Keterampilan Abad 21

Tantangan Abad 21

Abad ke-21 merupakan sebuah titik balik dalam perjalanan sejarah manusia. Pada abad ini sejarah menikung menuju suatu bentuk kehidupan yang sama sekali baru. Alvin Toffler menyebutnya Third Wave, Gelombang Ketiga, karena gelombang ini menerjang setelah terjangan gelombang “revolusi pertanian” pada abad kesepuluh sebelum Masehi dan gelombang “revolusi industri” sekitar tiga abad yang lalu.

Pada abad kedua puluh satu ini, setiap 5 dari 7 orang di planet bumi menggunakan smartphone untuk mengelola kehidupan  mereka. Mereka memasang Muslim Pro yang dapat mengumandangkan azan pada subuh hari, memasang WhatsApp yang menghubungkan mereka dengan sesama rekan kerja pada pagi hari, Zoom yang memfasilitasi rapat dengan mitra-mitra kerja yang tinggal di seberang lautan, memasang Tokopedia untuk berjualan pada siang hari, GoFood untuk makan pada siang hari, Google Map untuk memandu perjalanan ke tempat-tempat baru, dan membuka Detik.com untuk membaca berita terkini pada malam hari.

Selanjutnya, lima puluh tahun yang akan datang, pola kehidupan di atas diperkirakan akan bergerak lebih mengkhawatirkan. Sebab, artificial intelligence dan machine learning yang menyusun teknologi informasi saat ini, bukan hanya telah merambah hampir ke semua lini kehidupan tetapi juga mereka dapat mempelajari perilaku kita, mengetahui jenis barang yang kita sukai, mendeteksi preferensi politik kita, dan sangat mungkin mampu merekomendasikan keputusan kita. 

Sehingga, kini patutlah bagi kita untuk merasa khawatir, apakah nanti yang akan terjadi pada dunia mendatang? Akankah manusia akan diawasi oleh suatu Big Data yang dikendalikan oleh pemerintah? Akankah konsultasi hukum dan bimbingan konseling akan digantikan oleh mesin robotik yang smart? Apakah sekolah akan tergantikan oleh e-learning atau guru-guru virtual?

Fenomena Pendidikan Abad 21

Menurut Yuval Noah Harari, sejarahwan terkenal yang menulis Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons, semua itu mungkin. Menurutnya, pola kehidupan di masa mendatang akan berubah sehingga sebagian besar yang dipelajari di sekolah saat ini, mungkin, akan menjadi tidak relevan. Lalu, apakah yang sebenarnya kita butuhkan? Pendidikan apa yang seharusnya diberikan kepada anak-anak dan murid-murid serta mahasiswa di sekolah?

Untuk menjawab tantangan di atas, maka semestinya pendidikan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang relevan, yang mampu menjawab tantangan zaman. Melalui sekolah, kita kini harus menyiapkan bukan hanya manusia yang terampil dalam menghadapi kecepatan yang berubah-ubah dan perubahan yang sangat cepat tetapi juga membina manusia yang mampu memimpin perubahan.

Paling kurang, ada enam keterampilan abad 21 yang perlu dikuasai oleh manusia, empat yang pertama telah diajukan oleh para ahli pedagogi dengan istilah populer 4C, yaitu critical thinking (keterampilan berfikir kritis), communication (keterampilan berkomunikasi), collaboration (keterampilan berkolaborasi), dan creativity (keterampilan berkarya). Lalu, sisanya adalah ICT skill (keterampilan dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi), dan syukur skill (keterampilan dalam bersyukur kepada Allah).

1. Critical Thinking Skill

Keterampilan berfikir kritis merupakan asas penting bagi seseorang yang hidup berkelimpahan informasi sejak pagi sampai malam hari. Pada saat google bersikap netral dan hanya menyodorkan informasi dari berbagai sumber, seorang manusia pada abad ke-21 mestinya memiliki keterampilan untuk membedakan antara informasi yang benar dan informasi yang palsu (hoaks). Keterampilan ini, pun, sebenarnya merupakan pondasi berfikir saintifik yang, disadari atau tidak, telah menjadi pedoman hidup masyarakat modern.

Untuk menjadi terampil dalam critical thinking, ada langkah-langkah yang harus kita latih, tetapi yang terpenting adalah pengamatan. Sebagai contoh, jika terdapat sebuah portal berita mengatakan bahwa seorang tokoh telah meninggal dunia maka pengamatan dapat dilakukan dengan melakukan panggilan telepon ke nomor seseorang yang dapat memverifikasi berita tersebut, misalnya keluarganya. Atau, dapat pula dilakukan dengan mendatangi langsung kediaman yang bersangkutan.

Sebenarnya, pengamatan ini merupakan buah keimanan pada empirisme, yaitu paham bahwa kebenaran itu hanya terbatas pada hal-hal yang dapat dicerap oleh indra manusia. 

Pada level yang eksterim, tentu saja empirisme bertolak belakang dengan agama karena agama justru mengajarkan manusia untuk mempercayai hal-hal yang gaib, yang tidak kasat mata.

Oleh karena itu, bagi seorang manusia yang beriman, critical thinking skill mestinya hanya digunakan untuk tujuan-tujuan problem solving yang sangat berguna dalam kehidupan.

2. Communication Skill

Keterampilan berkomunikasi adalah bakat setiap manusia. Seorang tokoh komunikasi mengatakan, human cannot not communicate (manusia tidak bisa tidak berkomunikasi).

Akan tetapi, yang dimaksud dengan communication skill di sini adalah seperti effective communication dalam disiplin ilmu komunikasi, yaitu keterampilan berkomunikasi yang efektif dengan orang lain.

Betapa banyak buku yang menguraikan cara berkomunikasi secara efektif, akan tetapi di antara buku-buku tersebut yang terbaik dan terpopuler adalah 7 Habits of Highly Effective People karangan Stephen Covey. Ketujuh kebiasaan efektif yang dikemukakan Covey dalam buku tersebut merupakan cara sistematis untuk berkomunikasi secara efektif. Bagaimanakah contohnya untuk dapat berkomunikasi secara efektif?

Pertama, seseorang, menurut Covey, harus memenangkan dirinya sendiri dengan menjadi pro-aktif, berfikir dengan menetapkan tujuan, dan menciptakan prioritas. Selanjutnya, ia harus memenangkan hubungan dengan orang lain dengan cara berfikir win-win, berusaha mengerti orang lain, dan berupaya bersinergi dengan orang lain. Terakhir, ia harus memperbarui dirinya dengan cara terus belajar, “mengasah gergaji”, mengamalkan motto never stop learning.

3. Collaboration Skill

Kolaborasi adalah istilah lain dari bekerja-sama. Keterampilan ini, seperti halnya berkomunikasi, juga merupakan faktor penting dalam hubungan antar manusia sepanjang sejarah.

Namun, pada abad ke-21, kebutuhan untuk berkolaborasi menjadi lebih mendesak. Dalam politik, manusia berkolaborasi membentuk partai, dalam pendidikan, sekolah berkolaborasi dengan puskesmas dalam mewujudkan misi sekolah sehat.

Selain itu, sebuah contoh menghibur dapat pula kita tonton dalam film drama korea Start Up. Pada film tersebut, lima orang personel berkolaborasi membentuk perusahaan rintisan atau start up. Kolaborasi tersebut dilakukan dengan kepemimpinan CEO yang efektif, keandalan programmer, dan kemahiran desainernya.

4. Creativity Skill

Kreativitas merupakan sebuah karya orisinil yang bermanfaat, baik bagi orang lain maupun untuk tujuan komersil.

Keterampilan menghasilkan karya kreatif merupakan hal penting pada abad ke-21, karena pada abad ini, kita hidup dalam situasi berkelimpahan informasi, berkelimpahan kreativitas, dan berkelimpahan tenaga ahli.

Oleh karena itu, eksistensi kita hanya dapat bertahan apabila kita mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dari apa yang telah dibuat oleh orang lain.

Sebagai misal, dalam sebuah kompetisi sains nasional tentang global warming, berbagai siswa dari seluruh kota dan daerah mengirimkan hasil kreativitas saintifik mereka. Jika semua siswa menampilkan jenis eksperimen yang sama, lalu bagaimanakah seorang siswa dapat dikatakan lebih unggul dari yang lainnya?

Untuk itu, keberbedaan dan orisinalitas yang menjadi nyawa bagi kreativitas sangat dibutuhkan. Caranya adalah dengan berfikir out of the box, berfikir di luar kotak. Jangan sampai kita terjebak oleh kebiasaan yang tidak efektif sehingga menolak untuk memikirkan cara-cara baru yang lebih baik. 

5. ICT Skill

ICT adalah singkatan dari Information and Communication Technology. Keterampilan dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi kini menjadi sangat penting. Berbagai aktivitas kini dilakukan melalui media sosial yang mana hal tersebut menuntut kita untuk mampu membuat flyer, poster, brosur, company profile, video promosi, dan sebagainya.

Selain itu, pentingnya keterampilan ICT juga terasa sejak pandemi melanda pada tahun 2019 lalu. Situasi genting memaksa semua orang di seluruh dunia untuk bekerja dari rumah (work from home) dan belajar dari rumah (learn from home).

Apabila pandemi usai, apakah keterampilan ICT tidak lagi dibutuhkan? Tidak. Dunia sudah berubah sejak pandemi, kebiasaan baru atau new normal tidak dapat dielakkan. Pasca-pandemi, cukup banyak perusahaan yang tetap melakukan work from home karena efektivitas dan efisiensinya dan untuk itu, memahami komputer, internet, dan aneka software yang relevan sangat penting untuk dilakukan.

6. Syukur Skill

Syukur adalah istilah Indonesia yang berasal dari agama Islam. Secara bahasa berarti “berterima kasih”. Namun, secara terminologi, syukur di sini bermakna menaati perintah Allah sebagai bentuk syukur atau terima kasih kepada-Nya.

Dalam Pancasila, syukur adalah manifestasi dari sila pertama, yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Perilaku syukur menjadi penting dan mendesak pada abad ke-21 terutama karena sains modern, ilmu pengetahuan, dan perkembangan teknologi yang pesat yang menjadi basis utama zaman ini merupakan sebuah alat yang sangat netral dan dapat berbalik membinasakan manusia, contohnya adalah bagaimana bom atom telah membinasakan Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia Kedua.

Oleh karena itu, dalam Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Prof. Jujun S. Suriasumantri menekankan pentingnya aspek aksiologi ilmu. Aspek ini merupakan aspek nilai atau aspek tujuan dari ilmu. Menurutnya, Ilmu bukan untuk ilmu, seni pun bukan untuk seni. Begitu pula teknologi. Ia diciptakan untuk suatu tujuan luhur dan tujuan itu hendaknya ditentukan oleh nilai-nilai agama. 

Untuk itu, bersyukur atau beragama adalah cara kita untuk memberikan tujuan bagi ilmu dan teknologi. Jika agama menjadikan kita seorang muslim yang saleh, meminta kita untuk mengajak manusia ke jalan kebaikan, maka teknologi dapat membawa kita kepada tujuan itu secara lebih efektif.

Selain itu, penting dan mendesaknya agama bagi manusia saat ini adalah berdasarkan fenomena teknologi yang sangat mengkhawatirkan. Masalah bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki mungkin merupakan contoh yang sudah lawas. Kini, pada era informasi, kita mendapati contoh yang lebih mengerikan. Meminjam bahasa Harari, “pernahkah Anda melihat orang-orang zombi yang berkeliaran di jalanan dengan wajah mereka terpaku pada smartphone mereka? Apakah Anda fikir mereka mengendalikan teknologi ataukah teknologi yang mengendalikan mereka?” Lanjut Harari, “Teknologi tidak buruk. Jika Anda tahu apa yang Anda inginkan dalam hidup, teknologi dapat membantu Anda mendapatkannya. Tetapi jika Anda tidak tahu apa yang Anda inginkan dalam hidup, itu akan terlalu mudah bagi teknologi untuk membentuk tujuan hidup bagi Anda dan mengendalikan hidup Anda.”

Tanpa agama dan tujuan hidup, teknologi akan meretas kita.

Referensi:

  1. Yuval Noah Harari, 21 Lessons
  2. Stephen Covey, 7 Habits of Highly Effective People 
  3. Jujur S. Suriansumantri, Filsafat Ilmu
  4. Alvin Toffler, The Third Wave