Imam Syafi'i Tokoh Pembangun Fiqih Islam

imam syafii

Daftar Isi

Madzhab Syafi'i

Dalam kehidupan beragama sehari-hari, mayoritas masyarakat muslim di Indonesia mengikuti madzhab Syafi’i. Selain itu, madzhab ini juga diikuti oleh Penduduk Mesir Selatan, Arab Saudi bagian Barat, Palestina, Suriah, Kurdistan, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Pantai Koromandel, Ceylon, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.

Jumlah pengikut fiqih madzhab Syafi’i sangat banyak, lebih tepatnya yang kedua terbanyak setelah madzhab Hanafi. Jika umat Islam di dunia saat ini berjumlah dua miliar (200 juta di antaranya adalah Syi’ah dan 1.8 miliar adalah Sunni), maka, dalam jumlah yang besar itu, 2,8 persennya (dari jumlah 1.8 miliar kelompok Sunni), yaitu sekitar 500 juta orang, adalah pengikut madzhab Syafii’i.

Pertanyaan yang pastinya mengusik rasa ingin tahu kita adalah, Siapa itu Syafi’i? Bagaimanakah madzhab Syafi’i? Mengapakah madzhab ini diikuti oleh sangat banyak kaum muslim? Ketiga pertanyaan ini akan menjadi fokus pengkajian kita.

Silsilah

Lahir di Gaza (غَزَّة), pada tahun 767 M (135 H), ia diberi-nama “Muhammad” saat lahir. Ayahnya bernama Idris sehingga ia disebut Muhammad bin Idris. Adapun “Asy-Syafi’i” merupakan nama kakeknya yang ketiga. Kita bisa menemukan nama ini jika kita perhatikan silsilah beliau, yaitu “Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid, bin Hasyim (seangkatan dengan ‘Abdul Muthallib) bin ِAl-Muthallib (seangkatan dengan Hasyim, pendiri Bani Hasyim) bin  Abdu Manaf bin Qushay.

Imam Syafi’i dan Nabi Muhammad Saw sama-sama keturunan Abdu Manaf putra Qushay dan Syafi’, kakek ketiga Imam Syafi’i, hidup sezaman dan merupakan sahabat Nabi Muhammad Saw. Jarak antara Imam Syafi’i dan Rasulullah hanya terpisah dua atau tiga generasi, seperti antara kakek dan cucu atau cicitnya. 

Namun, ibunda beliau, Fatimah, memiliki nasab yang tersambung langsung kepada Fatimah putri nabi saw. Silsilahnya adalah, Fatimah binti Abdullah bin Hasan bin Husein (cucu nabi) bin Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah putri Rasulullah saw.

Kecintaan pada Sastra

Pada mulanya, ayah dan ibunda Imam Syafi’i pindah ke Gaza dari Makkah. Tetapi di negeri yang termasuk wilayah Syam itu ayah beliau meninggal dunia, persisnya saat Asy-Syafi’i masih dalam kandungan sehingga situasi ekonomi keluarganya menjadi sulit. Akhirnya, ibundanya membawa Asy-Syafi’i kembali ke Makkah, kampung halamannya. 

Di Makkah, Asy-Syafi’i belajar Al-Qur’an kepada seorang guru, Isma’il bin Qusthanthin, dan ia berhasil menghafal Al-Qur’an pada usia 9 tahun. Namun, selain itu, Al-Qur’an, beliau juga mencintai sastra.

Asy-Syafi’i pada masa remajanya kerap mengunjungi kabilah-kabilah badui di padang pasir untuk mempelajari sya’ir dari Imru-ul-Qais, Zuhair, atau Jarir. Ia sangat mencintai sastra Arab sehingga, ditambah dengan kecerdasannya, ia menghafal setiap bait sya’ir-sya’ir kuno. Tak heran, di kemudian hari, beliau meninggalkan kita banyak kalimat hikmah sarat-sastra yang dihimpun menjadi Diwan Asy-Syafi’i

Pada suatu hari, Asy-Syafi’i kecil itu berdendang dan bernyanyi mendengungkan sebuah sya’ir. Lalu tak sengaja terdengar hafalannya yang luar biasa itu oleh seorang lelaki. Lalu lelaki itu menegur Asy-Syafi’i: “Ah, pemuda seperti kamu menghabiskan masa muda dengan berdendang dan bernyanyi saja! Lebih baik masa mudamu ini dipakai untuk mempelajari hadits dan fiqih!”

Mempelajari Hadits & Fiqih

Konon, sejak peristiwa itu, Asy-Syafi’i mulai menghafal dan mempelajari hadits serta fiqih dari para ulama besar yang banyak tinggal di Makkah kala itu. Beliau berguru kepada Imam Malik dan menghafal kitab Al-Muwathanya pada usia 10 tahun.

Selain itu, Asy-Syafi’i juga mendatangi mufti Makkah, Muslim bin Khalid Az-Zanji dan ulama Hadits, Sufyan bin ‘Uyaynah untuk mempelajari fiqih dan hadits. Ada sebuah cerita yang diceritakan oleh Asy-Syafi’i sendiri tatkala bertemu dengan Khalid Az-Zanji, katanya:

“Saya pada mulanya mempelajari ilmu nahwu dan adab (sastra), kemudian setelah saya datang kepada Muslim bin Khalid, beliau bertanya, 
“Hai, Muhammad, kamu dari mana?”
“Dari kampung Khaif”, jawabnya.
“Dari Kabilah apa?” tanya Muslim bin Khalid.
“Dari Kabilah Abdu Manaf”, jawab Asy-Syafi’i.
“Bakhin, bakhin (senang, senang sekali)! Tuhan telah memuliakan kamu dunia dan akhirat. Alangkah baiknya kalau kecerdasan kamu itu ditumpahkan pada ilmu fiqih, inilah yang baik bagimu!”
Ucapan Imam Muslim bin Khalid inilah sebab yang menggerakkan hati saya untuk mempelajari ilmu fiqih sedalam-dalamnya, kata Asy-Syafi’i
.”

Kemudian, pada usia 20 tahun (walaupun ada yang mengatakan usia 13, 14, atau 22), Asy-Syafi’i pindah ke Madinah. 

Fiqih Imam Syafi'i

Imam Syafi’i memiliki metode fiqih yang dikenal sistematis dan menjadi salah satu yang paling berpengaruh dalam hukum Islam. Berikut adalah penjelasan mengenai metode fiqihnya:

1. Prinsip Dasar dalam Metode Fiqih

Imam Syafi’i menggunakan urutan sumber hukum Islam sebagai berikut:

  • Al-Qur’an
    Merupakan sumber utama hukum Islam. Ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan sesuai dengan konteks bahasa dan sastra Arab.

  • Hadis Nabi
    Imam Syafi’i menempatkan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Ia sangat menekankan pentingnya keabsahan sanad hadis dan memperkenalkan metode ilmu hadis yang ketat.

  • Ijma’ (Konsensus Ulama)
    Beliau menerima ijma’ sebagai landasan hukum, terutama jika konsensus tersebut berasal dari sahabat Nabi.

  • Qiyas (Analogis)
    Jika tidak ditemukan hukum dalam Al-Qur’an, hadis, atau ijma’, beliau menggunakan qiyas, yaitu analogi logis berdasarkan prinsip yang ada dalam sumber utama.

2. Kaidah dalam Penggunaan Sumber Hukum

  • Tidak Menyalahi Nash
    Imam Syafi’i selalu memastikan bahwa ijma’ dan qiyas tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis.

  • Konteks Bahasa
    Beliau sangat mengutamakan pemahaman bahasa Arab yang mendalam dalam menafsirkan Al-Qur’an dan hadis.

  • Penolakan terhadap Istihsan
    Imam Syafi’i menolak penggunaan istihsan (preferensi pribadi) karena dianggap tidak memiliki landasan yang kuat dari sumber utama.

3. Pendekatan Khusus Imam Syafi’i

  • Kitab “Al-Risalah”
    Imam Syafi’i menyusun kitab Al-Risalah, yang menjadi landasan dalam ilmu ushul fiqih. Kitab ini mengatur cara memahami dan menerapkan hukum Islam secara sistematis.

  • Keselarasan antara Rasional dan Tekstual
    Beliau menekankan keseimbangan antara teks (nash) dan logika dalam menetapkan hukum.

Persebaran Fiqih

Mazhab Syafi’i berkembang luas di berbagai wilayah dunia Islam dan menjadi salah satu mazhab yang paling banyak diikuti. Berikut adalah persebarannya:

1. Jazirah Arab

  • Di Yaman, mazhab Syafi’i masih menjadi mazhab dominan, karena dakwah para ulama Syafi’i di wilayah ini.

2. Afrika Timur

  • Negara seperti Somalia, Eritrea, dan Ethiopia memiliki komunitas Muslim yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i.

3. Asia Tenggara

  • Di Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand Selatan, dan sebagian Filipina, mazhab Syafi’i menjadi mazhab utama. Ini disebabkan oleh dakwah para ulama dari Hadramaut (Yaman) yang membawa ajaran Syafi’i ke wilayah ini.

4. Mesir dan Levant (Syam)

  • Mesir menjadi pusat perkembangan mazhab Syafi’i setelah Imam Syafi’i sendiri tinggal di sana. Hingga kini, Universitas Al-Azhar, salah satu pusat pendidikan Islam terbesar, mengajarkan mazhab Syafi’i.

5. Asia Selatan

  • Di sebagian India dan Sri Lanka, mazhab Syafi’i diikuti oleh komunitas Muslim, terutama di wilayah pesisir seperti Kerala.

6. Pengaruh Melalui Pendidikan

  • Lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren di Indonesia, pondok-pondok di Malaysia, dan madrasah di berbagai wilayah dunia memainkan peran besar dalam menyebarkan ajaran mazhab Syafi’i.

Faktor Keberhasilan Persebaran Mazhab Syafi’i

  1. Kesederhanaan dan Rasionalitas
    Metode fiqih Imam Syafi’i dianggap mudah dipahami dan relevan dengan berbagai kondisi sosial.

  2. Peran Ulama dan Dakwah
    Para ulama Syafi’i yang berdakwah di berbagai wilayah mempromosikan ajaran ini dengan pendekatan persuasif.

  3. Adaptasi dengan Budaya Lokal
    Mazhab Syafi’i dikenal fleksibel dalam mengakomodasi adat setempat selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top