misterarie

About MisterArie

Latar Belakang Kelas Digital

Facebook
WhatsApp

Madzhabku

Dahulu saya belajar di madrasah, lalu mondok di pesantren. Seperti santri modern lainnya, saya menekuni ilmu-ilmu keislaman tradisional sekaligus ilmu kealaman (sains), dan sosial. 

Kemudian, setelah duduk di bangku kuliah, dengan bekal bahasa Arab, Inggris dan pemahaman terhadap konsep-konsep dasar Islam, saya juga memberanikan diri untuk memasuki medan perang pemikiran: teologi Islam, ikhtilaf fiqih, dan pemikiran Islam modern (bagaimana mendudukan Islam di dunia modern). Semuanya menawarkan berbagai “jalan.”

Menurut saya, jika di depan saya ada banyak “jalan”, maka keputusan saya untuk memilih suatu jalan harus didasarkan atas pertimbangan rasional: mengapa saya memilih “jalan” tersebut. Maka, saya benar-benar mempelajari setiap “jalan” yang saya temukan, saya mulai melakukan pengembaraan intelektual: menyelami dunia filsafat Barat, menelusuri akar-akar konflik Syi’ah dan Sunni, mengkaji faktor-faktor naik dan jatuhnya peradaban Islam, meneliti usul fiqih antar madzhab dan produk-produk hukumnya. Setelah belajar, maka saya dapat memilih tempat berdiri yang saya anggap benar.

Kemudian, hasrat untuk belajar ini juga dipupuk oleh keyakinan saya bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban pertama dalam hidup. Tanpa ilmu (misalnya kita gila, atau tidak mengerti), maka hukum tidak jatuh pada diri kita. Allah pun tidak akan menghukum sampai ilmu datang kepada kita (melalui para nabi atau ulama).

Maka, di dunia yang bertumpahan ilmu (informasi) seperti sekarang, ditambah dengan adanya berbagai “jalan” yang telah saya sebutkan di atas, dan ditambah pula dengan kenyataan bahwa dunia modern mendesak kita  untuk menerima hal-hal baru: demokrasi, sains modern, globalisasi, dan sebagainya, maka bagi saya menuntut ilmu itu adalah lebih urgent lagi. Dan untuk inilah saya berbagi ilmu melalui platform belajar Kelas Digital.

Lalu, pada akhirnya, saya menyadari bahwa perbedaan “jalan” adalah tak terhindarkan. Oleh karena itu, di atas semua ego kelompok kita hendaknya kita mendahulukan prinsip persaudaraan muslim (QS. Al-Hujurot: 10). Ini yang saya yakini.

Critical Thinking tidak Cukup tanpa Nilai Islam

Saya menyukai buku sejak belajar di pesantren. Guru saya kerap mengajak saya untuk pergi ke book fair dan menstimulus murid-muridnya agar gemar membaca. Dahulu, kerap diceritakan bahwa Jepang adalah negara yang hancur pada Perang Dunia Kedua lalu bangkit kembali, antara lain, karena pendidikan: penduduknya suka membaca, mereka membaca walaupun sedang berada di dalam kereta. Cerita itu begitu menggugah saya sehingga saya pun mulai membawa buku ke manapun saya pergi; saya membeli buku setiap kali mendapatkan “rezeki.”

Kini saya mengajar di sekolah dasar di Condet, Jakarta, saya menyaksikan betapa masyarakat telah menaruh perhatian yang besar pada pendidikan anak-anak. Buku-buku yang mempengaruhi dan membentuk pemikiran serta perilaku saya cukup banyak berguna bagi saya dalam mengajar dan mendidik anak-anak setiap hari. Sejak mengajar di sekolah dasar ini saya baru menyadari pentingnya untuk menerjemahkan gagasan-gagasan besar dalam keislaman, keindonesiaan, dan keglobalan, untuk dapat dipahami dengan bahasa yang mudah oleh anak-anak tingkat dasar.

Selain itu, pada level nasional, Saya melihat bahwa perhatian pada pendidikan telah sedemikian tinggi di negara kita hingga sekolah-sekolah negeri (umumnya) pun dicoba untuk berakselerasi dengan adanya platform Merdeka Belajar yang disediakan oleh pemerintah. Di sana setiap guru dapat berbagi dan “mengintip” berbagai praktik baik yang dilakukan oleh pendidik lainnya. Tujuan besarnya adalah guru dapat memfasilitasi siswa agar dapat menjadi pelajar-seumur hidup, long-life learner (mandiri mencari melalui aneka media dan kritis dengan semua kelimpahan informasi). Di sini, Kritis atau critical thinking adalah kata kuncinya.

Namun pertanyaannya adalah apakah setelah menanamkan literasi media dan membangun sikap berfikir kritis, critical thinking, dalam belajar itu cukup? Tidak. Kita masih membutuhkan satu hal terpenting lain yang justru merupakan akar dari sebuah pohon long-life learner. Apa itu? Nilai, dalam konteks pendidikan Islam: nilai-nilai Islam. 

Tanpa nilai, critical thinking tak ada artinya. Sebab, setiap kritik dan penilaian mesti berangkat dari satu barometer yang dianggap  benar. Dalam konteks sekolah-sekolah Islam, penting untuk menanamkan nilai-nilai Islam yang secara tegas mesti menghubungkan semua ilmu kepada Allah Sang Pencipta. Bicara keteraturan fisika, dihubungkan dengan hukum Allah (sunnatullah) dan kinerja (tasbih) para malaikat; bicara manusia, dihubungkan dengan tujuan Allah menciptakan kehidupan; bicara kedokteran, dihubungkan dengan Allah yang memberikan ujian, dan sebagainya.

Pada kenyataannya, kita harus jujur bahwa tanpa menanamkan nilai-nilai Islam, critical thinking harus mencari sumber kebenaran lain, misalnya sains modern, kearifan lokal di masyarakat, atau budaya global. Semua akan benar atau salah menurut nilai yang dipeluk pada awalnya. 

Alhamdulilah dan syukurnya, tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia saat ini terus mengumandangkan betapa pentingnya nilai di dunia pendidikan. Bagi sekolah-sekolah Islam, perumusan dan pengembangan nilai-nilai Islam harus dilakukan di depan, sebelum semua program dan kegiatan dijabarkan. Baik tujuan (goal) dan cara (means)nya adalah Islam. 

Sebetulnya, pentingnya nilai dalam pendidikan tersebut juga digagas ketika Stephen Covey membicarakan etika karakter (character ethic) dalam the 7 Habits of Highly Effective People. Menurutnya, seseorang harus memiliki sebuah keyakinan dan nilai yang dengan nilai itulah ia bertindak, bukan bertindak hanya demi basa-basi, pencitraan, yang disebut dengan personality ethic (etika kepribadian). Demikianlah, tujuan seorang guru adalah untuk menanamkan ke dalam diri siswa nilai-nilai Islam yang luhur: kebenaran, keadilan, persaudaraan, kasih sayang, kejujuran, dan sebagainya.

Pentingnya Islamisasi Ilmu

Namun, nilai-nilai Islam merupakan tujuan umum Islam yang biasanya diterjemahkan sebagai kode etik berperilaku dan bergaul di sekolah-sekolah Islam. Lalu, bagaimana menyelaraskan nilai-nilai Islam ke dalam kurikulum secara nyata? Kita membutuhkan “Islamisasi ilmu”, sebuah proyek pemikiran yang digagas oleh Syed Naquib Alatas dan oleh Isma’il Raji’ Al-Faruqi dalam konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam, di Makkah tahun 1977.

Sederhananya, islamisasi ilmu adalah lawan dari dikotomi ilmu. Selama ini, biologi, fisika, sejarah, adalah “lawan” dari fiqih, aqidah, atau sejarah Islam. Yang satu umum, yang lainnya agama. Karena tidak dapat menyatukannya, pada akhirnya, di kelas-kelas sekolah Islam, upaya penanaman nilai-nilai Islam (untuk mengatasi dikotomi ilmu ini) dalam pelajaran umum, seperti biologi atau fisika, dilakukan secara verbal saja. Tentu saja upaya ini tidak cukup. Kita perlu melakukan formalisasi dalam bentuk penyusunan text book.

Text book merupakan wujud nyata dari islamisasi ilmu. Misalnya, dalam buku fisika bab tata surya, kita mesti mengaitkan fenomena alam tersebut dengan Allah sebagai Sang Pencipta (asmaul husna, aqidah), dan dengan adanya hukum Allah (Sunnatullah), bukan hukum alam. Di sini kita mesti mengubah paradigma, sudut pandang kita, dari “alam yang bekerja sendiri” kepada “alam yang dipelihara oleh Tuhan”. Selama ini, kita meyakini adanya peran Tuhan, tetapi tidak pernah berani untuk menulisnya di dalam text book. Lalu, apa yang membuat kita begitu pengecut untuk menulis nama “Allah” dalam buku sains? Apakah karena keyakinan bahwa sains modern adalah milik Barat? Inilah problem inkonsistensi, tidak sesuai dengan keselarasan karakter seperti yang digagas oleh Stephen Covey di atas.

Namun persoalannya, tidak banyak sumber-sumber informasi, sejauh yang saya ketahui, yang menggunakan pendekatan Islamisasi ilmu ini. Pada umumnya, kita meletakkan sains di otak kiri dan agama di otak kanan kita. Keduanya dibiarkan hidup di dunia berbeda di dalam kepala kita. Ada manusia purba di otak kiri kita dan ada Nabi Adam di otak kanan kita, bukankah itu lucu? 

Maka dari itulah platform Kelas Digital ini saya buat. Selain ingin menghadirkan aneka pandangan aqidah, fiqih, sejarah, pemikiran dan kebudayaan Islam, saya juga ingin menyajikan biologi, fisika, geologi, dan ilmu umum lainnya, dari sudut pandang nilai-nilai Islam. Kelas Digital MisterArie bertujuan untuk mengisi kekosongan ini.

“Madzhab” platform ini adalah proposal gagasan Islamisasi ilmu. Tetapi saya terbuka untuk mendiskusikan hal-hal terkait apa yang saya sajikan. Boleh jadi ada kekeliruan dari pemikiran saya. Oleh karena itu, selalu ada kolom komentar sehingga critical thinking kalian bisa ditumpahkan ke dalamnya.

Akhir kata, saya ingin turut andil dalam membangun sekolah-sekolah, madrasah-madrasah Islam, yang memiliki wawasan integral antara Islam dan sains, dunia dan akhirat. Semoga niat ini dapat istiqomah.

Join Komunitas Kelas Digital MisterArie