Home » Kekeliruan Argumen Pluralisme Agama
Menurut filsafat Barat, agama adalah musuh demokrasi sebab agama menuntut kepercayaan bahwa hanya ada satu kebenaran, yang lain salah. Sementara demokrasi mesti menjaga suatu negara yang tersusun dari suku dan agama yang berbeda-beda sehingga filsafat “kebenaran itu banyak” dianggap sebagai filsafat yang ideal. Oleh karena itu, di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, filsafat atau faham pluralisme dianggap sebagai nilai utama dalam bernegara karena dianggap dapat mendukung stabilitas keberbedaan suku, budaya, dan agama. Fenomena ini terjadi di mayoritas negara, termasuk Indonesia.
Sebagaimana dikatakan seorang teolog Kristen Liberal, Ernst Troeltsch (1865-1923), pluralisme itu sendiri merupakan sebuah keyakinan bahwa semua agama selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak, sehingga konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak hanya satu. Artinya, semua agama itu benar.
Dalam suatu ceramah, Soekarno pernah menggambarkan agama-agama dengan kisah “tiga orang buta memegang gajah.” Orang buta pertama mengatakan gajah itu panjang, karena ia meraba belalainya; orang buta kedua mengatakan gajah itu tipis dan lebar, karena ia memegang telinganya; orang buta ketiga mengatakan gajah itu kecil, karena ia menggenggam ekornya. Menurut Seokarno, seperti ketiga orang buta tersebut sama-sama menggambarkan gajah dari sudut pandang mereka masing-masing, demikianlah setiap penganut agama menggambarkan kebenaran dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Faham pluralisme di atas sebetulnya sangat berbahaya bagi kelestarian agama. Analogi “tiga orang buta meraba” gajah di atas terlalu menyederhanakan persoalan. Sebagai contoh, marilah kita lihat bagaimana agama Yahudi, Kristen, dan Islam berpendapat tentang Yesus.
Menurut Kristen, Yesus adalah Tuhan, ia adalah anak Allah. Pandangan Kristen ini dibantah Islam: Yesus itu manusia biasa, ia seorang nabi. Keyakinan bahwa Yesus itu anak Tuhan dalam Islam dianggap sebagai dosa tak terampuni. Lalu, Bagi Yahudi, Yesus bukan nabi, apalagi Tuhan, ia hanyalah Yahudi pengkhianat.
Dari contoh di atas, kita dapat melihat secara jelas bahwa perbedaan antara Islam, Kristen, dan Yahudi tidak dapat dijelaskan dengan analogi “tiga orang buta meraba gajah”, sebab argumen masing-masing agama bersifat kontradiktif bagi satu sama lain. Yesus adalah nabi (Islam) dan Yesus adalah bukan-nabi (Yahudi) adalah kontradiktif. Lalu, bagaimana mungkin seseorang di sebut manusia (Islam) tetapi juga disebut bukan manusia (Kristen) atau disebut manusia yang bukan manusia (teologi Kristen)?
Dengan demikian, dari contoh di atas, tampak bahwa kebenaran mestinya hanya ada satu, bukan banyak. Argumen pluralisme agama dalam pengertian yang telah disebutkan di muka mengandung kekeliruan logika yang tidak dapat kita terima.
Upaya terbaik untuk merajut keharmonisan agama dalam dunia demokrasi bukanlah dengan meruntuhkan kebenaran mutlak agama dengan menyodorkan proposal “pluralisme agama”, melainkan dengan upaya mewujudkan persabatan antar penganut agama dan menjembatani dialog yang santun dan bijaksana antar agama.
Dalam Islam, etika beragama dapat digambarkan dari tiga ayat berikut ini:
@ 2023 MisterArie. All right reserved.