Home » Hikmah dari Sejarah Nabi Nuh
Menurut sejarahwan H.G Wells dalam A Short History of The World, Kisah Nabi Nuh adalah kisah dakwah seorang nabi Allah di wilayah Irak dan Syam yang berlangsung pada periode akhir zaman es.
Pada periode tersebut, es mencair, menciptakan sungai dan danau (faktor-faktor kesuburan tanah) sehingga pada kelanjutannya, tanah arab pun menjadi permadani hijau yang indah, Sungai Eufrat dan Tigris muncul, Laut Tengah pun naik dan memisahkan Eropa serta Afrika secara sempurna.
Dalam kondisi tersebut, anak-anak keturunan Adam telah mendapatkan keselamatan dan keberkahan. Namun, sayangnya, pada suatu titik waktu, tanpa sadar mereka terjebak dalam tradisi yang bertentangan dengan ajaran Adam. Mereka beribadah kepada selain Allah, mereka kufur atas nikmat yang Allah berikan.
Menurut Ibnu Katsir dalam Qashash Al-Anbiya, penyimpangan agama yang dilakukan oleh anak-anak keturunan Adam tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu masa transisi yang berlangsung selama 147 tahun. Apakah yang terjadi pada masa transisi tersebut?
Pada masa tersebut, Iblis yang bernama-asli “Azazil” dan sekutu-sekutunya dari golongan jin melancarkan sebuah makar yang tujuannya adalah menciptakan berhala, yaitu sesuatu yang dapat dicintai manusia melebihi cintanya kepada Allah, sesuatu objek fisik yang dapat dilihat mata dan pada akhirnya diharapkan menjadi tempat berdoa serta meminta.
Baca juga: Kisah Azazil
Bagi Iblis, tentu saja mengajak manusia untuk bersujud kepada objek fisik seperti batu atau patung adalah hal yang sangat sulit. Sebab, anak-anak keturunan Adam yang saleh itu mempunyai otak dan mulut untuk berkata: “apakah Aku begitu bodoh untuk bersujud pada sebuah benda mati?”
Namun, lain ceritanya jika Iblis memperkenalkan kepada manusia bahwa batu atau patung tersebut bukan bagian dari agama tetapi hanya merupakan wasilah atau media penyemangat dalam beribadah. Inilah strategi yang digunakan Iblis.
Maka, mulailah Iblis melancarkan misi penyesatannya. Pada mulanya, makhluk terlaknat ini mengamati adanya beberapa ulama yang saleh bernama Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Mereka tinggal di wilayah yang terbentang di sepanjang Irak, Syiria, hingga Palestina modern. Kesalehan para ulama tersebut telah sedemikian rupa menumbuhkan cinta yang mendalam pada hati anak cucu Adam sehingga tatkala mereka meninggal dunia satu per-satu, orang-orang merasa kehilangan dan rindu yang mendalam.
Kemudian, Memanfaatkan situasi tersebut, Iblis pun menjelma menjadi manusia dan membujuk orang-orang untuk menggambar orang-orang saleh tersebut dan memahat patungnya sebagai monumen peringatan yang berfungsi untuk pelepas rindu atau pemberi inspirasi agar semangat beribadah seperti mereka. Lalu, orang-orang pun menerima usul tersebut.
Bagi manusia, objek fisik berupa patung yang dipahat dari batu ini bukan bagian dari agama, hanya semacam monumen peringatan. Tetapi di situlah kekurangan manusia,
Bukan hanya dikenal saleh dan mempunyai doa yang maqbul, mereka pun pernah hidup menyaksikan Nabi Adam, manusia yang pertama kali diciptakan Allah.
Periode kehidupan orang-orang saleh tersebut berakhir setelah beberapa ratus tahun. M
Pada mulanya, Iblis dan setan merancang dan melaksanakan program “menumbuhkan cinta manusia kepada selain Allah”, sasaran mereka adalah anak-anak keturunan Adam yang tinggal di wilayah sekitar Irak dan syam. Menurut para sejarahwan, anak-anak Adam ini dikenal sebagai “Bani Rasib”, sebuah nama yang menunjukkan bahwa di antara leluhur mereka terdapat seorang tokoh bernama Rasib.
Lalu, setelah para ulama tersebut wafat, Iblis dan setan bertransformasi menjadi manusia dan membujuk orang-orang untuk mengenang para ulama tersebut melalui pembuatan gambar dan patung yang menyerupai tokoh-tokoh saleh tersebut. Dengan kata lain, pada mulanya, gambar dan patung tersebut berfungsi hanya sebagai monumen peringatan dan kenangan.
berhala-berhala tersebut hanya merupakan patung peringatan untuk mengenang beberapa orang saleh yang pernah hidup pada masa Nabi Adam. Menurut Al-Qur’an, orang-orang tersebut bernama Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.
Setelah kelima orang saleh tersebut meninggal dunia, Iblis mempengaruhi anak keturunan Adam untuk membuat monumen peringatan bagi orang-orang saleh tersebut. Maka, patung-patung dan kuilnya pun dibuat di tempat di mana mereka dimakamkan. Lalu, orang-orang pun datang berziarah ke tempat tersebut untuk mendoakan mereka dan mengambil inspirasi kesalehan mereka.
Namun, setelah sepuluh generasi berlalu (Hadits Bukhari dari Ibnu ‘Abbas), tujuan pembuatan monumen tersebut mulai terlupakan. Anak dari cucu mereka mulai menganggap monumen tersebut sebagai tempat berdoa, tempat meminta dan sumber keselamatan serta keberkahan.
Oleh karena ketaatan telah tergerus menjadi kedurhakaan, maka Allah pun mengutus malaikat Jibril kepada seorang lelaki saleh bernama Nuh. Ia adalah putra Lamak putra Mattusyalakh putra Khanukh putra Yarad putra Mihlabel putra Qainin putra Anusy putra Syits putra Adam. Melalui Jibril, Allah menetapkan Nuh menjadi seorang nabi dan rasul.
Sebelumnya, Adam telah Allah tetapkan sebagai nabi berdasarkan lorong ilham atau mimpi. Setelah itu, selama ratusan tahun anak-anaknya beribadah mengikuti petunjuknya. Namun pengangkatan Nuh menjadi nabi adalah melalui Malaikat Jibril sehingga ia merupakan Rasul Allah yang pertama di muka bumi.
Menurut Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir, tugas seorang Rasul adalah menegakkan Syari’at Allah kepada manusia, sedangkan para nabi mendakwahkan syari’at yang dibawa Rasul tersebut. Hal ini, mirip dengan Nabi Zakariya, Nabi Yahya, atau nabi-nabi Isra’il lainnya. Mereka tidak membawa Syari’at baru melainkan mendakwahkan Syari’at yang pernah dibawa oleh Rasulullah Musa. Kitab mereka satu, yakni Taurat.
Kita tidak mengetahui persis Syari’at yang dibawa oleh Nabi Nuh, tetapi secara umum, semua nabi mengajarkan agama yang sama, yaitu Islam, Tuhan yang sama, yaitu Allah. Argumen kesamaan Syari’at umum para nabi dan Rasul Allah adalah Surah Asy-Syura, ayat 13 berikut ini:
۞ شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِۗ اَللّٰهُ يَجْتَبِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يُّنِيْبُۗ
“Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga) kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (agama)-Nya dan memberi petunjuk pada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy-Syura [42]: 13)
Selain dari ayat tersebut, Nabi Muhammad sendiri pernah menyebutkan secara jelas bahwa para nabi dan Rasul Allah mengajarkan agama yang sama,
الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَ دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ
“Para nabi itu bersaudara se-ayah; ibu mereka berbeda-beda tetapi agama mereka satu” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lalu, kita juga dapat menemukan secara khusus mengenai intisari dakwah Nabi Nuh melalui ayat-ayat pada surah Nuh berikut ini:
اِنَّآ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖٓ اَنْ اَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ لَكُمْ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌۙ اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاتَّقُوْهُ وَاَطِيْعُوْنِۙ يَغْفِرْ لَكُمْ مِّنْ ذُنُوْبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۗ اِنَّ اَجَلَ اللّٰهِ اِذَا جَاۤءَ لَا يُؤَخَّرُۘ لَوْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan perintah), “Berilah peringatan kepada kaummu sebelum datang azab yang pedih kepadanya!” Dia (Nuh) berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku ini adalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan kepadamu, (yaitu) sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku, Niscaya Dia akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkanmu (memanjangkan umurmu) sampai pada batas waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah itu, apabila telah datang, tidak dapat ditunda. Seandainya kamu mengetahui(-nya).” (QS. Nuh [71]: 1-4)
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, kita dapat mengetahui bahwa Nabi Nuh memperkenalkan dirinya kepada kaumnya sebagai seorang “pemberi peringatan”. Allah mengutusnya sebagai nabi dan Rasul. Lalu, ia mengajarkan tiga hal penting dalam agama Allah:
Namun demikian, jika kita mengamati ayat demi ayat dalam Al-Qur’an yang bercerita tentang Nabi Nuh, agaknya, penghujatan bukan alasan utama Bani Rasib menolak dakwah Nabi Nuh. Sebab, selama ratusan tahun Nabi Nuh telah menyampaikan dengan santun alasan-alasan rasional mengapa mereka mestinya menyembah Allah. Sebagai contoh adalah kata-kata Nabi Nuh kepada kaumnya sebagai berikut:
ۙ فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ اِنَّهٗ كَانَ غَفَّارًاۙ يُّرْسِلِ السَّمَاۤءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًاۙ وَّيُمْدِدْكُمْ بِاَمْوَالٍ وَّبَنِيْنَ وَيَجْعَلْ لَّكُمْ جَنّٰتٍ وَّيَجْعَلْ لَّكُمْ اَنْهٰرًاۗ مَا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ لِلّٰهِ وَقَارًاۚ وَقَدْ خَلَقَكُمْ اَطْوَارًا اَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللّٰهُ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۙ وَّجَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَّجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا وَاللّٰهُ اَنْۢبَتَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ نَبَاتًاۙ ثُمَّ يُعِيْدُكُمْ فِيْهَا وَيُخْرِجُكُمْ اِخْرَاجًا وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ بِسَاطًاۙ لِّتَسْلُكُوْا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. (Jika kamu memohon ampun,) niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, serta mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu.” Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah? Padahal, sungguh, Dia telah menciptakanmu dalam beberapa tahapan (penciptaan). Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis? Di sana Dia menjadikan bulan bercahaya dan matahari sebagai pelita (yang cemerlang). Allah benar-benar menciptakanmu dari tanah. Kemudian, dia akan mengembalikanmu ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkanmu (pada hari Kiamat) dengan pasti. Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan agar kamu dapat pergi dengan leluasa di jalan-jalan yang luas.” (QS. Nuh [71]: 10-20)
Penyampaian argumen-argumen rasional tersebut, yang meminta mereka untuk mengamati bagaimana Tuhan Semesta Alam telah “bekerja” untuk kenikmatan hidup mereka, ditolak mentah-mentah. Agaknya, gengsi dan kesombonganlah yang menghalangi mereka dari hidayah Allah.
Sebab, konon, manusia menolak kebenaran hanya karena salah satu dari dua faktor. Pertama, karena kebodohan dan kedua, karena kesombongan. Orang bodoh dapat ditembus oleh hidayah tetapi orang sombong adalah tembok besi yang sangat sulit dihadapi, seperti Iblis yang menolak bersujud kepada Adam. Ia bukan tidak mengerti bahwa Allah adalah Raja Alam Semesta, tetapi kesombongannya, perasaan bahwa dirinya lebih mulia, senioritasnya, “post power syndrome“nya, itulah yang menghalanginya dari melakukan hal yang benar. [b e r s a m b u n g].