Hukum Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid

kuburan

Latar Belakang

Pada awal abad ke-19, Kerajaan Saudi membongkar pemakaman tua Baqi’ di Madinah. Putra nabi, Ibrahim, dimakamkan di sini, demikian pula sahabatnya seperti As’ad bin Zuroroh. Keturunan nabi, yang dimuliakan muslim Syi’ah dan didaulat sebagai imam mereka, yaitu Hasan bin Ali, Ali bin Husain bin Ali, Muhammad Al-Baqir, dan Ja’far As-Shadiq, mereka dimakamkan di pemakaman Baqi’. Sepanjang sejarah, kaum muslimin kerap berziarah ke kuburan mereka yang telah dipugar dan dibangun dengan kubah, tetapi sejak kepemimpinan keluarga Ibnu Sa’ud, pemakaman itu tak ada lagi.

Pandangan Yang Melarang Kuburan Dijadikan Masjid

Pandangan yang melarang menjadikan kuburan sebagai masjid pada umumnya berangkat dari keterangan banyak hadits nabi sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمَّا اشْتَكَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَتْ بَعْضُ نِسَائِهِ كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ يُقَالُ لَهَا مَارِيَةُ وَكَانَتْ أُمُّ سَلَمَةَ وَأُمُّ حَبِيبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَتَتَا أَرْضَ الْحَبَشَةِ فَذَكَرَتَا مِنْ حُسْنِهَا وَتَصَاوِيرَ فِيهَا فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ثُمَّ صَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّورَةَ أُولَئِكِ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

Dari ‘Aisyah –semoga Allah meridhoinya-, dia berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, sebagian istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan sebuah gereja yang mereka lihat di negeri Habasyah, yang dinamakan gereja Mariyah. Dahulu Ummu Salamah dan Ummu HAbibah –semoga Allah meridhoikeduanya- pernah mendatangi negeri Habasya. Keduanya menyebutkan tentang keindahannya dan patung-patung/gambar-gambar yang ada di dalamnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengankat kepalanya, lalu bersabda: “Mereka itu, jika ada seorang yang sholih di antara mereka mati, mereka membangun masjid di atas kuburnya, kemudian membuat patung/gambar orang sholih itu di dalamnya. Mereka itu seburuk-buruk manusia di sisi Allah”. (HSR. Bukhari no:1341; Muslim no:528)

أَنَّ عَائِشَةَ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ قَالَا لَمَّا نَزَلَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَفِقَ يَطْرَحُ خَمِيصَةً لَهُ عَلَى وَجْهِهِ فَإِذَا اغْتَمَّ بِهَا كَشَفَهَا عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ وَهُوَ كَذَلِكَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا

Dari ‘Aisyah dan Abdullah bin Abbas –semoga Allah meridhoi mereka- mengatakan: “Ketika kematian datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau mulai meletakkan kain wol bergaris-garis pada wajah beliau, sewaktu beliau susah bernafas karenanya, beliau membukanya dari wajahnya, ketika dalam keadaan demikian, lalu beliau mengatakan: “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashoro, mereka menjadikan kubur-kubur Nabi-Nabi mereka sebagai masjid-masjid”. Beliau memperingatkan apa yang telah mereka lakukan. (HSR. Bukhari no: 435, 436; Muslim no:531)

Pandangan Yang Membolehkan Kuburan Dijadikan Masjid

Menurut golongan tradisional, sejak masa nabi, tidak ada seorang sahabat pun yang memahami hadits-hadits di atas sebagai larangan untuk membangun masjid di atas kuburan. Ada beberapa argumentasi yang mendukung pandangan ini. Pertama, dalam Surah Al-Kahfi disebutkan bahwa penguasa (muslim) pada masa hidup ashabul kahfi menyatakan bahwa ia akan membangun masjid di atas gua tersebut.

وَكَذٰلِكَ اَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوْٓا اَنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ وَّاَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيْهَاۚ اِذْ يَتَنَازَعُوْنَ بَيْنَهُمْ اَمْرَهُمْ فَقَالُوا ابْنُوْا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًاۗ رَبُّهُمْ اَعْلَمُ بِهِمْۗ قَالَ الَّذِيْنَ غَلَبُوْا عَلٰٓى اَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَّسْجِدًا ٢١

Demikian (pula) Kami perlihatkan (penduduk negeri) kepada mereka agar mengetahui bahwa janji Allah benar dan bahwa (kedatangan) hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. (Hal itu terjadi) ketika mereka (penduduk negeri) berselisih tentang urusan (penghuni gua). Kemudian mereka berkata, “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua itu). Tuhannya lebih mengetahui (keadaan) mereka (penghuni gua).” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, “Kami pasti akan mendirikan sebuah masjid di atasnya.” pada masa hidup ashabul kahfi menyatakan bahwa ia akan membangun masjid di atas gua tersebut (QS. Al-Kahf: 21)

Lalu, argumen kedua yang diyakini oleh golongan muslim tradisional adalah bahwa para sahabat Nabi Saw. tidak menganggap kuburan di masjid sebagai larangan. Cobalah perhatikan kata-kata para sahabat saat pemakaman nabi saw. berikut ini:

 أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – توفي يوم الاثنين ، ودفن يوم الثلاثاء ، وصلى الناس عليه أفذاذا لا يؤمهم أحد ، فقال ناس : يدفن عند المنبر ، وقال آخرون : يدفن بالبقيع ، فجاء أبو بكر فقال : سمعت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول : ما دفن نبي قط إلا في مكانه الذي توفي فيه ، فحفر له فيه ، فلما كان ، عند غسله أرادوا نزع قميصه ، فسمعوا صوتا يقول : لا تنزعوا القميص ، فلم ينزع القميص ، وغسل وهو عليه – صلى الله عليه وسلم – .

Orang-orang berkata, “dikuburkan (nabi saw) di mimbar”, dan berkata yang lain: “dikuburkan di Baqi'”. Maka datanglah Abu Bakar berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘seorang nabi itu tidak dimakamkan kecuali di tempat di mana ia wafat”. Maka digalilah di tempat itu (HR. Malik)

Pertanyaannya sederhana: jika sahabat meyakini haramnya kuburan di masjid, mengapa mereka mengusulkan untuk menguburkan nabi saw. di mimbar (yang terletak di dalam masjid)? Lalu, sebagaimana kita ketahui, Nabi saw. dimakamkan di kamar Aisyah yang menempel dengan masjid. Lalu, Abu Bakar pun dimakamkan di sebelah makam nabi, lalu Umar pun demikian. Lalu, di kemudian hari, Umar bin Abdul ‘Aziz menjadi gubernur Madinah. Ia memperluas masjid nabawi dan otomatis memasukkan makam nabi dan kedua sahabatnya itu ke dalam masjid. Kebijakan dan keputusan tersebut disetujui oleh tujuh orang ahli fiqh Madinah, kecuali Sa’id bin Musayyab. Tetapi Sa’id pun tidak menyetujuinya bukan karena berpandangan tentang keharamannya melainkan karena lebih setuju bahwa makam nabi agar dibuat tersendiri, terpisah dari masjid, agar orang-orang dapat melihat betapa sederhananya kehidupan nabi dari bentuk kamar ‘Aisyah tersebut. 

Penyebab Perbedaan Pendapat

Penyebab perbedaan pendapat dalam hal ini adalah perbedaan pemahaman tentang apa itu “menjadikan kuburan sebagai masjid”. Bagi kaum salafi, kalimat ini berarti “ada masjid di dalam kuburan”. Namun, bagi golongan muslim tradisional, kalimat ini berarti, “bersujud dan beribadah ke kuburan.” Apakah buktinya?

Prof. Ali Jumu’ah, yang pernah menjadi Grand Syeikh Al-Azhar menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani menyembah, beribadah, dan berdoa kepada santo-santo mereka, rahib-rahib mereka, dan sebagainya, seperti disebutkan dalam ayat berikut ini:

اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَۚ وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوْٓا اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ ٣١

Mereka menjadikan para rabi (Yahudi) dan para rahib (Nasrani) sebagai tuhan-tuhan selain Allah serta (Nasrani mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam. Padahal, mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan (QS. At-Taubah: 31)

Berpijak pada ayat tersebut, maka larangan nabi tentang membangun masjid di atas kuburan menjadi jelas tujuannya. Agaknya, nabi saw. tidak ingin kesalahan yang dilakukan oleh penganut Nasrani dan Yahudi terulang kembali pada masa kini. Demikian pula kesalahan yang pernah diperbuat oleh Umat Nabi Nuh pada masa lampau. 

Maka, menyikapi perbedaan pendapat antara golongan tradisional dan salafi, hendaknya kita memandang keberadaan dua polar ini sebagai fungsi check and balance. Dengan kehadiran golongan salafi, diharapkan ada kontrol atau pengingat dari sesama muslim agar kita berhati-hati, jangan sampai kesalahan umat terdahulu terjadi lagi.

Join Komunitas Kelas Digital MisterArie