Home » Hukum Berkurban dalam Islam
Kurban, atau “Qurban” dalam bahasa Arab, adalah suatu bentuk ibadah dalam agama Islam di mana seorang muslim menyembelih hewan-hewan yang telah ditentukan pada tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqorrub ilallah).
Dengan pengertian tersebut, belum disebut berkurban jika kita menyembelih hewan lain (selain yang telah ditentukan) walaupun pada periode tersebut atau belum juga disebut berkurban jika kita menyembelih hewan kurban di luar periode 10-13 Dzulhijjah tersebut.
Menurut mayoritas (jumhur) ulama, termasuk madzhab Syafi’i, hewan yang dapat dijadikan kurban hanya hewan ternak, seperti (1) kambing, (2) domba/kibasy, (3) lembu/kerbau, (4) unta. Pandangan tersebut didasarkan atas Al-Qur’an Surat Al-Hajj, Ayat 34 berikut ini:
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۗ فَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ فَلَهٗٓ اَسْلِمُوْاۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِيْنَ ۙ ٣٤
Bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) agar mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang dianugerahkan-Nya kepada mereka. Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa. Maka, berserahdirilah kepada-Nya. Sampaikanlah (Nabi Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang rendah hati lagi taat (kepada Allah)
Namun demikian, menurut Ibnu ‘Abbas, sah bagi seorang muslim untuk berkurban dengan sekadar menumpahkan darah hewan, seperti ayam atau rusa. Pendapat Ibnu Abbas ini dikutip oleh Grand Syaikh Al-Azhar ke-19, yaitu Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Bajuri (lahir 1783 M) sebagai berikut:
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاس أَنَّهُ يَكْفِي اِرَاقَة الدَّمِ وَلَوْ مِنْ دَجَّاجٍ اَوْ اِوَزٍّكَمَا قَالَهُ الْمَيْدَاني وَكَانَ شَيْخُنَا رَحِمَهُ اللهُ يَأْمُرالْفَقِيْر بِتَقْلِيْدِهِ وَيَقِيْسُ عَلَى الْاُضْحِيَةِ الْعَقِيْقَةِ لِمَنْ لَهُ وَلَدٌ لَه مَوْلُوْدٌ عَقَّ بِالدِّيْكَةِ عَلَى مَذهَبِ ابْنِ عَبَّاس
Artinya: (Diriwayatkan) dari Ibnu Abbas, sesungguhnya kurban cukup mengalirkan darah walaupun dari ayam atau angsa seperti yang telah diucapkan Al-Maidani. Dan Guru kita memerintahkan orang-orang fakir untuk mengikuti (taqlid) pendapat tersebut. Dan beliau mengiyaskan terhadap kurban ini yaitu aqiqah untuk anak yang dilahirkan dengan menggunakan ayam, menurut Madzhab Ibnu Abbas.
Meskipun demikian, semua ulama sepakat bahwa idealnya, hewan yang dikurbankan adalah hewan dengan kualitas terbaik. Seperti kurban Qabil yang tidak diterima karena kualitasnya yang buruk, yang “tumpah” dari hati yang juga kotor, demikian pula kurban setiap muslim mestinya juga yang terbaik.
Oleh karena itu, jika tak mampu berkurban unta, maka urutan di bawahnya adalah lembu, lalu kambing. Jika harus memilih antara kambing atau domba, maka dahulukan domba karena kualitas dagingnya yang lebih lezat; jika harus memilih antara mandiri (seorang dengan seekor kambing) dan patungan (tujuh orang untuk seekor sapi) maka mandiri lebih baik; jika harus memilih warna, maka warna putih itu lebih baik.
Dalam konteks syarat ideal hewan kurban inilah Nabi Muhammad mengingatkan kita,
أَرْبَعٌ لَا تَجْزِئُ فِى الْأَضَاحِى: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوْرُهَا وَ الْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَ الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرْجُهَا وَ الْعَجْفَاءُ الَّتِى لَا تَنْقِى
“Empat jenis binatang yang tidak dibolehkan dalam kurban: yang buta, yang nyata butanya; yang sakit, yang jelas sakitnya; yang pincang, yang nyata pincangnya; dan yang kurus, yang tidak ada sumsumnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Menurut mayoritas ulama, hukum berkurban adalah sunnah. Artinya, jika kita mengerjakannya maka kita akan mendapatkan pahala tetapi jika meninggalkannya kita tidak mendapat dosa.
Imam Syafi’i sendiri menyatakan bahwa hukum berkurban adalah sunnah mu’akkad ‘alal kifayah. Maksudnya, jika satu orang dalam keluarganya telah melaksanakan kurban, maka itu telah cukup untuk satu keluarga.
Menurut Imam Malik, hukum berkurban adalah sunnah mu’akkad. Menurutnya, orang yang sedang melaksanakan ibadah haji mendapatkan keringanan, mereka tidak perlu berkurban.
Namun, berbeda dari kedua pendapat tersebut, Imam Abu Hanifah mewajibkan kurban bagi muslim yang bermukim di kota-kota besar (tidak dalam perjalanan) dan memiliki kemampuan. Meskipun ditentang oleh kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad, Abu Hanifah mewajibkan berkurban berdasarkan hadits nabi yang menyatakan,
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Siapa yang mempunyai keleluasaan untuk berqurban, kemudian dia tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat sholat kami.”
Menurut pemahaman Imam Abu Hanifah, hadits tentang kecaman bagi orang yang tidak berkurban tersebut menunjukkan betapa wajibnya ibadah kurban.
Namun, demikian, menurut pemahaman Imam Syafi’i, hadits tersebut hanya menunjukkan penekanan (mu’akkad) untuk melakukan kurban, tidak mengarah pada hukum wajib. Sehingga, Imam Syafi’i tidak menyukai (makruh) orang yang mampu berkurban tetapi tidak melaksanakannya.
Selain itu, mayoritas ulama yang mendudukkan kurban sebagai ibadah sunnah juga berpijak pada hadits nabi lain yang berbunyi,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ رواه مسلم
“Jika kalian melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang kalian ingin berqurban, maka tahanlah diri Anda dari mencukur rambut, dan memotong kukunya.”
Bagi para ulama, hadits tersebut menunjukkan bahwa ibadah kurban tidak bersifat wajib. Sebab ada redaksi yang berbunyi, “… dan jika kalian ingin berkurban…”. Kata “ingin” bersifat opsional, kita dapat melakukannya jika ingin dan tidak perlu jika tidak ingin.
Setiap muslim hendaknya melakukan kurban, walaupun hanya sekali seumur hidup, inilah yang dikatakan Imam Syafi’i. Bahkan, Imam Ahmad menyatakan bahwa pengertian “mampu berkurban” adalah memiliki uang untuk membeli hewan kurban meskipun dengan berhutang (dengan syarat yakin dan mampu melunasi hutangnya tersebut).
@ 2023 MisterArie. All right reserved.