Home » Gerakan Zionisme Israel
Sebelum menguraikan sejarah gerakan zionisme Israel, penting bagi kita untuk memahami perbedaan antara “Israel”, “Yahudi”, dan latar belakang sejarah keduanya. Setelah itu, barulah kita dapat memahami siapa “zionis” dan apa itu gerakan zionisme Israel.
Israel adalah nama panggilan Nabi Ya’qub (QS. Maryam: 56-57, QS. Ali Imron: 93). Menurut Ibnu ‘Abbas, Nabi Saw. sendiri, tatkala berkumpul dengan orang-orang Yahudi, pernah bertanya kepada para Yahudi itu:
هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ إِسَرَائِيلَ يَعْقُوب ؟
“Apakah kalian mengetahui bahwa ‘Israil’ adalah Ya’qub?”
Mereka menjawab: “Iya, benar!”
Lalu, Nabi Muhammad berkata,
اللهُمَّ اشْهَدْ
“Ya Allah, saksikanlah!”
(HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad)
Siapakah Bani Israil?
Dengan demikian, panggilan “Bani Israil” yang berulang-ulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an (bahkan, menjadi salah satu nama surah Al-Qur’an, Surah ke-17) ditujukan kepada orang-orang yang secara nasab merupakan keturunan Nabi Ya’qub.
Maka, dalam kerangka tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa “Bani Israil” merupakan sebutan bagi orang-orang yang hidup di Kan’an, wilayah panjang antara laut tengah dan Sungai Yordan serta laut mati pada rentang zaman sangat panjang, sekitar 2000 tahun, mulai dari umat Nabi Musa sekitar 1200 s.M, umat Nabi Daud, sekitar 1000 s.M, umat Nabi Sulaiman sekitar 950 s.M, umat Nabi Isa, abad pertama Masehi, hingga umat Nabi Muhammad, pada abad ke-7 M. Al-Qur’an menyebut semua orang di sana, secara umum, dengan nama “Bani Israil”, artinya, secara genetik, “keturunan Israil.”
Namun, sebagian dari Bani Israil juga disebut “Yahudi”. Pada mulanya, mereka adalah bagian dari Bani Israil, hanya saja dalam perkembangannya, orang-orang non-Israil pun memeluk agama Yahudi sehingga kata “Yahudi” lebih berkonotasi “mereka yang memeluk jalan (millah) hidup agama Yahudi” ketimbang “mereka yang merupakan keturunan Nabi Ya’qub”. Untuk itu, agar lebih terang, perlu bagi kita untuk menyusuri sebentar sejarah Bani Israil pada zaman kuno.
Sekitar dua ratus tahun setelah Nabi Musa mengeluarkan Bani Israil dari Mesir, Bani Israil mengangkat seorang lelaki bernama Thalut menjadi raja Israil yang pertama. Selama hidupnya, Thalut berperang bersama Bani Israil untuk merebut tanah Kan’an dari pribumi.
Setelah wafat, Thalut digantikan oleh menantunya, Daud, seorang lelaki yang nasabnya sampai kepada Yahudza, putra Nabi Ya’qub. Daud berhasil menciptakan stabilitas di kerajaan Bani Israil. Dua belas suku Israil (yang bernasab kepada 12 putra Nabi Ya’qub) tunduk kepadanya, sehingga sampai kini, ia dipuja dan dipuji sebagai Raja Israil yang adil dan bijaksana.
Setelah Raja Daud wafat, putranya, Sulaiman, menggantikan. Seperti ayahnya, Nabi Sulaiman membawa kemakmuran bagi Bani Israil, bahkan lebih dari ayahnya. Allah melimpahkan kepadanya berbagai kemampuan, dan yang terhebat adalah ia mampu mengendalikan bangsa jin dan binatang.
Namun, setelah wafatnya Nabi Sulaiman, kerajaan orang-orang Israil ini terbelah menjadi dua. Di utara, sepuluh suku Israil menolak Rehabeam, putra Sulaiman, menjadi raja. Alih-alih, pada tahun 930 s.M, mereka pun mengangkat seorang jendral perang dari Suku Syakim, Jeroboam, sebagai raja mereka. Mereka menyebut kerajaannya “Kerajaan Isra’il” dan beribukota di Samaria.
Maka, sebagai lawannya, di selatan, tersisa konfederasi dua suku Israil: Suku Yahudza dan Suku Bunyamin yang dipimpin oleh Rehabeam tadi. Mereka menyebut kerajaannya “Kerajaan Yahuda”, kerajaan warisan Nabi Daud dan Sulaiman yang silsilahnya bernasab kepada Yahudza bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim. Orang-orang di kerajaan ini disebut dengan orang-orang Yahudza atau Yahudi dan tanah wilayahnya disebut Yudea. Jadi, dari sinilah penyebutan “orang Yahudi” berasal, dalam istilah Yunani, ioudaios, dalam Latin iudeus, dalam Prancis kuno juieu atau giu, dalam Jerman Jude, dalam Denmark Jode, dalam Inggris Jew, dan dalam Arab, Yahud.
Dalam perjalanan sejarah, pada akhir abad ke-8 s.M, kerajaan Isra’il di utara musnah dan punah digempur oleh Sanherib bin Sargon II, raja Asyiria, penduduknya dibuang untuk selama-lamanya, sehingga tersisa hanya kerajaan Yahuda.
Kemudian, pada akhir abad ke-6 s.M, Nebukadnezar, Raja Babilonia, juga menggempur Kerajaan Yahuda. Penduduknya dibuang ke Babilonia. Sebagian besar dari mereka “ter-Babilonkan”, tetapi sebagian masih setia kepada tanah airnya, bahkan kemudian mereka memformalkan tradisi Yudaisme (agama Yahudi): (1) Mereka menulis ulang Kitab Taurat, (2) menulis Talmud Babilonia sebagai sebuah tafsir yang dianggap lebih kontekstual, dan yang terpenting, (3) mereka mengembangkan faham messianisme, yakni sebuah faham yang meyakini bahwa seorang messiah, nabi akhir zaman, yang diharapkan berasal dari keturunan Daud, nenek moyang mereka, akan datang untuk menjadi penyelamat bani Israil.
Empat puluh delapan tahun setelah pembuangan itu, Persia menaklukkan Babilonia dan memulangkan orang-orang Yahudi. Namun, hanya 42 ribu Yahudi yang kembali, sebagian besar lebih memilih tinggal di Babilonia yang makmur.
Kitab Taurat yang ditulis-ulang tersebut menjadi kiblat hidup orang-orang Yahudi (yang taat) dan messianisme menjadi faktor terpenting yang membuat mereka mampu bertahan, bahkan, tercatat dalam sejarah, membuat mereka berani melakukan pemberontakan-pemberontakan untuk merebut kembali Yerussalem ke tangan orang-orang Yahudi.
Namun, pemberontakan Yahudi berakhir pada tahun 135 M. Kala itu, Kaisar Romawi, Hadrianus, mengirimkan jendral perangnya yang bengis, Sextus Julius Severus untuk membinasakan orang-orang Yahudi, membuat mereka kehilangan Bait Suci, kompleks Baitul Maqdis, untuk selamanya.
Dalam tragedi yang dikenal dengan “Perang Bar Kohba” itu, Romawi mencabut kekuatan politik dan militer Yahudi sampai ke akar-akarnya dan meruntuhkan kuil yang menjadi pusat keagamaan mereka. Tak ada lagi yang terisa kecuali sebuah tembok “ratapan”. Kota itu tak lagi disebut Yudea yang menjadi simbol monoteisme pada zaman kuno; kota itu diganti menjadi “Aelia Capitolina” dan sebuah patung berhala dibangun di atasnya sebagai simbol paganisme. Pemandangan ini masih berlangsung sampai lima ratus tahun selanjutnya ketika Rasulullah melakukan Isra’-Mi’raj.
Setelah perang terakhir Yahudi tersebut, orang-orang Yahudi hidup terlunta-lunta (diaspora) di berbagai wilayah bumi. Sebagian dari mereka diperbudak di Yerusssalem, sebagian pergi ke Rusia, Jerman, Perancis, dan Inggris, tetapi sebagian juga turun ke selatan, memasuki gurun Arabia, Khaibar dan Yatsrib, untuk menanti kedatangan messias, sang nabi terakhir.
Namun, pada kenyataannya, sekitar seribu seratus tahun kemudian, messiah yang muncul adalah seorang nabi dari bangsa Arab, Nabi Muhammad Saw., bukan dari keturunan raja Daud. Orang-orang Yahudi yang mewarisi kitab Taurat dan faham messianisme tadi kecewa. Pupus harapan mereka untuk mendirikan kembali Kerajaan Daud. Alih-alih, tumbuhlah kebencian orang-orang Yahudi kepada Nabi Muhammad secara khusus, dan kepada Islam secara umum.
Baca juga: Bangsa Yahudi dan Piagam Madinah atau Pengusiran Yahudi Bani Qainuqa (untuk menyaksikan konflik akibat kebencian Yahudi kepada Islam pada masa Nabi Muhammad)
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, orang-orang Yahudi pun “terpaksa” hidup di bawah kekuasaan Islam. Pada mulanya, sebelum kedatangan nabi saw., mereka menguasai perdagangan ekspor-impor di Arab. Mereka mengimpor biji-bijian, khamar (minuman memabukkan) dan kain dari luar Madinah dan mengekspor kurma untuk dijual ke luar Arab.
Selain itu, orang-orang Yahudi juga mengambil banyak keuntungan dari transaksi riba (interest). Mereka meminjamkan uang kepada orang-orang Arab dengan bunga yang cukup besar dan tentu saja meminta jaminan seperti tanah, kebun, perhiasan, atau rumah. Tak hanya di Arab, Yahudi di mana pun adalah saudagar yang pandai berbisnis. Kebanyakan mereka kaya raya.
Akan tetapi, pada masa hidup nabi saw., mereka melakukan berbagai intrik, provokasi, pelecehan, bahkan pengkhianatan terhadap otoritas politik Islam, mungkin kecewa karena messias yang diharapkan adalah seorang Arab.
Ungkapan kekecewaan dan kedengkian orang-orang Yahudi berbalik menimpa diri mereka sendiri. Yahudi Bani Qainuqa melecehkan seorang wanita muslimah Madinah, akibatnya, mereka diusir; Yahudi Bani Nadhir mencoba membunuh nabi saw., mereka pun mengalami nasib yang sama; Yahudi Bani Quraizhah berkomplot dengan Suku Quraisy dan Ghathafan dalam Perang Khandaq yang berpotensi meruntuhkan Madinah: mereka dihukum mati.
Kemudian, pada periode pasca-Nabi saw., Islam memegang kendali politik dunia selama seribu tahun. Di bawah pemerintahan Umar bin Khathab (Khalifah atau pengganti nabi yang kedua), Yerussalem dan seluruh wilayah Syam, yang kini meliputi Palestina, Yordan, Suriah, dan Libanon, jatuh ke tangan umat Islam sehingga, secara secara de facto dan de jure, menjadi tanah milik umat Islam. Menurut sejarah yang tercatat, pada tahun 637 atau 638 M, Khalifah Umar mendatangi Yerussalem langsung untuk menerima “kunci” Yerussalem dari Uskup Sofronius.
Dalam pemerintahan Islam selanjutnya, baik yang berpusat di Madinah, Damaskus, Baghdad maupun di Andalusia (di semenanjung Iberia, spanyol), orang-orang Yahudi hidup dengan kebebasan menjalankan agama dan aktivitas intelektualnya. Non-muslim yang hidup di dalam negara Islam disebut nabi sebagai “Ahlu Dzimmah“, “orang yang harus dilindungi” sehingga kata Nabi, “Siapa yang menyakiti seorang ahlu dzimmah maka dia telah menyakitiku“.
Namun, kedamaian bagi Yahudi berakhir ketika terjadi Perang Salib. Tentara salib masuk ke Yerussalem pada abad ke-11 Masehi dan melakukan genosida. Edward Gibbon menyatakan bahwa pada perang ini 70 ribu orang mati dalam dua hari, tak terkecuali Yahudi.
“Warga Yahudi kota ini mengungsi ke Sinagoga utama mereka yang besar, tetapi ketika mereka berada di sana berdoa untuk keselamatan, tentara salib memblokade semua pintu dan jendela lalu membakar bangunan itu, menghanguskan hampir seluruh komunitas Yahudi Yerussalem dalam sekali sambar” (Tamim Ansari, Dari Puncak Bagdad)
Pertanyaannya, mengapa orang-orang Yahudi juga menjadi sasaran tentara salib? Jika kita pahami baik-baik, permusuhan Kristen dan tentara salib terhadap Yahudi sebetulnya bersifat alami secara doktrinal. Selama ini, Yahudi menganggap Yesus sebagai nabi palsu (seperti yang terjadi terhadap Nabi Muhammad karena messias diharapkan berasal dari keturunan Daud) sementara Kristen pun menganggap Yahudi sebagai pembunuh Yesus (pembunuh Tuhan mereka).
Sejak masa diaspora, orang-orang Yahudi telah menyebar ke berbagai wilayah. Sebagian turun ke Arabia, sebagian ke utara, persisnya, melintasi pegunungan Kaukakus dan bermukim di sebelah utara Laut Kaspia.
Laut Kaspia disebut juga dengan Laut Khazar karena di sana hidup orang-orang Khazar. Asal-usul mereka tidak pasti, tetapi pada umumnya sejarahwan mengatakan bahwa mereka merupakan suku-suku Turki-pagan dari Asia tengah. Sejak abad pertama era Masehi mereka menduduki tanah tersebut dan mendirikan Kerajaan Khazar.
Sebagian Yahudi bermigrasi ke Kerajaan Khazar. Mereka berasimilasi dengan sekutu Romawi Timur ini, melakukan kawin-campur dengan pribumi dan selama ratusan tahun menyiarkan Yudaisme (agama Yahudi).
Penyiaran Yudaisme memang tidak seintensif Kristen dan Islam, tapi banyak komunitas yang tertarik pada agama yang berpusat pada Taurat ini. Sebagian Arab Yaman memeluk Yahudi; orang-orang Funisia-Afrika Utara sebagian Yahudi, dan demikian pula orang-orang Khazar.
Raja Khazar memeluk agama Yahudi pada pertengahan abad ke-10 M (pada masa Dinasti Bani Abbas) sehinggga rakyatnya pun secara berbondong-bondong menjadi Yahudi, orang-orang Yahudi diaspora pun berdatangan ke negeri Yahudi ini. Pada kelanjutannya, banyak Yahudi yang mengalami pemaksaan agama di Yunani, atau penganiayaan pada Perang Salib, pindah ke kerajaan Yahudi ini.
Menurut Arthur Koestler, raja Khazar memeluk Yahudi bukan tanpa alasan,
“Ada faktor-faktor politik yang mendorongnya untuk memeluk agama Yahudi. Ia yakin, bahwa dengan memeluk agama Islam, secara spiritual, ia terpaksa harus tunduk pada kekuasaan para Khalifah Islam, yang berupaya memaksakan akidah mereka ditetapkan di Khazar. Dan jika ia memeluk agama Nasrani, ia terancam tunduk pada kekuasaan Gereja Imperium Roma. Pada saat yang sama, ia melihat bahwa akidah Yahudi adalah akidah yang terhormat dan memiliki kitab suci yang diakui oleh setiap muslim dan Kristiani. Faktor-faktor inilah yang mendorongnya memeluk agama Yahudi.”
Namun, kemudian, setelah 150 tahun, Rusia menaklukkan Khazar sehingga para Yahudi-Khazar pun menyebar ke Rusia dan ke Eropa Timur. Jumlah orang-orang Khazar yang ter-Yahudikan sangat banyak, tak lagi terbedakan seorang Yahudi dari ras Ibraninya.
Sekarang, sampailah kita pada contoh sejarah mengenai definisi Yahudi yang telah dikemukakan sebelumnya. Dari kasus Yahudi Khazar di atas dapat disimpulkan bahwa Yahudi bukanlah suatu ras atau suatu bangsa; Yahudi adalah Yudaisme, suatu tradisi keagamaan berbasis Kitab Taurat (yang ditulis-ulang di Babilonia) yang dikembangkan pasca jatuhnya Kerajaan Yahuda yang meyakini bahwa seorang messiah akan merestorasi Kerajaan Daud dan mengembalikan kejayaan di tanah Israil.
Karena Yahudi bukan ras, sebagaimana pengertian “Israil”, karena ia adalah sebuah agama, maka dari itu mudah kita pahami mengapa suku-suku Turki yang disebut Bani Khazar tersebut memeluk Yahudi; sebagian orang Arab di selatan menjadi Yahudi; sebagian Rusia, Perancis, Jerman, Inggris, menjadi Yahudi. Pada kenyataannya, Yudaisme tidak eksklusif bagi orang-orang Ibrani.
Kini, setelah nyata bahwa messiah yang ditunggu adalah serang Arab dan terbukti telah mendirikan Kerajaan Allah di muka bumi yang terbentang dari Samudra Atlantik di Spanyol dan Samudra Pasifik di China, agaknya gagasan messianistik Yahudi itu mengabaikan caranya (harus melalui seorang messiah) dan berfokus pada tujuannya, yaitu merestorasi Kerajaan Daud, dan secara spesifik, di tanah Kan’an, di Yudea, di Palestina.
Seperti kita ketahui sekarang, gagasan Yahudi ini akan diwujudkan di kemudian hari. Tapi sebelum itu, orang-orang Yahudi harus menghadapi realita bahwa dunia memusuhi mereka. Setelah Kerajaan Khazar runtuh sehingga tak ada lagi tempat bagi mereka untuk berlindung.