Sejarah Tradisi Tahlilan Dilengkapi Bacaan Yasin Tahlil dan Doa

Animisme Penduduk Awal

Sebelum Islam masuk ke Indonesia dan menjadi agama mayoritas seperti sekarang, penduduk Indonesia menganut animisme, mirip dengan agama orang-orang China yang memuja arwah leluhur mereka.

Lalu, tatkala para pendakwah muslim datang dari tanah Arab, mereka berbaur dengan penduduk pribumi sembari berdagang, kemudian menikah dan memiliki keturunan di sini. Mereka membawa misi agar Islam dapat diterima oleh penduduk Indonesia (yang pada waktu itu belum bernama “Indonesia”).

Islamisasi Sisa Budaya Slametan

Di antara metode dakwah yang digunakan oleh para pendakwah awal di Indonesia adalah dengan cara mengislamisasikan budaya yang telah ada, di antaranya adalah budaya Slametan.

Budaya Slametan, menurut Clifford Geertz, seorang peneliti Amerika yang menulis The Religion of Java, adalah tradisi pribumi Indonesia pada masa lalu di mana orang-orang berkumpul pada peristiwa kelahiran, pernikahan, dan kematian (momen-momen transisi kehidupan seorang manusia) untuk memohon keselamatan agar tidak diganggu oleh arwah jahat. Pada saat berkumpul, mereka meletakkan sesajen dan kemenyan.

Lalu, setelah Islam datang dan penduduk lokal satu per-satu memeluk agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini, barulah para pendakwah “membelokkan” tradisi slametan tersebut ke jalan yang benar.

Para pendakwah awal tersebut mempertahankan tradisi berkumpul pada momen-momen transisi yang sakral (kelahiran, pernikahan, dan kematian) kemudian mengisi kegiatannya dengan pembacaan Al-Qur’an, yaitu Surat Yasin, dan diikuti dengan rangkaian dzikir (yang dapat disebut Ratib (susunan), dan kini disebut tahlil), lalu diakhiri dengan pembacaan doa, khususnya untuk para arwah keluarga dan orang-orang mukmin yang telah meninggal dunia. Tradisi ini di kemudian hari hingga sekarang disebut dengan Tahlilan.

Baca juga: Bacaan Ratib Al-Attas

Perbedaan Pendapat Soal Praktik Tahlilan

Penyebaran Wahabisme / Salafisme

Pada tahun 1924-1925, Raja Ibnu Sa’ud mendirikan kerajaannya di Arab yang meliputi Makkah dan Madinah. Dengan pedang di tangan kanannya dan ide reformasi serta pemurnian Islam Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahabisme) di tangan kirinya, ia memberantas praktik-praktik pemujaan berlebihan di makam-makam wali dan di tempat-tempat suci, tidak sedikit para ulama tradisional yang mati dibunuh.

Selain itu, para ulama Wahabi (yang kini lebih nyaman disebut Salafi) pun disebar ke “seluruh dunia” dan ide-ide mereka disebarkan melalui para jama’ah haji yang berkunjung setiap tahun.

Panitia Hijaz dan Berdirinya NU

Dalam situasi “menegangkan” tersebut (karena konflik kerap terjadi akibat perbedaan madzhab) maka para ulama tradisional di Indonesia yang mengembangkan budaya tahlilan yang relatif tidak mencerminkan “Islam murni” sepakat untuk mengirim utusannya ke Hijaz untuk bertemu dengan Raja Ibnu Sa’ud. 

Setelah ditetapkan nama “Jam’iyyah Nahdhotul Ulama” (karena untuk mengirim utusan dibutuhkan sebuah organisasi formal) pada tahun 1926, KH. Abdul Wahab Chasbullah dan Syaikh Ghanaim, berangkat menemui Raja Ibnu Sa’ud dan menyampaikan lima permohonan:

1. Memohon diberikan kemerdekaan bermadzhab (dalam madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi) di Hijaz, untuk tujuan mempererat persaudaraan.
2. Memohon agar tempat-tempat bersejarah yang terkenal (seperti tempat kelahiran Fatimah putri Nabi Muhammad) tetap diramaikan bagi umat, sebab tempat tersebut telah diwaqafkan untuk masjid.
3. Memohon agar kerajaan Saudi setiap tahun menginformasikan ke seluruh muslim di dunia mengenai biaya haji agar kaum muslimin dapat melakukan persiapan yang cukup.
4. Memohon agar semua hukum yang berlaku di Hijaz ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut. 
5. Jam’iyah Nahdlatul Ulama  memohon  balasan surat  dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan  surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat  balasan tersebut  diserahkan kepada  kedua delegasi tersebut.

Baca juga: Surat Balasan Kerajaan Arab Saudi Kepada NU

Lalu, setelah Raja Ibnu Sa’ud membalas dengan baik permohonan dari Panitia Hijaz, maka Islam tradisional di Indonesia dapat dengan lebih tenang menjalankan aktivitasnya, baik di dalam negeri ataupun untuk berziarah ke tempat-tempat suci di Arab.

Organisasi yang dibentuk dalam situasi darurat tadi pun dipertahankan dan resmi menjadi wadah bagi kaum muslimin tradisional hingga saat ini yang dikenal sebagai Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama). 

Benturan Antara Muslim Tradisional dan Muslim Murni

Namun demikian, tujuan silaturahim panitia Hijaz adalah untuk menyambung persaudaraan dan memohon keamanan saat di tanah suci kepada Raja Saudi. Di sisi lain, dakwah para ulama Salafi-Wahabi tetap dilakukan secara gencar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.

Para ulama yang kembali dari tanah suci membawa ajaran-ajaran Islam murni, yaitu Islam yang praktik-praktik ibadahnya didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits nabi semata, tidak tercampur oleh tradisi. Oleh karena itu, mereka merasa bahwa praktik ibadah kaum muslim tradisional telah melanggar batas-batas kemurnian Islam.

Pendapat Yang Melarang Tahlilan

Menurut saudara-saudara yang berhaluan Salafi dari Arab tersebut, tradisi tahlilan merupakan bid’ah atau praktik baru yang tidak pernah ada pada masa nabi dan oleh karena itu hukum pelaksanaannya adalah haram. 

Selain itu, larangan tahlilan juga didasarkan pada asumsi bahwa tradisi tahlilan mengkhususkan pembacaan Surat Yasin dan bukan surat Al-Qur’an yang lain, bahkan kesan yang timbul adalah “harus Surat Yasin”. Hal ini pada kelanjutannya menimbulkan kesan bahwa praktik tahlilan seperti sebuah ibadah yang baru. 

Pendapat Yang Membolehkan Tahlilan

Namun, bagi para muslim tradisional, tahlilan adalah budaya yang telah diislamisasikan, seperti telah dikemukakan di awal. Tidak ada yang salah dengan budaya itu. Hal ini mirip dengan kebudayaan sehari-hari yang kerap diislamisasikan, misalnya sebelum pelajaran olahraga dilakukan berdoa bersama, atau kita menjual kaos yang isinya ajakan untuk shalat dan sebagainya.

Bagi muslim tradisional, budaya yang diislamisasikan hukumnya halal, termasuk praktik tahlilan. Pertama, karena yang dibaca adalah surat Yasin, salah satu surat Al-Qur’an; kedua, karena setelah Yasin, dibacakan pula rangkaian dzikir, dan terakhir dibacakan do’a. Baik membaca Al-Qur’an, berdzikir, dan membaca do’a semuanya adalah ajaran Islam.

Jalan Tengah tentang Praktik Tahlilan

Sebagai jalan tengah perlu untuk kita kemukakan pemikiran berikut ini:

1. Sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat, maka hukum tahlilan mestinya adalah halal sebagaimana praktik-praktik budaya yang lain.
2. Haram untuk mewajibkan atau menganggap tahlilan hukumnya wajib karena upaya pewajiban tersebut dapat mencederai status tahlilan sebagai bagian dari kebudayaan.
3. Pembacaan surat Yasin boleh dilakukan saat tahlilan mengingat adanya sebuah hadits yang berbunyi “bacalah Surat Yasin untuk orang-orang yang meninggal dari kalian” (HR. Ahmad, dalam kitab Mukhtarul Ahadits susunan Syeikh Al-Hasyimi). Namun, jika ingin membaca surat Al-Qur’an yang lain dipersilakan.
4. Membaca dzikir, seperti tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil diperbolehkan. Tidak ada kewajiban untuk menetapkan susunan dzikir tertentu (“dzikirnya atau doanya harus membaca ini atau itu, misalnya) hal ini ditujukan agar tidak mencederai status tahlilan sebagai kebudayaan masyarakat.
5. Jika terdapat praktik atau bacaan pada tahlil yang kiranya bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam, hendaknya didiskusikan dengan cara yang baik, sebagaimana pesan Allah dalam surat An-Nahl ayat 125.
6. Pahala membaca Al-Qur’an, berdzikir, dan berdoa untuk orang yang sudah  meninggal saat tahlilan mestinya seperti pahala dalam ibadah-ibadah tersebut sesuai dengan niat masing-masing, Allah Maha Mengetahui.

Tahlilan bukanlah ibadah baru, ia adalah budaya lokal yang telah diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Metode dakwah dengan cara inilah yang dahulu kala telah berhasil membawa Islam ke tanah Indonesia hingga menjadi agama mayoritas seperti sekarang. Pada prinsipnya, janganlah kita sesama muslim bertengkar. Marilah kita mencari jalan tengah dengan hikmah, dengan nasihat yang baik, dan berdiskusi dengan cara yang baik (QS. An-Nahl: 125). 

Hikmah dari Adanya Perbedaan Pendapat Soal Tahlil

Namun demikian, kehadiran Islam Salafi-Wahabi dari Arab Saudi yang bersifat ketat dan murni penting sekali sebagai kontrol (check and balance) terhadap praktik umat Islam tradisional agar tidak keluar dari batas-batas yang dibolehkan.

Sebagai anggota (non-formal atau formal) kultural dari komunitas Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, atau Salafi kita pasti memiliki pakem-pakem pemikiran dan praktik ibadah, misalnya NU itu pasti pro-tahlil, Salafi pasti kontra-tahlil, dan sebagainya. Jika demikian, maka sudah tidak ada lagi kebenaran melainkan hanya yang menjadi ciri khas komunitas kita.

Gunakanlah akal fikiran kita untuk menjadi lebih bijaksana dalam melihat, boleh jadi ada kebenaran pada madzhab atau komunitas di luar kita. Mencari jalan tengah tidak berarti kita exit dari “keanggotaan” NU, Muhammadiyah atau Salafi kita. Di atas keinginan kita untuk tetap berada dalam identitas kita, ada identitas lain yang menyatukan kita semua, yang disebutkan dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara” (QS. Al-Hujurot: 10).

Lalu, bagaimanakah bacaan Surat Yasin, Tahlil, dan Do’anya? Apakah kalian ingin mencoba membacanya?