Arie

Tata Cara Salat Seperti Nabi

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى

"Salatlah kalian sebagaimana kalian menyaksikan saya salat" (HR. Bukhari)

Pentingnya Salat

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

“Sesungguhnya pertama yang dihisab pada hamba di hari kiamat dari amalannya adalah shalat nya. Apabila bagus maka ia beruntung dan selamat dan bila rusak maka celaka dan merugi. Apabila kurang sempurna dari yang wajib maka Allâh berfirman: Lihatlah apakah hambaKu ini memiliki shalat sunnah guna menyempurnakan kekurangan yang wajib kemudian baru dihisab amalan-amalan lainnya” (HR. Tirmidzi)

Daftar Isi

Sedekap
Berupaya menjaga ketenangan salat dengan meletakkan tangan kanan kiri di atas dada atau perut dan tangan kanan di atas tangan kiri tersebut
Dalil
Membaca Al-Fatihah
Membaca surat pembuka Al-Quran yang mengandung rangkuman pesan Islam yang harus dihayati di dalam kehidupan
Dalil
Membaca Ayat Qur'an
Beberapa ayat atau suatu surat dibaca untuk menghadirkan penghayatan terhadap pesan-pesan Allah
Dalil
Ruku'
Membungkukkan badan seraya memegang kedua lutut seraya mengagungkan Allah
Dalil
Sujud I
Meletakkan kepala, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung kaki ke atas tanah seraya bertasbih meninggikan nama Allah
Dalil
Duduk Iftirasy
Duduk sebentar di antara sujud sebelumnya dan sesudahnya seraya memohon ampunkepada Allah
Dalil
Sujud II
Meletakkan kepala, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung kaki ke atas tanah seraya bertasbih meninggikan nama Allah
Dalil
Berdiri (Raka'at II)
Kiblat salat semua muslim di dunia adalah Ka'bah di Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah
Dalil
Ruku'
Kiblat salat semua muslim di dunia adalah Ka'bah di Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah
Dalil
Sujud I
Kiblat salat semua muslim di dunia adalah Ka'bah di Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah
Dalil
Duduk Iftirasy
Kiblat salat semua muslim di dunia adalah Ka'bah di Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah
Dalil
Sujud II
Kiblat salat semua muslim di dunia adalah Ka'bah di Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah
Dalil
Duduk Tasyahhud Awal
Kiblat salat semua muslim di dunia adalah Ka'bah di Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah
Dalil
Berdiri (Raka'at III)
Kiblat salat semua muslim di dunia adalah Ka'bah di Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah
Dalil
Duduk Tasyahhud Akhir
Kiblat salat semua muslim di dunia adalah Ka'bah di Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah
Dalil
Salam
Kiblat salat semua muslim di dunia adalah Ka'bah di Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah
Dalil
Previous slide
Next slide

Syarat Sah Salat

Suci Dari Hadats

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٦

Dalil 1: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah: 6)

Suci Dari Najis

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلَاةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَ صَلِّى

Dalil 2: Sabda Nabi Saw. kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: “Apabila masa haid telah datang, tinggalkanlah salat. Apabila masa itu diperkirakan telah lewat, mandilah! untuk membersihkan darahmu. Lalu, salatlah! (HR. Bukhari, No. 295)

Menutup Aurat dengan Pakaian yang Suci

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

Dalil 3: “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid” (QS. Al-A’raf: 31)

لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ الْحَائِضِ إِلَّا بِخِمَارٍ

Dalil 4: “Dari Aisyah, Rasulullah bersabda: Tidak diterima salat perempuan yang telah haid (baligh) kecuali dengan mengenakan penutup kepala (kerudung)” (HR. Ibnu Majah no. 1011 dan Tirmidzi no. 342)

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْۖ ٤

Dalil 5: “Pakaianmu, bersihkanlah! (QS. Al-Muddatsir: 4)

أَنَّ خَوْلَةَ بِنْتَ يَسَارٍ أَتَتِ النَّبِيَّ فَقَالَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى إِلَّا ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَ أَنَا أَحِيْضُ فِيْهِ فَكَيْفَ أَصْنَعُ قَالَ: إِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِيْهِ ثُمَّ صَلِّى فِيْهِ فَقَالَتْ: فَإِنْ لَّمْ يَخْرُجِ الدَّمُ فَقَالَ يَكْفِيْكِ غَسْلُ الدَّمِ وَ لَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ

Dalil 6: Dari Abu Hurairah bahwasanya Khaulah binti Yasar pernah menemui Nabi Saw. lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian yang sedang aku kenakan sekarang dalam keadaan haid. Maka apa yang harus kuperbuat? Berkata Nabi saw.: Jika engkau sudah suci, maka cucilah pakaian itu lalu salatlah dengannya. Kemudian ia bertanya lagi: Tapi bagaimana jika noda darahnya tidak hilang? Kemudian Nabi saw. menjawab: Cukup bagimu membersihkan darahnya saja, dan bekas nodanya tidak akan membahayakanmu (tidak mengapa masih tersisa) (HR. Abu Daud No. 365)

Mengetahui waktu salat

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا ١٠٣

Dalil 7: “Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin” (QS. An-Nisa: 103)

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «أَمَّنِي جِبْرِيلُ عِنْدَ بَابِ الْكَعْبَةِ مَرَّتَيْنِ فَصَلَّى الظُّهْرَ حِينَ كَانَ الْفَيْءُ مِثْلَ الشِّرَاكِ، ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ بِقَدْرِ ظِلِّهِ وَصَلَّى الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، ثُمَّ صَلَّى الْمَرَّةَ الْآخِرَةَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ قَدْرَ ظِلِّهِ قَدْرَ الْعَصْرِ بِالْأَمْسِ، ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ، ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ الْقَدْرَ الْأَوَّلَ لَمْ يُؤَخِّرْهَا، ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ أَسْفَرَ ثُمَّ الْتَفَتَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ فِيمَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ

Dalil 8: Artinya: Jibril mengimamiku di pintu ka’bah sebanyak dua kali.
Awal Waktu Salat
Ia (1) shalat Zhuhur ketika bayang-bayang suatu benda seperti berjalannya sandal di belakang telapak kaki (pen. Bayangan pendek karena matahari baru condong sedikit ke arah barat). Lalu ia mengerjakan (2) salat Asar ketika setiap benda sama seperti bayang-bayangnya (pen. Bayangan lebih Panjang karena matahari cukup condong ke arah barat). Ia (3) salat Maghrib ketika orang yang berpuasa berbuka (pen. Matahari telah terbenam). Ia pun mengerjakan (4) salat Isya ketika mega berwarna merah (syafaq) telah menghilang. Dan ia kerjakan (5) salat Subuh ketika diharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa (pen. Matahari telah terbit dan situasi cukup terang sehingga dapat dibedakan antara benang hitam dan putih).
Akhir Waktu Salat
Jibril lalu mengerjakan (1) salat Zuhur untuk kedua kalinya ketika setiap benda sama panjangnya dengan Panjang bayang-bayangnya seperti waktu salat Ashar yang kemarin. Ia kerjakan (2) salat Asar ketika bayangan setiap benda menjadi dua kali lipatnya. Ia (3) salat Magrib seperti yang pertama, dan ia tidak mengakhirkan. Ia (4) salat Isya’ untuk kedua kalinya setelah masuk sepertiga malam (pen. Sekitar pasca pukul 02.00 dini hari WIB). Dan ia kerjakan (5) salat Subuh ketika pagi telah terang.
Pernyataan Jibril tentang Waktu Salat
Selanjutnya, Jibril menoleh dan berkata, ‘Wahai Muhammad, itulah waktu para nabi sebelummu. Dan waktu salat itu berada di antara kedua waktu tadi. (HR. Abu Daud)

Menghadap Kiblat

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Dalil 9: “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

Dalil 10: “Jika engkau hendak mengerjakan salat, maka sempurnakanlah wudumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirla, kemudian bacalah yang mudah bagimu dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 912)

وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّى عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ

Dalil 11: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 1652)

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

Dalil 12: “Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah no. 1011 dan Tirmidzi no. 342)

أَخْبَرَنَا حَاجِبُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمَنْبِجِيُّ عَنْ ابْنِ أَبِي رَوَّادٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَعْبَةَ فَسَبَّحَ فِي نَوَاحِيهَا وَكَبَّرَ وَلَمْ يُصَلِّ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ

Dalil 13: “… Dari [Usamah bin Zaid], ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam Ka’bah lalu beliau bertasbih di pojok-pojoknya dan bertakbir, namun beliau tidak melakukan shalat, kemudian beliau keluar dan melakukan sholat di belakang maqam dua rakaat dan bersabda: ” Inilah kiblat.” (HR. An-Nasa’i No. 2860)

Pelajaran 1

  1. Dalam madzhab Syafi’i, ada 5 syarat sah salat. Suci dari hadats (dalil 1) dan najis (dalil 2), menutup aurat dengan pakaian yang suci (dalil 3, 4, 5, dan 6), mengetahui waktu salat (dalil 7 dan 8), berdiri di tempat salat yang suci (dalil 5, kesucian tempat salat dianalogikan dengan kesucian pakaian), mengetahui waktu-waktu salat (dalil 7 dan 8), dan menghadap kiblat (dalil 9, 10, 11, 12, 13).
  2. Menurut An-Nawawi dalam Al-Minhaj Syarh Muslim, hadits Bukhari dan Muslim di atas (dalil 10) menunjukkan kewajiban menghadap kiblat dan kompleks masjidil Haram merupakan kiblat (dalil 9).
  3. Saat melakukan salat sunnah di atas kendaraan (unta), Rasulullah saw. menghadap ke arah mana saja kendaraannya menuju (Dalil 11), terkadang, terlebih dahulu menghadapkan kendaraannya ke kiblat baru, lalu bertakbir, lalu salat mengikuti arah kendaraan (HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban). Namun, menurut Imam Asy-Syafi’i, untuk salat fardu, diwajibkan menghadap kiblat.
  4. Sebagian ulama tidak mewajibkan salat persis derajat kemiringannya menghadap ka’bah. Cukup diperkirakan, atau menghadap barat saja. (Dalil 12)
  5. Namun, ulama Syafi’iyah mewajibkan salat menghadap persis ke arah masjidil haram (Dalil 9) dan jika kita berada di dalam masjidil haram, ke ka’bah secara khusus (Dalil 13).

Rukun Salat

Berdiri Bagi Yang Mampu

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ ٢٣٨

Dalil 14: Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusta. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk. (QS. Al Baqarah: 238)

كَانَتْ بِى بَوَاسِيْرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ عَنِ الصَّلَاةِ فَقَالَ: صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Dalil 15: “Lakukanlah shalat dengan berdiri. Bila kau tak mampu, maka dengan duduk. Bila kau tak mampu juga, maka dengan tidur miring,” (HR Imam Bukhari)

مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ

Dalil 16: “Barangsiapa yang shalat dengan berdiri, maka itu lebih utama. Barangsiapa yang shalat dengan duduk, maka baginya separuh pahala orang yang shalat dengan berdiri. Barangsiapa yang shalat dengan tidur (miring), maka baginya separo pahala orang yang shalat dengan duduk.” (HR. Bukhari)

لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثَلَاثًا وَإِيَّاكُمْ وَهَيْشَاتِ الْأَسْوَاقِ

Dalil 17: Hendaknya (yang) berada di dekatku  (di belakangku) dari kalian adalah orang yang berakal dan berilmu. Kemudian diikuti orang-orang berikutnya (tiga kali). Dan jauhilah (suara) keributan pasar-pasar. [HR Muslim, no. 255]

 كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يَلِيَهُ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ

Dalil 18:Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senang menjadikan orang-orang Muhajirin dan Anshar berada di belakangnya, agar mereka mencontoh dari beliau. [Hadits shahih, riwayat Ibnu Majah, 977 dan Ahmad, 3/100, hadits shahih Lihat  Shahih Fiqhus Sunnah, 1/534]

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

Dalil 19:  “Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah, ‘Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk semuanya”. [Muttafaqun ‘alaihi]

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلَ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا

Dalil 20:  “Jika seorang hamba sakit atau bepergian, tetap ditulis baginya amalan yang biasa dia lakukan saat sehat dan mukim” (HR. Bukhari)

Pelajaran 2

  1. Berdiri saat salat wajib merupakan perintah Allah (dalil 14), namun situasi sulit, seperti kasus Imran bin Hushain yang mengadu sedang mengalami ambiyen kepada nabi saw, membolehkan salat dengan cara duduk atau berbaring (dalil 15), pahalanya tidak berkurang sedikit pun (dalil 20).
  2. Salat sunnah tidak wajib dilakukan dengan cara berdiri. Boleh duduk, tetapi dengan pahala yang sedikit berkurang (dalil 16).
  3. Makmum yang berdiri persis di belakang imam hendaknya orang-orang yang berakal dan berilmu (dalil 17) atau orang yang hendak diajarkan cara salat (dalil 18).
  4. Dalam salat berjamaah, berdiri atau duduk adalah tergantung pada imam. Jika imam berdiri, maka makmum berdiri, jika imam duduk maka makmum pun wajib mengikutinya (dalil 19).

Rukun Salat

Niat

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ

Dalil 21: “Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya” (QS. Al-Bayyinah: 5)

ٍعَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dalil 22: Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari Muslim)

Pelajaran 3

  1. Semua ibadah, termasuk salat, harus dilakukan dengan motif mencari keridaan Allah (dalil 21). Niat yang salah, misalnya salat untuk mencari pujian, akan menggugurkan nilai salat (dalil 22).
  2. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah melihat niat/ motif salat sebagai syarat salat. Oleh karena itu, mereka membolehkan niat dilakukan sebelum pelaksanaan salat, misalnya dalam perjalanan menuju masjid (kalimat “mukhlishina lahuddin” pada dalil 22 diartikan kira-kira, “dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan syarat ikhlas.”)
  3. Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah melihat niat sebagai rukun salat, dia bagian yang tak terpisahkan dari salat (dalil no. 22 di atas diartikan “dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan sembari mengikhlaskan niat saat pelaksanaannya”). Oleh karena itu, niat dikerjakan bersamaan dengan takbiratul ihram.
  4. Menurut madzhab Syafi’i, niat diucapkan (boleh dengan suara atau dalam hati) sebelum atau bersamaan dengan takbiratul ihram. اصلّى فرض الظهر أربع ركعات مستقبل القبلة أداءا مأموما لله تعالى (misalnya), tujuannya adalah untuk memantapkan hati. Menurut sebagian lainnya, cukup diucapkan dalam hati, tidak boleh dengan pengucapan. 

Rukun Salat

Takbiratul Ihram

وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهٖ فَصَلّٰىۗ ١٥

Dalil 23: “dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia salat” (QS. Al-A’la: 15)

وَرَبَّكَ فَكَبِّرْۖ ٣

Dalil 24: “Dan Tuhanmu, agungkanlah!” (QS. Al-Muddatsir: 3)

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

Dalil 25: “Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya adalah takbir, dan yang menghalalkannya adalah salam.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Al-Hakim)

كَانَ إِذَا قَامَ فِى الصَّلَاةِ إِعْتَدَلَ قَائِمًاوَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِى بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ

Dalil 26:  “Rasulullah jika hendak salat beliau berdiri tegak lalu mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya kemudian mengucapkan “Allahu Akbar” (HR. Ibnu Majah, Disahihkan Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ، وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ، رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا، وَقَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ، وَكَانَ لاَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ “

Dalil 27: Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya apabila memulai shalat dan ketika bertakbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepala dari ruku’. Beliau juga mengangkat keduanya dan mengucapkan, “Sami’allâhu liman hamidah rabbanâ wa lakal hamdu” dan Beliau tidak melakukan hal itu dalam sujudnya.” [HR. Al-Bukhâri]

أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي صَلَاتِهِ وَإِذَا رَكَعَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَإِذَا سَجَدَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا فُرُوعَ أُذُنَيْهِ

Dalil 28: Sesungguhnya beliau pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengangkat kedua tangannya setiap kali hendak bangkit dan akan turun, ketika bangkit dari ruku’, ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga sejajar kedua telinganya “ (HR. An-Nasa’i, no. 672 dan Ahmad no. 493)

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَإِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ ورَفَعَ ذلكَ ابنُ عُمَر إلى نبيِّ اللهِ – صلى الله عليه وسلم -.

Dalil 29: Sesungguhnya Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma biasanya jika hendak memulai shalatnya beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Jika hendak ruku’ juga mengangkat kedua tangannya. Jika beliau mengucapkan, ”Sami’allâhu liman hamidah”  juga mengangkat kedua tangannya. Jika berdiri dari rakaat kedua juga mengangkat kedua tangannya. Ibnu Umar Radhiyallahu anhu memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [HR. Al-Bukhâri, no. 739 dan Muslim no. 390]

صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمْ يَكُنْ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِلَّا فِي التَّكْبِيرَةِ الْأُولَى مِنَ الصَّلَاةِ

Dalil 30: “aku pernah shalat bermakmum pada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, ia tidak pernah mengangkat kedua tangannya kecuali pada takbir yang pertama dalam shalat (takbiratul ihram)” (HR. Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar, 1357, dengan sanad yang shahih)

Pelajaran 4

  1. Salah satu tujuan salat adalah menyebut nama Allah (dalil 23) dan mengagungkan nama Allah (dalil 24) dan untuk itu dilakukan Takbiratul ihram.
  2. Takbiratul ihram adalah penanda mulainya salat yang berarti bahwa segala ucapan dan gerakan menjadi haram dilakukan kecuali ucapan dan gerakan salat (dalil 25).
  3. Takbiratul ihram dilakukan dengan mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu (dalil 26 dan 27) atau sejajar dengan telinga (dalil 28).
  4. Selain wajib dilakukan pada takbiratul Ihram, mayoritas ulama melihat ada takbir lain yang dapat dilakukan, yaitu takbir intiqal (takbir transisi). Hukumnya sunnah (kecuali Imam Ahmad yang mewajibkan), dilakukan dengan mengangkat kedua tangan sebelum ruku, saat bangkit dari ruku’, saat bangkit dari ruku’ untuk berdiri ke raka’at ketiga (dalil 29 dan 30). Lihat juga pelajaran 8 (Takbir Transisi [Intiqal]).

Sunnah Salat

Bersedekap

عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ هُلْبٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ يَؤُمُّنَا فَيَأْخُذُ شِمَالَهُ بِيَمِيْنِهِ

Dalil 31: “Dari Qabîshah bin Hulb dari ayahnya, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah SAW mengimami kami, maka beliau mendekap tangan kirinya dengan tangan kanannya” (Sunan At-Tirmidzi, no. 252)

مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِرَجُلٍ وَهُوَ يُصَلِّى وَ قَدْ وَ ضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى الْيُمْنَى فَانْتَزَعَهَا وَ وَضَعَ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى

Dalil 32: Dari Jabir: “Rasulullah melewaati seseorang yang sedang salat dan dia meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya, maka beliau menarik tangannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (HR. Ahmad)

عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ أَنَّ عَلِيًّا قَالَ مِنْ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ

Dalil 33: Dari Abi Juhaifah, sesungguhnya Ali r.a., telah berkata: “Yang termasuk sunnah itu adalah meletakkan pergelangan tangan (kanan) di atas pergelangan tangan (kiri) dalam shalat di bawah pusar” (Sunan Abi Dawud, no. 756)

وَعَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَضَعَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى يَدِهِ اليُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ

Dalil 34: Dari Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau meletakkan tangan kanan pada tangan kiri di dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

عَنْ ابْنِ جَرِيرٍ الضَّبِّيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ عَلِيًّا يُمْسِكُ شِمَالَهُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى الرُّسْغِ فَوْقَ السُّرَّةِ, قَالَ أَبُو دَاوُد وَرُوِيَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَوْقَ السُّرَّةِ

Dalil 35: Dari Ibnu Jarir Ad-Dhabbiy dari bapaknya, ia berkata, “Aku melihat Ali ra., mendekap tangan kirinya dengan tangan kanannya pada pergelangannya diatas pusar”. Berkata Abu Dawud: “telah diriwayatkan pula dari Sa’id bin Jubair bahwa ia meletakkan tangannya di atas pusar” (Sunan Abi Dawud, no. 757)

عَنِ اْبنِ جُرَيْج،عَنْ أَبِي الزُّبَيْر قَالَ: أَمَرَنِي عَطَاءُ أَنْ أَسْأَلَ، سَعِيْدًا: أَيْنَ تَكُوْنُ الْيَدَانِ فِي الصَّلَاةِ؟فَوْقَ السُّرَّةِ أَوْ أَسْفَلَ مِنْ السُّرَّةِ فَسَأَلْتُهُ عَنْهُ،فَقَالَ: فَوْقَ السُّرَّةِ يَعْنِي بِهِ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْر

Dalil 36: Dari Abu Zubair, dia berkata: saya diperintahkan Atha’ untuk bertanya kepada Said, dimanakah tangan diletakkan saat shalat? Diatas pusar atau dibawahnya? Maka beliau menjawab: Diatas pusar. Al-Baihaqi mengomentari: Atsar yang paling shahih pada bab ini adalah atsar dari Said bin Jubair ini. (Abu Bakar al-Baihaqi w. 458 H, as-Sunan al-Kubro, h. 2/ 47)

عَنِ اْبنِ جُرَيْج،عَنْ أَبِي الزُّبَيْر قَالَ: أَمَرَنِي عَطَاءُ أَنْ أَسْأَلَ، سَعِيْدًا: أَيْنَ تَكُوْنُ الْيَدَانِ فِي الصَّلَاةِ؟فَوْقَ السُّرَّةِ أَوْ أَسْفَلَ مِنْ السُّرَّةِ فَسَأَلْتُهُ عَنْهُ،فَقَالَ: فَوْقَ السُّرَّةِ يَعْنِي بِهِ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْر

Dalil 37: Dari Abu Zubair, dia berkata: saya diperintahkan Atha’ untuk bertanya kepada Said, dimanakah tangan diletakkan saat shalat? Diatas pusar atau dibawahnya? Maka beliau menjawab: Diatas pusar. Al-Baihaqi mengomentari: Atsar yang paling shahih pada bab ini adalah atsar dari Said bin Jubair ini. (Abu Bakar al-Baihaqi w. 458 H, as-Sunan al-Kubro, h. 2/ 47)

عَنْ طَاوُسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ

Dalil 38: Dari Thawus, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah SAW meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya kemudian mendekap erat di dada sedang beliau dalam keadaan shalat” (Sunan Abi Dawud, no. 759)

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ

Dalil 39: Dari Wa’il bin Hujrin, ia berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah SAW, dan beliau meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya di dada” (Shahih Ibnu Khuzaimah, no. 463)

Pelajaran 5

  1. Disunnahkan melakukan sedekap saat salat. Sedekap dilakukan dengan mendekapkan tangan kanan di atas tangan kiri (dalil 31 dan 32) setelah takbiratul ihram.
  2. Imam Hanafi berpendapat bahwa letak sedekap adalah di bawah pusar (dalil 33).
  3. Menurut ulama Syafi’iyah, letak sedekap adalah di atas perut tetapi di dada atau di bawah dada (dalil 34, 35, 36, 37, 38, dan 39). 
  4. Menurut ulama Malikiyyah, mensedekapkan tangan saat salat wajib hukumnya makruh, lebih baik tangan diluruskan ke bawah (di-irsal). Dalam madzhab ini, sedekap dianjurkan saat salat sunnah (Syeikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Shalat Empat Madzhab, hal. 223)

Sunnah Salat

Membaca Doa Iftitah

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كبَّر فِي الصَّلَاةِ؛ سَكَتَ هُنَيَّةً قَبْلَ أَنْ يَقْرَأ. فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَرَأَيْتَ سُكُوْتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ؛ مَا تَقُوْلُ؟قَال: ”أَقُولُ اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ

Dalil 40: “Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah: “Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan air dingin” (HR.Bukhari 2/182, Muslim 2/98)40

بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلّي مَعَ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ إذْ قَال رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا . فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءُ “. قَالَ ابْنُ عُمَر: فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقُوْل ذلِك

Dalil 41: “Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki yang berdoa iiftitah: “Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang”. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu langit‘. Ibnu Umar pun berkata: ’Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian (HR. Muslim)

اللَّهِ أَكْبَرُ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ

Dalil 42: “Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang Maha Pencipta langit dan bumi sebagai muslim yang ikhlas dan aku bukan termasuk orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan aku termasuk orang yang aku berserah diri. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau dan Maha Terpuji”. (HR. An Nasa-i)

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

Dalil 43: Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Engkau).” (HR. Muslim, no. 399; Abu Daud, no. 775;Tirmidzi, no. 242; Ibnu Majah, no. 804).

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا كَبَّرَ إِسْتَفْتَحَ ثُمَّ قَالَ: "وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَ مَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ إِنَّ صَلَاتِى وَ نُسُكِى وَ مَحْيَايَ وَ مَمَاتِى للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لَاشَرِيْكَ لَهُ وَ بِذَلِكَ أُمِرْتُ وَ أَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Dalil 44: Rasulullah jika bertakbir (untuk salat) beliau beristiftah lalu membaca: “wajjahtu…” (yang artinya) “Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang Maha Pencipta langit dan bumi sebagai muslim yang ikhlas dan aku bukan termasuk orang yang musyrik. Sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. tidak ada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu aku patuh kepada perintah-Nya, dan aku termasuk orang yang berserah diri (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan Abu Daud)

Pelajaran 6

  1. Doa iftitah (atau disebut juga istiftah) adalah pujian kepada Allah yang kita lakukan pada saat mengawali salat. 
  2. Doa iftitah menurut mayoritas ulama hukumnya adalah sunnah, dibaca baik pada salat fardu maupun sunnah.
  3. Ada sangat banyak redaksi bacaan doa iftitah atau istiftah (dalil 40, 41, 42, 43, dan 44).
  4. Ormas Muhammadiyah di Indonesia menggunakan redaksi yang dianggap paling sahih (dalil 40).
  5. Ormas Nahdatul Ulama menggunakan gabungan redaksi dua hadits (dalil 41 dan 44).
  6. Dengan adanya banyak redaksi doa dari hadits-hadits yang dapat diterima ini maka akan menjadi kemudahan bagi umat Islam dalam beribadah.

Rukun Salat

Membaca Surat Al-Fatihah dan Surat Lain

فَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ ٩٨

Dalil 45: “Apabila engkau hendak membaca Al-Qur’an, mohonlah pelindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.”  (QS. An-Nahl: 98)

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Dalil 46: “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Surat al-Fatihah.”  (Shahih Bukhari, Hadits Nomor 714).

مَنْ صَلَّى صَلَاةً، لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ، فَهِيَ خِدَاجٌ– ثَلاَثًا – غَيْرُ تَمَامٍ

Dalil 47: “Barangsiapa yang shalat lalu tidak membaca Ummul Qur’an, maka shalatnya kurang—beliau mengulanginya tiga kali—tidak sempurna.” (Shahih Muslim, Hadits Nomor 598).

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

Dalil 48: “Maka bacalah apa yang mudah dari (ayat-ayat) Al-Qur’an.” (QS. Al-Muzzamil: 20)

وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ٢٠٤

Dalil 49: Jika dibacakan Al-Qur’an, dengarkanlah (dengan saksama) dan diamlah agar kamu dirahmati (QS. Al-A’raf: 204)

مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الْإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ

Dalil 50: “Barangsiapa yang memiliki imam maka bacaan imam juga menjadi bacaannya” (HR. Ad-Daaruqutni, sanad lemah)

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِنَا فَيَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ - فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ - بِفَاتِحَةِ اَلْكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ وَيُسْمِعُنَا الآيَةَ أَحْيَانًا وَيُطَوِّلُ الرَّكْعَةَ الأُولَى وَيَقْرَأُ فِي الأُخْرَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ اَلْكِتَابِ

Dalil 51: “Dari Abi Qatadah radhiyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu shalat bersama kami, pada dua rakaat pertama dalam shalat Dhuhur dan Ashar beliau membaca al-Fatihah dan dua surat, dan kadangkala memperdengarkan kepada kami bacaan ayatnya. Beliau memperpanjang rakaat pertama dan hanya membaca al-fatihah dalam dua rakaat terakhir.” (HR. Abu Daud)

صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعْضَ الصَّلَوَاتِ الَّتِى يَجْهَرُ فِيْهَا بِا لْقِرَاءَةِ قَالَ: فَلْتَبَسَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَ قالَ: هَلْ تَقْرَءُوْن إِذَا جَهَرْتُ بِالْقِرَاءَةِ؟فَقَالَ بَعْضُنَا إِنَّا نَصْنَعُ ذَلِكَ قَالَ: فَلَا وَ أَنَا أَقُوْلُ: مَالِى يُنَازِعُنِى الْقُرْآنُ فَلَا تَقْرَءُوْا بِشَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ إِذَا جَهَرْتُ إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ

Dalil 52: dari Ubadah bin Shamit beliau berkata: “Rasulullah salat bersama kami pada beberapa salat dengan mengeraskan bacaan kemudian bacaan beliau tercampur (dengan bacaan makmum). Seusai salat, beliau menghadap kepada kami dan bertanya: ‘apakah kalian juga membaca jika aku mengeraskan suara bacaan?’ Sebagian dari kami menjawab: ‘iya, kami melakukannya’. Rasulullah bersabda: ‘maka janganlah kalian lakukan lagi. Tadi aku membatin, ‘kenapa ada yang menandingiku dalam membaca Al-Qur’an’? Maka janganlah kalian membaca Al-Qur’an juga saat aku mengeraskan bacaan, kecuali ummul Qur’an (Al-Fatihah) (HR. Abu Daud)

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوْا

Dalil 53: “Sesungguhnya dijadikannya imam itu adalah untuk diikuti. Apabila ia bertakbir maka takbirlah dan jika ia membaca (ayat Al-Qur’an) maka diamlah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

فِي كُلِّ صَلَاةٍ قِرَاَءةٌ فَمَا أَسْمَعَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْمَعْنَاكُمْ وَمَا أَخْفَى مِنَّا أَخْفَيْنَاهُ مِنْكُمْ وَمَنْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ فَقَدْ أَجْزَأَتْ عَنْهُ وَمَنْ زَادَ فَهُوَ أَفْضَلُ

Dalil 54: “dalam setiap raka’at ada bacaan (Al Fatihah). Bacaan yang diperdengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami, telah kami perdengarkan kepada kalian. Bacaan yang Rasulullah lirihkan telah kami contohkan kepada kalian untuk dilirihkan. Barangsiapa yang membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu mencukupinya. Barangsiapa yang menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR. Muslim 396)

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ)

Dalil 55: Dari Aisyah, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membuka shalatnya dengan takbir lalu membaca alhamdulillahi robbil ‘alamin.” (HR. Muslim no. 498)

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ )

Dalil 56: Dari Anas bin Malik: “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga bersama Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman, aku tidak pernah mendengar salah seorang dari mereka membaca ‘ bismillahir rahmanir rahiim’.” (HR. Muslim no. 399)

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ

Dalil 57: Dan sungguh Kami telah berikan kepadamu (Nabi Muhammad) tujuh ayat yang berulang-ulang dan Al-Qur’an yang agung. (QS al-Hijr: 87)

- صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرةَ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى بَلَغ وَلَا الضَّالِِّينَ فَقَالَ آمِيْن وَقَالَ النَّاسُ آمِيْن وَيَقُوْلُ كُلَّمَا سَجَدَ اَللهُ أَكْبَرُ وَإذَا قَامَ مِنَ الُجلُوْسِ فِي الِْاثْنَتَيْنِ قَالَ اللهُ أكْبَرُ وَيَقُوْلُ إِذَا سَلَّمَ : وَالّذِيْ نَفْسِي ِبيَدِِهِ إنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صلاةً بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ

Dalil 58: “Aku salat di belakang Abu Hurairah, maka beliau membaca “bismilla hirrahma nirrahim” lalu membaca Al-Fatihah sampai ayat “walad dhoolliin” dan berkata “aamin”. Dia juga mengucapkan “Allahu akbar” setiap kali hendak bersujud atau bangun dari duduk. Kemudian setelah salam ia berkata “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya, di antara kalian, aku adalah orang yang paling mirip salatnya dengan Rasulullah.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban, ditakhrijj oleh Ibnu Hajar Al-Atsqalani)

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْرَأُ : غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ فَقَالَ : آمِيْنَ مَدَّ بِهَا صَوْتَهُ

Dalil 59: “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca “ghairil maghdhubi ‘alaihim” lalu beliau mengucapkan : aamiin dengan memanjangkan suaranya” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dalil 60: “Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa yang ucapan âmînnya bersamaan dengan ucapan âmîn para malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim)

إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَالَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ. يُجِبْكُمُ اللَّهُ

Dalil 61: “Apabila kalian shalat maka luruskanlah shaf (barisan) kalian kemudian hendaknya salah seorang diantara kalian menjadi imam. Apabila imam bertakbir maka kalian bertakbir dan bila imam mengucapkan “ghairil maghdhubi alaihim waladh dhaalliin” maka ucapkanlah: âmîn, niscaya Allâh mengabulkannya” (HR. Muslim)

أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ فِى الْأُوْلَيَيْنِ بِأُمِّ الْكِتَابِ وَ سُوْرَتَيْنِ, وَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ الْأُخْرَيَيْنِ بِأُمِّ الْكِتَبِ وَ يُسْمِعُنَا الْآيَةَ, وَ يُطَوِّلُ فِى الرَّكْعَةِ الْأُوْلَى وَلَا يُطَوِّلُ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ وَ هكَذَا فِى الْعَصْرِ وَهكَذَا فِى الصُّبْحِ

Dalil 62: “Bahwasanya Nabi Saw. pada dua rakaat pertama salat zuhur membaca ummul kitab (Al-Fatihah) dan dua surat. Sedangkan pada dua rakaat terakhir hanya Ummul Kitab dan terkadang beliau membaca beberapa ayat. Beliau memanjangkan bacaan pada rakaat pertama lebih daripada rakaat kedua dan beliau melakukan seperti itu juga pada salat asar dan subuh (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud dari Abu Qatadah)

Pelajaran 7

  1. Membaca ta’awudz (dalil 45) disunnahkan pada rakaat pertama, baik salat fardu maupun sunnah, demikian pendapat Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm. Beliau mengutip sebuah hadits dari Abu Hurairah yang menjadi imam salat dengan mengeraskan suaranya (jahr) membaca ta’awudz; juga menyebutkan bahwa Ibnu ‘Umar biasa membaca ta’awudz. Redaksi yang disukai adalah a’udzu billahi minasy syaithonir rojim, tetapi redaksi lain juga dibolehkan. Lihat Kitab Al-Umm Bab Salat. 
  2. Namun, menurut sebagian ulama, membaca ta’awudz adalah wajib, dasarnya adalah keumuman perintah ayat tentang ta’awudz (dalil 45). Pandangan ini dianut oleh Imam An-Naqqasy dari Imam ‘Atha’, Imam Ibnu Sirin, dan An-Nakha’i.
  3. Sebagian besar ulama (Syafi’i, Malik, Ahmad) menganggap membaca surat Al-Fatihah sebagai syarat sah salat. Menurut ulama Syafi’iyah kita wajib membacanya pada setiap raka’at salat fardu dan sunnah (dalil 46 dan 47), baik saat menjadi imam ataupun ketika sendirian (dalil 52).
  4. Namun, menurut ulama Hanabilah dan Malikiyah, jika kita menjadi makmum pada salat sirr (Zuhur dan Asar) atau saat salat jahr (Subuh, Magrib dan Isya), membaca Al-Fatihah hukumnya sunnah, karena bacaan kita telah ditanggung oleh imam (dalil 49, 50, 51, 52, dan 53)
  5. Ulama Hanafiyah dan Sufyan Ats-Tsauri tidak mewajibkan membaca Al-Fatihah saat salat, hanya menganggapnya lebih afdal. Yang diwajibkan saat salat adalah membaca ayat Al-Qur’an, apa saja yang mudah bagi kita (dalil 48 dan dalil 10 [back to dalil 10]). Tidak membaca Al-Fatihah, salat tetap sah.
  6. Bagi ulama Hanafiyah, tidak baik (makruh) bagi makmum untuk membaca al-Fatihah di belakang imam (dalil 50).
  7. Saat salat, yang diwajibkan adalah membaca Al-Fatihah. Dengan mengecualikan pendapat Hanafiyah, membaca ayat Quran lain adalah sunnah. Jika ayat Quran lain tidak dibaca, itu sudah cukup, jika dibaca, itu bernilai afdal (dalil 54).
  8. Menurut ulama Malikiyah, membaca basmalah (dalam Al-Fatihah) hukumnya Makruh (dalil 55 dan 56). Jadi, langsung membaca “Alhamdulillahi rabbil alamin”, tanpa basmalah sama sekali.
  9. Berseberangan dengan Malikiyah, menurut ulama Syafi’iyah, membaca basmalah hukumnya wajib karena ia merupakan bagian dari Al-Fatihah (dalil 57 dan 58). Bacaannya harus dikeraskan seperti ayat Al-Fatihah lainnya.
  10. Di antara Malikiyah dan Syafi’iyah, ulama Hanabilah dan Hanafiyah menyatakan bahwa basmalah hendaknya dibaca pada setiap salat sirr atau jahr, tetapi dengan suara lirih (sirr).
  11. Disunnahkan imam membaca “aamiin” dengan suara agak keras dan panjang setelah membaca “waladhdoolliin” (dalil 59).
  12. Makmum mengikuti imam membaca “amiin”. Jika bertepatan dengan malaikat yang juga sedang membaca amin, maka dosa kita akan diampuni (dalil 60).
  13. Mungkin, imam tidak membaca “waladhdhoollin”, tetapi makmum tetap membaca “aamiin” (dalil 61).
  14. Setelah membaca Al-Fatihah, disunnahkan membaca ayat Qur’an lain (dalil 62). Ini pendapat yang disukai Imam Asy-Syafi’i. Menurutnya, ayat Qur’an mestinya dibaca perlahan-lahan (tartil, lihat QS. Al-Muzzammil ayat 4) dengan lisan, bukan dengan hati. Adapun menurut ulama Hanafiyah dan Tsufyan Ats-Tsauri, bacaan Al-Fatihah tidak wajib (lihat nomor 5 pelajaran 7 ini). Cukup membaca ayat Qur’an yang dirasa mudah, paling sedikit 3 ayat pendek atau 2 ayat sedang, atau 1 ayat panjang.

Sunnah Salat

Takbir Transisi (Intiqal)

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ يُكَبِّرُ فِى كُلِّ خَفْضٍ وَ رَفْعٍ وَ قِيَامٍ وَ قُعُوْدٍ

Dalil 63: “Saya melihat Rasulullah saw. bertakbir pada setiap kali turun dan bangkit, berdiri dan duduk”  (HR. Ahmad An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)

Pelajaran 8

  1. Dalam madzhab Syafi’i, takbir transisi (intiqal) adalah sunnah (dalil 63), namun para ulama Hanabilah mewajibkannya.

Bersambung

Join Komunitas Kelas Digital MisterArie