misterarie

2
Kisah Adam di Surga

Hawa

Setelah Iblis dikutuk dan diusir dari surga, Adam pun melanjutkan hidupnya di surga, di mana ia dapat memakan buah-buahan lezat atau meminum airnya yang nikmat. Adam memiliki apapun di surga, kecuali teman. Sehingga, ia merasa kesepian.

Oleh karena itu, Allah pun menciptakan satu manusia lainnya untuk  menjadi teman hidup bagi Adam. Ia adalah seorang perempuan. Penampilannya berbeda dari Adam dan suaranya pun lebih lembut. 

Setelah Hawa, pasangan Adam, diciptakan, maka Allah pun menikahkannya dengan Adam di bawah pohon Thuba dan peristiwa sakral itu disaksikan oleh para malaikat (1).

Pohon Besar

Setelah pernikahan itu, Allah berkata kepada Adam dan Hawa (2):

وَيَا آدَمُ اسْكُنْ أَنتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلاَ مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلاَ تَقْرَبَا هَـذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu, dan janganlah kamu dekati pohon ini, sehingga kamu termasuk orang-orang zalim!”

Perkataan Allah tersebut merupakan peraturan (syariat) bagi Adam dan Hawa, di mana mereka boleh hidup di surga, di sana mereka dapat makan dan minum sesuka mereka, dan menikmati kehidupan yang sangat indah. Namun, mereka tidak boleh mendekati sebuah pohon yang terletak di tengah-tengahnya.

Tetapi pohon apakah itu? Ada yang menyebutnya pohon gandum“(3) dan ada yang mengatakan “pohon khuldi”. Nabi Muhammad menggambarkannya seperti ini (4)

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ شَجَرَةً يَسِيْرُ الرَّاكِبُ فِى ظِلِّهَا مِائَةَ عَامٍ لَايَقْطَعُهَا, شَجَرَةَ الْخُلْدِ

“Sesungguhnya di surga terdapat sebuah pohon, di  mana orang yang melewatinya dengan kendaraan pun selama setahun penuh tidak tuntas melewatinya (saking besarnya), itulah pohon khuldi”

Pohon Khuldi tidak seperti pohon biasa, ia adalah “pohon raksasa” yang sangat besar. Jika satu tahun tidak cukup untuk mengelilingi pohon itu tentu kita dapat membayangkan betapa tingginya pohon itu! pastinya, Adam dan istrinya dapat melihat pohon itu, walaupun dari kejauhan. Dan, tentu saja ini menjawab pertanyaan “bagaimana Adam dan Hawa dapat mengingat satu pohon larangan di antara pohon-pohon surga yang tak terhingga banyaknya?” Jawabannya, karena pohon larangan itu sangat besar dan tinggi!

Lalu, mengapa Allah melarang Adam dan istrinya untuk mendekati pohon besar itu? Apakah pohon itu begitu membahayakan sehingga Allah melarang Adam untuk mendekatinya? 

Sebenarnya, tidak penting itu pohon apa, tidak penting pula alasan mengapa Allah melarang mendekatinya. Yang terpenting dalam sebuah peraturan adalah kita menaatinya, falsafah dari sebuah syari’ah adalah kita mematuhi Allah walaupun belum memahami hikmah di baliknya (5). 

Sejauh ini, Adam dan istrinya mematuhi perintah Allah tersebut. Mereka selalu menjaga jarak dari pohon itu. Mereka juga selalu mengingat pesan Allah agar berhati-hati dari Iblis karena makhluk terkutuk itu telah bersumpah untuk menjadi musuh mereka. 

Namun, semakin dilarang sesuatu, semakin membuat penasaran. Ditambah lagi, Iblis kini mulai beraksi untuk membuat Adam dan istrinya melanggar larangan Allah.

Legenda Merak dan Ular

Bagaimana Iblis dapat mendekati Adam dan istrinya di surga? Bukankah ia sudah dikutuk dan diusir dari surga? Fakta bahwa Iblis dapat masuk ke dalam surga telah memancing banyak penafsiran seperti bahwa mungkin secara de jure, domisili Iblis dalam “KTP” bukan lagi “di surga”, tetapi ia masih dapat masuk ke surga. 

Namun, ada legenda yang mengatakan bahwa masuknya Iblis kembali ke dalam surga adalah sebuah usaha penyusupan yang dibantu oleh dua ekor binatang: merak dan ular. Begini ceritanya (6):

Iblis merancang strategi yang halus untuk mendekati Adam. Alih-alih menghunuskan pedang kepada Adam, Iblis akan mendekatinya dengan melakukan bujukan dan rayuan “maut”.

Maka, Iblis pun menyusup, mendekati pintu surga. Ia menyaru dalam rupa malaikat. Ia memantau situasi untuk mendapatkan jalan masuk ke sana. Ia tidak dapat begitu saja langsung masuk karena Allah telah mengusirnya.

Tiba-tiba, datanglah seekor merak mendekat ke gerbang surga. Bulu indah yang mengembang menambah keindahan merak sebagai pemimpin burung-burung surga. Melihat burung ini, Iblis pun  langsung menghampiri seraya bertanya,

“Wahai burung yang diberkahi Allah. Engkau dari mana?”

“Aku dari kebun-kebunnya Adam”, jawab merak. 

Iblis langsung membujuk merak, “Aku mempunyai satu nasihat untukmu, wahai, merak, tapi dengan syarat kau harus mengantarku ke dalam surga.”

“Kenapa engkau tidak masuk saja sendiri?” Tanya merak. 

“Aku ingin memasuki surga ini diam-diam” Jawab Iblis.

“Aku tidak bisa menolongmu, tetapi aku akan memanggilkan satu makhluk yang bisa membawamu masuk ke dalam surga secara diam-diam”, ujar merak.

Maka, pergilah merak menemui ular. Ia berkata kepadanya, “Di pintu surga, ada seorang malaikat dan ia mempunyai sebuah nasihat penting untukmu.”

Lalu, ular pun langsung menemui Iblis. Kepadanya, Iblis bertanya: “apakah kau bisa memasukkan aku ke dalam surga diam-diam? Sebagai imbalannya, aku akan memberikan nasihat penting untukmu.”

“Tetapi bagaimana cara mengecoh malaikat Ridwan?” tanya ular itu.

“Bukalah mulutmu!” perintah Iblis. Tatkala ular membuka mulutnya, Iblis pun masuk ke dalamnya. Dari dalam Iblis berbisik kepada ular, “letakkan aku di samping pohon larangan.”

Ular itu pun merayap masuk ke dalam surga, mendekati pohon larangan lalu membuka mulutnya dan keluarlah Iblis di sana. Ia mengeluarkan sebuah seruling dan memainkan alunan suara yang syahdu.

Ketika Adam dan Hawa mendengar alunan suara indah itu, mereka mendekatinya. Mereka tertarik untuk mendengar lebih jelas lagi suara yang indah itu.

Pelanggaran

Setelah Adam dan istrinya mulai mendekat ke pohon larangan, Iblis pun memanggil keduanya dan berkata (7): 

يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَىٰ شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلَىٰ
“Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi (keabadian) dan kerajaan yang tidak akan binasa?”

Lalu, kata Iblis (8):

مَا نَهٰىكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هٰذِهِ الشَّجَرَةِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَا مَلَكَيْنِ اَوْ تَكُوْنَا مِنَ الْخٰلِدِيْنَ و
“Tuhanmu tidak melarang kamu berdua untuk mendekati pohon ini, kecuali (karena Dia tidak senang) kamu berdua menjadi malaikat atau kamu berdua termasuk orang-orang yang kekal (dalam surga).”

Iblis mengatakan kepada Adam bahwa orang yang memakan buah pohon larangan itu tidak akan menjadi tua dan renta. Itu adalah pohon keabadian, pohon “khuldi” (9).

Sesaat Adam dan istrinya merasa ragu. Ada keinginan mereka untuk menjadi abadi seperti malaikat, tetapi di sisi lain mereka pun tidak ingin melanggar larangan Allah. Tetapi, Iblis menambahkan:

“Bukankah kalian ingin membuat Allah rido dan senang? Bukankah kalian ingin menyembah Allah? Justru dengan memakan buah dari pohon ini kalian dapat menjadi malaikat sehingga dapat beribadah kepada Allah sepanjang masa.”

Lalu, Iblis berkata dengan manis (10),

اِنِّيْ لَكُمَا لَمِنَ النّٰصِحِيْنَۙ
“Sesungguhnya aku ini bagi kamu berdua benar-benar termasuk para pemberi nasihat.”

Iblis ingin mengesankan dirinya hanya ingin menasihati Adam, hanya menginginkan kebaikan untuk Adam, tidak ada maksud yang lain. Padahal, kata-katanya adalah dusta.

Maka, tergodalah Adam dan istrinya. Mereka pun memetik buah dari pohon larangan itu, dari pohon yang dinarasikan Iblis sebagai pohon kekekalan.

Sesaat tidak ada yang terjadi ketika mereka memakannya, tetapi kemudian, tatkala biji buah itu telah masuk ke dasar perut mereka. Tiba-tiba, sesuatu terjadi (11):

بَدَتْ لَهُمَا سَوْءٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَّرَقِ الْجَنَّةِۗ و
“…tampaklah pada keduanya auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (di) surga”

Adam dan istrinya pun merasa menyesal atas kesalahan yang mereka lakukan. Lalu, mereka mendengar Allah berkata kepada mereka (11):

اَلَمْ اَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَاَقُلْ لَّكُمَآ اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”

Sekali lagi, Adam dan istrinya menyesal atas perbuatan mereka. Mereka tidak membela diri dengan mengatakan, “Ini bukan salah kami, ini gara-gara Iblis, niat kami pun baik bahwa kami ingin menjadi malaikat agar dapat menyembah-Mu”. Adam dan Hawa tidak berkelit seperti itu. 

Justru, mereka berdua mengakui kesalahan, merendahkan diri mereka, dan berkata kepada Allah (12):

رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”

Turun ke Bumi

Allah menerima taubat Adam dan istrinya. Tetapi, mereka tidak lagi bisa tinggal di surga. Takdir mereka telah tiba untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sekarang, mereka harus “turun” dari surga ke bumi (13).

Maka, Allah pun memberikan perintah dan ketetapan kepada Adam dan istrinya, sebuah ketetapan bahwa bangsa manusia akan hidup di bumi, sebagian akan menjadi baik dan sebagian menjadi jahat. Permusuhan, pertengkaran, peperangan, tidak akan terelakkan, tetapi pada waktunya kehidupan itu akan berakhir. Kata Allah (14):

اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚوَلَكُمْ فِى الْاَرْض مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ قَالَ فِيْهَا تَحْيَوْنَ وَفِيْهَا تَمُوْتُوْنَ وَمِنْهَا تُخْرَجُوْنَ
“Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang telah ditentukan.” …. “Di sana kamu hidup, di sana kamu mati, dan dari sana (pula) kamu akan dikeluarkan (dibangkitkan).”

Maka, Jibril pun menggenggam tangan Adam dan membawanya “turun” ke muka bumi. Menurut Ibnu ‘Abbas, ia mendarat di bukit Shafa sedangkan Hawa di bukit Marwah (15).

Menurut Al-Auza’i, Adam dan Hawa telah tinggal di surga selama seratus tahun. Maka, jika kita membenarkan riwayat yang mengatakan bahwa umur Adam mencapai sembilan ratus empat puluh tahun (16), berarti Adam masih mempunyai sisa delapan ratus empat puluh tahun lagi untuk hidup di bumi.

Kelak, ia akan mempunyai anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicit yang akan mengisi lembah-lembah di sekitar sungai, danau, dan laut yang ada di bumi.

Daftar Rujukan

  1. Abi Nashr Muhammad bin Abdurrohman Al-Hamadzani, dalam Hamisynya “Al-Majalisus Sanniyyah”, hal. 111-112 فناداها ادم من أنت ولمن أنت فقالت حواء: خلقنى الله تعالى لأجلك فقال ائتينى قالت بل أنت فقام ادم وهب اليها فمن ذلك الوقت جرت العادة بذهاب الرجل الى المرأة فلما قرب منها وأراد أن يمد يده اليها سمع النداء ياادم أمسك فان صحبتك مع حواء لاتحل الابالصداقة والنكاح ثم أمر سبحانه وتعالى سكان الجنة بأن يزينوها ويزخرفوها ويحضروها موائدالنثار وأطباقها ثم أمر ملائكة السموات بأن يجتمعوا تحت شجرة طوبى فاجتمعوا ثم اثنى الله بنفسه على نفسه وزوجها ادم عليه السلام فقال الله تعالى الحمد ثنائى والعظمة ازارى والكبرياء ردائى والخلق كلهم عبادى وامائى اشهد ملائكتى وسكان سمواتى زوجت حواء بأدم بديع فطرتى .اهـ (Setelah Allah swt. menjadikan Hawwa dari tulang rusuk Adam yang sebelah kiri, maka diserunyalah Hawa dengan katanya : Siapa engkau? Dan untuk siapa engkau? Maka menjawablah Hawa; Aku dijadikan Allah untuk keperluan engkau. maka kata Adam: marilah datang kepadaku. Jawab Hawa tidak engkaulah yang datang ke sini! lalu berdirilah Adam, datang menghampiri Hawa. Sejak mulai itulah berlaku adat laki-laki mendatangi wanita. Maka tatkala sudah mendekat Adam kepada Hawa, dan berkehendak Adam memanjangkan tangannya kepada Hawa didengarnyalah suatu seruan: “Hai Adam. Tahan dulu! Sesungguhnya pergaulanmu dengan Hawa itu belum halal, kecuali dengan maskawin dan nikah syah dan Allah memperintahkan semua penduduk surga menghiyasi dan menghidangkan berbagai makanan lengkap dengan talamnya. Kemudian Allah memerintahkan para Malaikat untuk berkumpul di bawah pohon kayu Thumba dan setelah berkumpul semuanya maka bertasbihlah Allah subhanahu wa ta’ala dengan memuji dirinya sendiri dan dinikahkanlah Adam as. Maka Allah berfirman; alhamdu itulah puji-Ku, kebesaran itulah kain-Ku, kesombongan itulah selendang-Ku, dan makhluk semua adalah hamba-hamba-Ku. Saksikanlah wahai para malaikat dan penduduk langit-Ku, Aku telah kawinkan Hawa dengan Adam makhluk buatanku yang baru)
  2. QS. Al-A’rof: 35
  3. Muhamad bin Ahmad Al-Hanafi, Kisah Para Rasul, hal. 92. Menurut tradisi Yahudi, pohon larangan itu adalah hinthoh atau pohon gandum; menurut Ats-Tsauri, pohon ini adalah nakhlah atau pohon kurma; menurut Ibnu Juraij dan Qotadah, pohon ini adalah pohon Tin. Lihat Ibnu Katsir, Qishoshul Anbiya, hal. 29 dan 30.
  4. HR. Ahmad, dalam Ibnu Katsir, Qishoshul Anbiya, hal. 38
  5. Di dalam khazanah ilmu Fiqih terdapat konsepsi tentang “illah” atau “hipotesis tentang penyebab timbulnya suatu hukum”. Konsepsi ini juga dapat disebut sebagai “hikmah”. Contohnya, soal penyebab khamar dilarang dalam agama. Mengapa ia dilarang? Hipotesisnya adalah “karena menghilangkan akal/memabukkan.” Manfaat dari pengembangan hipotesis ini adalah bahwa dari sini kita dapat men-generate hukum seperti “segala sesuatu yang memabukkan adalah haram” sehingga kita dapat menghukum “haram” praktik berbahaya seperti menyuntikkan narkoba ke tangan atau menghirup daun ganja. Namun, di sisi lain, hipotesis tentang penyebab timbulnya hukum ini juga dapat menjadi problematik. Misalnya, jika alkohol dan minuman keras dapat dikendalikan kadarnya sedemikian rupa sehingga tidak mengakibatkan hilang akal atau memabukkan, apakah minuman keras hukumnya berubah menjadi halal? Bukankah hipotesis pengharamannya karena “menyebabkan hilangnya akal”? Inilah mengapa, ketaatan pada hukum teks Al-Qur’an atau hadits hendaknya kita dahulukan walaupun kita belum memahami hikmah atau illahnya.
  6. Muhamad bin Ahmad Al-Hanafi, Kisah Para Rasul, hal. 92. Legenda ini didukung pula oleh hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا سَالَمْنَاهُنَّ مُنْذُ حَارَبْنَاهُنَّ وَمَنْ تَرَكَ شَيْئًا مِنْهُنَّ خِيفَةً فَلَيْسَ مِنَّا (Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kami pernah berdamai dengannya (ular) sejak kami memusuhinya, maka barangsiapa yang membiarkannya lantaran rasa takut, maka ia tidak termasuk golongan kami.“)
  7. QS. Thoha: 120
  8. QS. Al-A’rof: 20
  9. Pohon ini dinamakan “pohon keabadian” atau “pohon khuldi” oleh Iblis pertama kali. Karena Iblis ingin membujuk Adam dan istrinya agar melanggar larangan Allah dengan bujukan “keabadian”. Tetapi apakah benar-benar pohon itu menyebabkan orang yang memakannya menjadi abadi? Tentu saja tidak! Buktinya jelas, setelah Nabi Adam dan istrinya memakan buah dari pohon tersebut, mereka tidak menjadi malaikat yang abadi seperti yang dikatakan oleh Iblis. Dengan kata lain, perkataan Iblis adalah palsu dan dusta. Maka dari itu, ketika Nabi Muhammad menyebut istilah “pohon khuldi” dalam hadits di nomor 4 di atas, nama itu agaknya diucapkan hanya untuk memudahkan pemahaman pendengarnya. 
  10. QS. Al-A’rof: 21
  11. QS. Al-A’rof: 22
  12. QS. Al-A’rof: 23
  13. Sebagian mufassir memahami peristiwa turunnya Adam sebagai peristiwa pindahnya manusia dari langit ke bumi. Surga Adam ada di langit, yaitu Surga Ma’wa. Ini pendapat Al-Hasan dan Jumhur Ulama. Dasarnya adalah penggunaan partikel “lam ta’rif” dalam penyebutan Al-Jannah, seperti dalam ungkapan ياآدم اسكن أنت و زوجك الجنّة (Wahai Adam, diamilah olehmu dan oleh istrimu al-jannah/surga itu). Namun, sebagian lainnya memandang surga Adam bukanlah di langit jauh (di luar sistem galaksi, dalam bahasa sains kita), tetapi di bumi ini dan tidak abadi. Ini pendapat Ibnu Yahya. Dasar pendapat ini adalah riwayat dari Ubay bin Ka’ab yang menceritakan keinginan Adam menjelang kematiannya untuk memakan buah-buahan surga. Kala itu, anak-anak Adam pergi untuk mencarinya hingga berjumpa dengan malaikat yang bertanya, “hendak kemana kalian pergi, hai anak-anak Adam?” Lalu jawab mereka, “ayah kami ingin sekali memakan buah anggur surga”. Kemudian, para malaikat itu mengatakan, “pulanglah, usaha kalian telah cukup”. Lalu sesampainya di rumah, mereka mendapati ayah mereka telah meninggal dunia. Seandainya surga yang pernah ditempati oleh Adam itu tidak dapat dicapai, alias bukan di bumi, tentu anak-anak adam tersebut tidak akan mencari buah anggur tersebut. Selain itu, tatkala Allah memerintahkan Adam dan istrinya untuk “turun” dari surga, bukanlah kata إنزلوا yang digunakan, tetapi أهبطوا, di mana kata yang pertama menunjukkan turun dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, sementara kata yang kedua dapat berarti “pergi” atau “pindah” atau “turun”, seperti perintah Allah kepada Nabi Nuh untuk turun dari perahu (قيل يانوح إهبط بسلام) dalam QS. Huud: 48. Tetapi adakah penafsiran lainnya? Mestinya ada, karena bukankah di bumi tidak ada pohon besar yang kelilingnya tidak dapat dicapai manusia dalam satu tahun? Penjelasan yang cukup masuk akal adalah bahwa surga Nabi Adam ada di bumi, tetapi di dalam dimensi yang lebih halus dan lebih tinggi. Bukankah para jin itu juga tinggal di sini, di bumi ini, di sekitar kita, tetapi kita tidak dapat melihat mereka? Mestinya, surga Adam pun demikian, adanya di dalam dimensi yang tidak dapat kita jangkau. “Turun”nya Adam, dengan demikian, adalah “pindah” dari kontinum ruang waktu yang lebih tinggi ke kontinum ruang waktu yang lebih rendah. Wallahu a’lam.
  14. QS. Al-A’rof: 24-25
  15. Ibnu Katsir, Qishoshul Anbiya, hal. 43. Menurut Ibnu ‘Abbas, Nabi Adam turun di Dahna, suatu tempat yang terletak di antara Makkah dan Tha’if; menurut  Hasan Basri, Nabi Adam diturunkan di India, Hawa di Jeddah, Iblis di Dastimyan (di Basrah), dan ular di Isfahan (Iran).
  16. Ibid, hal. 62

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Merak dan Ular