjadi muslim dan bergabung dalam ummat. Sebagai kelanjutannya, sebagaimana umum yang Rasulullah lakukan terhadap pemeluk baru, Rasulullah berkata, “bimbinglah saudara kalian ini untuk mendalami agamanya, bacakan Al-Quran kepadanya, dan bebaskan tawanannya.”
Masuk Islamnya Umair disambut para sahabat kala itu dengan sukacita, tidak terkecuali Umar, sampai-sampai ia berkata, “Sungguh, babi masih lebih aku sukai ketika Umair datang menemui Rasulullah. Tetapi kini dia lebih aku cintai daripada beberapa anakku sendiri.”
Semenjak itu, Umair bin Wahab menyucikan dirinya dengan ajaran-ajaran Islam.
Sementara itu, tinggallah Shafwan bin Umayyah, sepupunya, dengan segala harapan dan impiannya untuk mendengar kabar kematian nabi. Tak henti-hentinya ia bersenandung “Bawakan untukku kabar gembira yang membuat kalian melupakan getirnya peristiwa Badar.”
Setelah sekian lama menunggu, Shafwan mulai cemas. Berulang-ulang ia bertanya kepada setiap orang yang melintas mengenai kabar Umair namun tak seorang pun yang memberikan jawaban pasti. Sampai akhirnya seseorang menyampaikan kabar kepadanya bahwa Umair telah memeluk Islam.
Berita keislaman sepupunya ini menampar dirinya. Selama ini ia sangat yakin bahwa Umair tidak akan pernah memeluk Islam, sekalipun semua orang di planet ini telah menjadi muslim.