Kupas Tuntas Perbedaan Rukyatul Hilal, Wujudul Hilal dan Imkan Rukyah

rukyatul hilal

Daftar Isi

Sejarah Rukyatul Hilal

Pada masa nabi, belum banyak orang yang dapat menulis dan menghitung fase-fase peredaran bulan atau yang dikenal sebagai “metode hisab”. Pengetahuan astronomi belum memasuki jazirah Arab kala itu. Oleh sebab itulah Nabi pernah menyatakan:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَ لَا نَحْسُبُ، اَلشَّهْرُ هكَذَا وَ هكذَا . يَعْنِى مَرَّةً تِسْعة وعشرِين ، ومرَّة ثلاثين

Kita adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu demikian dan demikian, yakni suatu kali 29 hari dan suatu 30 hari. (HR. Bukhari)

Menurut “aliran” Hisab (pengguna metode Hisab) dalam penentuan Ramadan, seperti Ormas Muhammadiyah atau Persis, latar belakang tersebut yang menyebabkan muncul titah nabi untuk melakukan pengamatan hilal (sabit awal bulan) secara langsung dengan mata.

صُوْمُوْ لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإنْ غُمَّى عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ

Puasalah jika kalian melihat (bulan) dan berbukalah jika kalian melihatnya (bulan) juga. Namun, jika hilal itu tertutup bagimu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh (HR. Bukhari)

Oleh sebab ketiadaan ilmu hisab, maka pada masa nabi, tatkala matahari tenggelam pada tanggal 29 Sya’ban, orang-orang akan mengamati langit untuk menyaksikan kemunculan hilal atau bulan sabit pertama yang menandai awal bulan Ramadan.

Namun, jika mereka pada hari itu tidak berhasil menyaksikan hilal, maka mereka cukup menunggu satu hari lagi (menggenapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari) sebelum melaksanakan puasa Ramadan. Karena, bulan-bulan dalam kalender qamariyah/lunar tidak mungkin lebih dari tiga puluh hari.

Baca Juga: Kalender Hijriyah

Metode yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat itulah yang disebut dengan Rukyatul Hilal, atau metode melihat bulan sabit.

Tradisi Hisab Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis)

Berdasarkan latar belakang tersebut, pada zaman modern ini, Muhammadiyah memahami bahwa tradisi rukyatul hilal dipraktikkan karena secara teknis pengetahuan tentang astronomi belum dikuasai oleh nabi dan para sahabat pada masa itu. Namun, jika ilmu tersebut telah dikuasai maka berarti tidak ada pelarangan untuk menggunakannya dan bahkan sangat dianjurkan.

Oleh karena itu, saat ini Muhammadiyah menggunakan metode Hisab untuk menentukan awal Ramadan, dengan cara yang mirip dengan bagaimana kalender-kalender dibuat. Keakuratannya—seperti dikatakan Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dalam Kayfa Nata’ammal bisunnati Rosulillah—mendekati pasti.

Keakuratan Metode Hisab

Ilmu Hisab astronomi melakukan perhitungan waktu secara akurat terhadap perubahan-perubahan bentuk bulan, di mana penampakan bulan dimulai dari sabit sebagai tanda awal bulan, hingga menjadi purnama dan hingga hilang sama sekali—menjadi bulan mati sebelum memasuki bulan yang baru. Fase-fase yang mendefinisikan satu bulan qamariyah/lunar ini biasanya terdiri dari 29 atau 30 hari, tidak pernah lebih.

Baca juga: Fase-Fase Bulan

Setiap pergerakan bulan tersebut kini dapat dihitung secara akurat. Kita dapat mengukur banyak, seperti mengukur ketinggian bulan sampai pada ukuran detiknya, atau mengukur durasi rata-rata peredarannya mengelilingi Matahari, yaitu 29 hari 12 jam 44 menit 2,5 detik.
Metode Hisab yang akurat ini telah digunakan sejak lahirnya peradaban Babilonia dan Mesir Kuno, namun metode Hisab pada masa kita tentu saja telah berkembang lebih pesat, antara lain karena terintegrasi dengan komputer.

Hisab ‘Urfi dan Hisab Hakiki

Metode hisab tradisional yang diwarisi dari masa lalu disebut Hisab ‘Urfi. Jenis Hisab ini mematok 30 hari untuk bulan-bulan ganjil (bulan ke-1, 3, 5, 7, 9, 11) dan 29 hari untuk bulan-bulan genap (bulan ke-2, 4, 6, 8, 10, 12), kecuali bulan Dzul Hijjah pada tahun kabisat yang tetap memiliki 30 hari (tidak mengikuti patokan). Dengan kata lain, Hisab ‘Urfi semata-mata berpedoman pada matematika, tanpa observasi.

Namun, pada masa kini teknologi telah memungkinkan untuk mengobservasi sekaligus menghitung—dengan komputer—pergerakan faktual bulan di langit. Sehingga, apakah satu bulan berjumlah 29 atau 30 hari tidak lagi didasarkan atas teori “30 ganjil 29 genap” ala Hisab ‘Urfi, melainkan ditentukan berdasarkan kondisi bulan—atau matahari—secara realtime. Metode Hisab jenis inilah yang disebut Hisab Hakiki dan Muhammadiyah menggunakan jenis Hisab ini.

Lalu, bagaimana teknisnya dalam menentukan awal bulan baru sehingga kita dapat mengetahui awal bulan puasa, awal lebaran atau hari wuquf di Arofah—haji.

Baca juga: Sejarah Kalender Masehi dan Kalender Hijriyah

Ijtimak (Konjungsi)

Menurut metode Hisab, bulan baru (seperti awal Ramadan atau Syawwal) diawali dengan terjadinya ijtimak (konjungsi), yaitu suatu kondisi ketika bulan menjadi gelap karena berada satu garis di antara bumi dan matahari. Peristiwa ini terjadi biasanya pada tanggal 29, dalam hal penentuan Ramadan, tanggal 29 Sya’ban. 

siklus bulan

Lalu, setelah konjungsi, matahari terbenam sempurna bersamaan dengan naiknya bulan sabit ke atas horizon. Pada momen ini, kita dapat menyaksikan naiknya bulan sabit ke atas horizon melalui komputer. Namun, apakah kita dapat melihat bulan tersebut dengan mata secara langsung? ataukah dengan teleskop? Itu akan kita bahas pada bagian selanjutnya.

konjungsi ijtima

Wujudul Hilal = Bulan Baru

Lalu, setelah momen ijtimak (konjungsi)—yang disebut bulan mati, karena bulannya gelap hitam—tersebut, kemudian matahari tenggelam pada saat maghrib, dan pada kelanjutannya, bulan akan naik melewati garis horizon/ ufuk/ cakrawala. 

Dari sudut pandang Hisab, momen ketika bulan sudah berada di atas ufuk (walaupun hanya bagian puncak bulannya) pada tanggal 29 setelah terbenamnya matahari secara sempurna, berapa derajat pun ketinggian bulan tersebut diukur dari horizon/ufuk, maka itulah tandanya sudah masuk bulan baru. Keadaan inilah yang disebut dengan keberadaan hilal (wujudul hilal).

Hilal Wujud Tapi Tak Terlihat

Namun demikian, boleh jadi hilal yang naik ke ufuk tersebut sudah ada (wujud) tapi belum dapat dilihat mata manusia (yang mana, kini diperkirakan, dapat dilihat [visibilitasnya] pada ketinggian 3 derajat). Bagaimana statusnya? Apakah sudah masuk bulan baru atau belum?

Menurut Muhammadiyah dan Persis, walaupun belum bisa dilihat mata (yang kini diperkirakan ketinggian 3 derajat untuk bisa dilihat), bulan baru ditetapkan sudah masuk: puasa sudah dapat dimulai atau gemuruh takbir Idul Fitri sudah bisa dikumandangkan.

Sebab, dari sudut pandang Hisab, momen ketika bagian atas bulan sudah berada di atas ufuk—setelah terbenamnya matahari—pasca momen ijtimak, berapa derajat pun ketinggiannya, adalah tanda sudah masuknya bulan baru. 

Problem Pada Metode Hisab

Namun demikian, akurasi Hisab yang tinggi ini belum tentu pula dapat menciptakan kesergaman. Pada tahun 2006, Muhammadiyah dan Persis yang sama-sama menggunakan Hisab mengalami perbedaan hari raya. Penyebabnya adalah perbedaan kriteria.

Menurut Muhammadiyah, Idul Fitri sudah dapat dilaksanakan—artinya bulan baru sudah masuk—walaupun Hilal baru tampak di ufuk sebagian wilayah Indonesia. Namun, menurut Persis (Persatuan Islam), ufuk tersebut harus tampak di seluruh wilayah Indonesia, barulah hari raya Idul Fitri dapat dilasakanakan.

Persoalan kriteria ini juga dialami oleh para penganut “aliran” rukyah, yang nanti akan kita bahas.

Namun, di atas problem tersebut, sekali lagi perlu diakui bahwa metode Hisab sangat akurat dalam membaca bulan. Kebolehan—berdasarkan hadits di awal—untuk menggunakannya, pada akhirnya, menjadikan Muhammadiyah dan Persis sebagai penganut “aliran” Hisab.

hisab

Tradisi Rukyatul Hilal

Mengapa Tradisi Rukyatul Hilal Masih Berlanjut?

Namun demikian, mayoritas umat Islam pada masa kini masih melanjutkan praktik rukyatul hilal sebagaimana yang dilakukan oleh nabi saw. Menurut penganut metode ini, ketika nabi mengatakan “kami tidak menulis dan tidak menghitung (astronomi)”, bukan berarti nabi tidak bisa, melainkan tidak mau. Nabi tidak mau menggunakan metode tersebut.

Selain itu, rukyatul hilal dianggap telah menjadi sunnah. Sebagaimana nabi makan dengan tangan kanan lalu kita mengikutinya, beliau suka memakai pakaian putih lalu kita menirunya; demikian pula nabi melakukan rukyatul hilal sebelum dan sesudah puasa, maka kita wajib mengikutinya. Ibadah adalah soal ketaatan, maka menurut mayoritas muslim tradisional, penentuan waktu-waktu ibadah pun kita lakukan berdasarkan ketaatan, sesuai bagaimana nabi mengajarkannya.

Cara Melakukan Rukyatul Hilal

Pada prinsipnya, untuk menentukan awal bulan Ramadhan (untuk berpuasa), Syawwal (untuk berhari raya), atau Dzul Hijjah (untuk wukuf di Arafah), kita pergi ke tempat terbuka pada saat matahari sedang terbenam. Lalu, kita amati—dengan mata telanjang ataupun dengan teropong bintang—apakah hilal sudah terlihat oleh mata kita. Jika sudah terlihat, maka itulah tandanya bulan baru.

Berbeda dari metode Hisab, di mana walaupun bulan belum kelihatan mata, asalkan secara astronomi posisinya sudah berada di atas ufuk maka telah dianggap bulan baru sudah masuk, tapi dalam metode Rukyah, bulan yang berenang di angkasa itu harus benar-benar tampak di mata manusia yang sedang berpijak di bumi.

Arab Saudi sendiri menetapkan Ramadan berdasarkan rukyatul hilal. Ketika seseorang mengaku telah melihat hilal, maka bulan baru telah dianggap masuk dan puasa dilaksanakan pada hari selanjutnya. Lalu, ketika Saudi telah menentukan awal puasa, negara-negara tetangganya pun mengikutinya, yaitu Bahrain, Mesir, Kuait, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab.

rukyah

Upaya Mempersatukan Hisab dan Rukyah

Perbedaan kedua metode di atas—yakni Hisab dan Rukyah—kerap berujung pada berbedanya hari pelaksanaan mulai puasa (1 Ramadan) dan hari lebaran (1 Syawwal), hal ini jelas tampak seperti ketidakkompakan umat. Sehingga, para ulama dan cendekiawan pun kerap memikirkan bagaimana caranya untuk menggabungkan kedua metode tersebut. Karena, Hisab yang akurasinya tinggi itu mempunyai pijakan dalil juga, tetapi ketaatan pada teks “berpuasalah saat kau melihatnya (bulan)” itu pun juga penting.

Akhirnya, dibuatlah metode baru yang menggabungkan Hisab dengan Rukyah, yaitu Metode Imkan Rukyah atau Visibilitas Hilal.

Imkan Rukyah

Tahap 1: Penggunaan Hisab

Metode Imkan Rukyah diawali dengan penggunaan Ilmu Hisab. Caranya, pada tanggal 29 Sya’ban atau 29 Ramadhan, kita menghitung posisi bulan secara realtime yang memberikan informasi kepada kita ukuran-ukurannya hingga ke tingkat detik. Lalu, Kita juga menghitung peristiwa ijtimak (konjungsi) hingga munculnya bulan tatkala matahari tenggelam.

Bagi Muhammadiyah atau Persis, ketika bagian atas bulan timbul sebagai konsekuensi saat matahari tenggelam (wujudul hilal), bulan baru sudah tiba. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya. Namun, dengan metode imkan rukyah, kondisi wujudul hilal ini belum mendefinisikan bulan baru. Untuk mengetahui bulan baru, masih diperlukan metode selanjutnya, yaitu rukyah.

Tahap 2: Penggunaan Rukyah (Kriteria Visibilitas Hilal)

Bagi pemerintah kita—bersama MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), bulan baru (awal Ramadan atau awal lebaran) baru terjadi ketika hilal yang wujud pasca ijtimak (konjungsi) tersebut dapat/mungkin (imkan) untuk dilihat/diamati (di-rukyah) oleh manusia. Metode inilah yang disebut Imkan Rukyah.

Menurut astronomi pada masa dahulu kala, hilal dapat dilihat dengan mata telanjang jika ketinggiannya lebih besar dari 12 derajat (>=12 derajat), namun kemajuan astronomi masa kini telah menjadikan kriteria “kemungkinan (imkan) untuk dilihat (rukyah)” yang disebut “visibilitas” hilal ini menjadi semakin kecil.

Pada tahun-tahun lalu, kriteria Imkan Rukyah (visibilitas Hilal) yang ditetapkan adalah pada ketinggian hilal 2 derajat. Artinya, ketinggian tersebut adalah ketinggian yang memungkinkan bagi manusia untuk melakukan observasi. Lalu, disyaratkan pula sudut bulan-matahari (elongasi) sebesar—minimal—3 derajat dan umur bulan minimal mencapai 8 jam.

Namun, pada tahun 2023 ini, pemerintah kita menggunakan kriteria baru bersama MABIMS, di mana ketinggian hilal ditentukan minimal 3 derajat dan elongasi ditentukan 6.4 derajat. Maka, apabila posisi bulan sudah mencapai kriteria tersebut, meskipun mata kita tidak melihatnya—tetapi, kan, sudah berada di posisi visibilitas—maka tarawih pertama sudah bisa dilaksanakan atau shalat Id sudah boleh diselenggarakan.

Problem Visibilitas Hilal

Akan tetapi, metode Imkan Rukyah ini pun tetap tidak menghasilkan kesamaan. Masalahnya adalah bahwa para ahli tidak sepakat soal kriteria visibilitas Hilal. Berapa derajat ketinggian bulan di atas ufuk yang memungkinkan bagi manusia untuk melihatnya? MABIMS telah menetapkan kriteria minimal 3 derajat, Mesir menetapkan minimal 4 derajat, Komunitas Muslim Amerika 15 derajat.

Oleh karena itu, keseragaman awal Ramadan dan Lebaran adalah hal yang mungkin-mungkin saja. Artinya mungkin terjadi dan mungkin tidak. Metode yang berbeda (seperti Hisab dan Rukyah) dapat menciptakan perbedaan, tetapi jika disatu-padukan pun (seperti Imkan Rukyah) tetap memungkinkan terjadinya perbedaan, karena adanya perbedaan kriteria visibilitas. Lalu, bagaimanakah kita memaknai perbedaan ini?

imkan rukyah

Perbedaan Adalah Rahmat

Keberagaman Kita

Perbedaan penggunaan metode pencarian awal bulan—baik Hisab maupun Rukyah—merupakan sunnatullah. Kedua metode tersebut berpijak pada hadits yang sama, namun dengan penafsiran yang berbeda. Muhammadiyah atau Persis berusaha memahami maksud hadits sedangkan NU dan muslim tradisional mengamalkan hadits tersebut secara harfiah.

Arab Saudi sebagai penjaga tanah suci menggunakan rukyah. Tatkala Saudi telah menetapkan awal Ramadan—berdasarkan kesaksian seseorang yang menyaksikan Hilal—maka negara-negara tetangganya seperti Bahrain, Mesir, Kuait, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab ikut berpuasa pada waktu yang sama.

Praktik rukyah murni ala Arab Saudi ini diikuti oleh negara-negara lain. Orang-orang muslim mencari hilal pada tanggal 29 Sya’ban atau Ramadan. Di Eropa dan Amerika yang maju pun praktik rukyah murni semacam ini juga dilakukan oleh sebagian muslim. Di Indonesia apalagi, kita bisa masyarakat Indonesia melakukan rukyah pada tanggal 29 Sya’ban atau Ramadan.

Namun, secara resmi, seperti telah dijelaskan di atas (pada bagian Imkan Rukyah), negara-negara yang bergabung dalam MABIMS (Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura) sepakat untuk menggabungkan antara Hisab dan Rukyah. Hisab digunakan untuk mengukur bulan secara akurat dan realtime sementara rukyah digunakan dalam bentuk penetapan kriteria visibilitas hilal.

Muhammadiyah di Indonesia merupakan pionir metode Hisab Hakiki, lalu diikuti oleh Persatuan Islam (Persis). 60 persen masjid dan organisasi Islam di Amerika juga menggunakan Hisab yang dilakukan oleh Fiqh Council of North America (FCNA) atau Dewan Fiqih Amerika.

Rahmat dalam Perbedaan

“Perbedaan dalam umatku adalah rahmat”, demikian sabda nabi. Terlepas dari kajian mengenai kualitas hadits tersebut, pada nyatanya perbedaan-perbedaan pendapat fiqih telah terjadi sejak masa sahabat dan hal tersebut justru menjadi kemudahan bagi umat.

Sangat populer kisah sejarah yang menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz menyukai perbedaan pendapat yang terjadi di antara para sahabat nabi dan beliau tidak menghendaki adanya upaya-upaya untuk menyatukannya. Perbedaan tersebut merupakan rahmat bagi umat.

Demikian pula penolakan Imam Malik atas tawaran Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menjadikan kitabnya, Al-Muwatho sebagai kitab fiqih standar (dengan alasan bahwa umat telah berbeda fiqih sejak awal) mestinya menjadi catatan penting bagi kita untuk memahami bahwa perbedaan-perbedaan fiqih adalah hal yang biasa.

Lalu, bagaimana kita menyikapi perbedaan penentuan Ramadan dan Lebaran yang selalu terjadi ini?

Pertama, kita perlu memahami bahwa perbedaan dalam penentuan awal Ramadan ini termasuk ke dalam perbedaan fiqih sehingga kita harus menyikapinya dengan bijaksana dan lapang dada. Jangan sampai perbedaan fiqih menimbulkan pertengkaran. Hendaknya, ukhuwah harus didahulukan di atas madzhab dan akhlak mesti didahulukan di atas fiqih.

Kedua, sebagaimana telah kita bicarakan di atas bahwa baik metode rukyah maupun hisab keduanya memiliki potensi untuk menghasilkan kesimpulan awal Ramadan yang berbeda. Masalahnya adalah kriteria. Muhammadiyah dan Persis yang sama-sama menggunakan Hisab pun dapat berbeda awal Ramadan karena perbedaan kriteria ini. Oleh karena itu, agaknya, perbedaan Ramadan dan Idul Fitri adalah potensi laten yang dapat terjadi, yang perlu kita lakukan hanyalah menyiapkan hati.

Marilah kita bayangkan dampaknya jika terjadi “pemaksaan” fiqih, umpamanya semua harus mengikuti Muhammadiyah atau NU atau Persis. Apakah akibat yang mungkin akan terjadi? Ya. Persaingan politik ormas dan madzhab-madzhab akan menjadi semakin meruncing karena masing-masing akan memperebutkan kursi otoritas agar dapat menjalankan keyakinannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.