Home » Pelajaran Penting dari Pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir
Nabi Khidir adalah seorang hamba Allah yang pernah muncul dalam sejarah Nabi Musa. Menurut Al-Qur’an, ia adalah seorang hamba Allah yang dikaruniakan rahmah dan ilmu dari sisi Allah sehingga dikatakan kepada Musa bahwa Khidir lebih alim daripada dirinya. Untuk dapat mengikuti kisah pertemuan antara Khidir dan Nabi Musa ini, rasanya kita perlu memulai dari masa yang panjang sebelumnya.
Sekitar 3200 tahun yang lalu, Nabi Musa menyelamatkan 600.000 orang Isra’il (menurut versi Taurat Ibrani) dari kekejaman Fir’aun di Mesir. Dalam perjalanan exodus (keluar dari Mesir) ini, banyak aral melintang dan salah satunya adalah mereka terhalang oleh laut Merah.
Tetapi dengan izin Allah, Nabi Musa memukul tongkatnya ke tanah dan seketika laut terbelah, membentuk 12 jalan kering bagi 12 suku Isra’il. Maka, dari Mesir, mereka berhasil menyebrang ke Sinai.
Enam ratus ribu orang Isra’il ini akan dibawa Musa menuju tanah yang dijanjikan, yaitu Tanah Kan’an. Akan tetapi, dalam perjalanan, Bani Isra’il melakukan banyak dosa.
Dosa pertama, tatkala Musa naik ke puncak gunung Sinai untuk menerima perintah Allah, justru di kaki gunung itu, Bani Isra’il menari-nari dengan iringan gendang yang bertalu-talu, mengelilingi sebuah patung sapi emas yang mereka buat dari perhiasan mereka, dewa hathor yang disembah bangsa Mesir.
Begitu Musa turun gunung dan menyaksikan dosa besar itu, maka ia marah besar dan menghukum-mati mereka semua. Ini dosa pertama Bani Isra’il.
Dosa keduanya dilakukan setelah itu. Tatkala Allah memerintahkan mereka untuk memasuki negeri Kan’an—berperang melawan bangsa Filistin, bangsa Amor, bangsa Yabus, raja Hazor, Sikhem, dan Megido. Mereka menolak Nabi Musa dengan cara yang kasar. “Engkau saja, wahai Musa, berdua bersama Tuhanmu, yang melawan orang-orang berbadan besar itu!” Kata mereka.
Oleh sebab peristiwa itu, Allah menghukum orang-orang Isra’il sehingga mereka tidak dapat memasuki negeri Kan’an selama 40 tahun. Selama masa yang sangat panjang itu mereka tersesat di padang Sinai.
Dalam periode 40 tahun di Sinai ini, bangsa Isra’il membangun kehidupan sosial, ekonomi, dan pendidikan mereka. Di sini, nabi Musa mengajarkan mereka shalat, zakat, dan puasa sebagaimana yang diajarkan nabi Muhammad kepada kita.
Pada suatu saat, Nabi Musa sedang mengajar di tengah kaumnya, tetapi tiba-tiba seorang jamaahnya bertanya. “Wahai Musa, apakah di muka bumi ini ada orang yang lebih alim daripada dirimu?” Lalu Nabi Musa menjawab, “tidak ada.”
Setahu nabi Musa, dunia ini sudah diliputi oleh negeri-negeri yang penduduknya menyembah berhala; setahu Nabi Musa, hanya Bani Isra’il di dunia ini yang menyembah Allah. Maka, Nabi Musa berfikir, tentu tidak ada orang yang lebih mengerti agama daripada dirinya.
Tetapi Allah segera menurunkan wahyu dan mengatakan kepadanya.
إِنَّ لِي عَبْدًا بِمَجْمَعِ الْبَحْرَيْنِ عَلَى السَّاحِلِ عِنْدَ صَخْرَةٍ هُوَ أَعْلَمُ مِنْكَ
“Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba, ia tinggal di suatu tempat di mana dua laut bertemu, di tepi pantai, di dekat sebuah batu, hambaku itu lebih alim daripada dirimu.”
Begitu Allah memberitahunya bahwa ada orang yang lebih alim daripada dirinya, apakah Nabi Musa menjadi marah? Tidak. Apakah Musa tersinggung? Tidak. Ngambek? Tidak kesal? Tidak. Justru Nabi Musa ingin sekali belajar darinya.
Maka, Nabi Musa pun berkemas, menyiapkan baju dan makanan. Perbekalan untuk menjumpai orang alim yang, konon, bernama Khidir itu. Makanan yang ia bawa sebagai bekal adalah ikan.
Pertanyaannya adalah, mengapa bekal yang dibawa adalah ikan? Karena kata Allah, ikan ini adalah petunjuk untuk menemukan hambanya yang lebih alim itu. Kata Allah,
، فَحَيْثُمَا فَقَدْتَ الْحُوتَ فَهُوَ ثَمَّ
“Apabila ikan tersebut melompat, maka di situlah hamba-Ku berada“
Maka berjalanlah nabi Musa ke arah selatan, ditemani oleh muridnya yang bernama Yusya’ bin Nun (dikenal dalam Taurat Ibrani dengan nama Joshua). Dalam perjalanan, mereka sempat beberapa kali beristirahat dan makan siang. Lalu, sampailah mereka di tepi pantai.
Karena lelah, mereka beristirahat sejenak dan tertidur bersandar di sebuah batu karang. Tiba-tiba sebuah peristiwa ajaib terjadi. Saat Nabi Musa tertidur, muridnya terbangun dan menyaksikan ikan yang sudah mereka makan setengah, hidup kembali. Melompat-lompat mencari jalan ke pantai, lalu menghilang.
Tapi anehnya, setelah itu muridnya lupa memberitahukan peristiwa ajaib itu kepada gurunya. Oleh karena itu, tatkala Nabi Musa bangun, mereka pun melanjutkan perjalanan hingga jauh.
Tiba-tiba, Nabi Musa teringat dengan bekal makanan mereka. Lalu bertanya: “Yusya’, bagaimana dengan bekal makanan yang tadi kita makan. Apakah masih ada?”
Saat itulah Yusya’ baru teringat. “Wahai guru, Aku lupa, tadi aku menyaksikan kejadian aneh. Ikan yang kita bawa dan sudah kita makan setengah hidup kembali dan menghilang di laut. Kejadiannya di tempat kita tertidur.”
Maka, mereka pun kembali ke tepi pantai di dekat batu karang tadi. Tiba-tiba, di sana, mereka melihat seorang lelaki tua, berdiri di atas pasir putih yang berubah menjadi hamparan permadani hijau. Khidir nama lelaki itu.
Singkat cerita, Nabi Musa meminta kepada Khidir untuk dibolehkan belajar dari ilmunya yang dikatakan lebih tinggi. Tetapi kata Khidir, kira-kira seperti ini, “Boleh aja. Tapi engkau tidak akan mampu bersabar untuk mengikutiku, karena engkau tidak memiliki ilmu sebagaimana yang aku miliki. Tetapi jika engkau bersikeras ingin mengikutiku, syaratnya, engkau tidak boleh protes dengan apapun yang aku lakukan.” Nabi Musa setuju sehingga mereka pun melanjutkan perjalanan.
Ternyata, dalam perjalanan Khidir melakukan perbuatan-perbuatan aneh yang tidak masuk akal. Pertama, mereka naik perahu. Tetapi perahu itu dirusak oleh Khidir sehingga Musa pun protes kepadanya. Lalu, Khidir mengingatkan, “sudah kukatakan, engkau tidak akan mampu bersabar untuk mengikutiku.” Maka, perjalanan pun mereka lanjutkan.
Selanjutnya, mereka berjumpa dengan anak-anak yang sedang bermain. Tetapi Khidir mengambil salah seorang anak itu lalu menghabisi nyawanya. Melihat itu, nabi Musa protes lagi sehingga Khidir berkata kepadanya, “sudah kukatakan, engkau tidak akan mampu bersabar untuk mengikutiku.”
Kemudian, saat perbekalan habis, mereka berharap penduduk setempat menolong mereka. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menolong. Kemudian, dalam kondisi lapar, mereka pun beristirahat di sebuah bangunan tua. Kondisinya sudah mau roboh. Tetapi tiba-tiba Khidir bangkit dan memperbaiki bangunan itu sampai selesai tanpa meminta upah kepada pemiliknya. Lagi-lagi, nabi Musa protes sehingga Khidir pun berkata:
هٰذَا فِرَاقُ بَيْنِيْ وَبَيْنِكَۚ سَاُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيْلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَّلَيْهِ صَبْرًا ٧٨
“Inilah waktu perpisahan kita. Sekarang saya akan beritahukan kepadamu maksud dari apa yang telah saya lakukan.”
Nabi Khidir Menjelaskan Tindakannya
Nabi Khidir menjelaskan tindakan-tindakan aneh yang ditunjukannya di depan Musa. Katanya, “Perahu itu saya rusak, karena saya tahu, pemilik perahu itu adalah seseorang yang miskin sementara di seberang laut, ada seorang raja zalim yang suka merampas perahu-perahu bagus yang lewat. Aku tidak ingin kapal itu dirampasnya.”
“Kedua, mengenai anak yang saya tangkap, karena Allah memberitahu saya bahwa di masa depan, anak itu akan menjadi anak yang kafir dan akan membahayakan iman kedua orang tuanya. Maka, untuk mencegah anak itu menjadi kafir dan menyelamatkan kedua orang tuanya, saya akhiri ajal anak itu lebih cepat.”
“Ketiga, mengapa saya tidak meminta upah dari merenovasi bangunan padahal penduduknya pelit dan tidak sudi menolong kita, hal itu karena saya tahu, rumah itu pemiliknya adalah dua orang anak yatim. Di mana di bawah rumah itu tersimpan harta mereka. Aku kuatir jika rumah itu roboh maka anak-anak itu akan kehilangan harta mereka.”
Pertanyaannya adalah, bagaimana Khidir mengetahui di seberang sana ada seorang raja yang akan merampas? bagaimana ia mengetahui anak itu akan tumbuh dewasa menjadi orang kafir? Dan bagaimana ia mengetahui bahwa di bawah bangunan yang hampir roboh itu terdapat harta anak yatim? Tak lain dan tak bukan, Khidir mengetahuinya dari ilmu yang Allah limpahkan kepadanya untuk mampu melihat lebih luas dari manusia pada umumnya, baik lebih luas dari ukuran waktu maupun tempat.
Dari kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa tersebut, ada beberapa pelajaran untuk kita semua.
Pertama, cinta dan kasih sayang seharusnya menjadi landasan setiap perbuatan kita. Walaupun perbuatan Khidir tampaknya kejam dan merugikan, seperti membunuh dan merusak perahu, tetapi tujuannya sebenarnya ingin menyelamatkan. Demikianlah dalam hidup ini, orang tua atau guru sering memarahi murid-muridnya mungkin tampak menyeramkan tetapi sebenarnya mereka ingin menciptakan masa depan yang lebih baik.
Oleh karena itu, pelajaran yang Kedua, janganlah kita berburuk sangka dahulu pada orang lain. Boleh jadi ada perbuatan orang yang tampak buruk di mata kita tetapi sebenarnya ia melakukan hal yang mulia—dan kita tidak mengetahuinya karena belum memahaminya lantaran keterbatasan ilmu kita. Maka, kita harus belajar untuk bersikap rendah hati.
Apakah Nabi Khidir masih hidup hingga hari ini masih menjadi misteri, tetapi wali-wali Allah yang lain seperti Khidir tentu masih ada di antara manusia. Mereka bukan malaikat yang tidak pernah salah; mereka adalah orang-orang saleh yang berusaha istiqomah dalam mencintai Allah, melaksanakan ajaran nabinya, dan menyayangi sesama manusia.
@ 2023 MisterArie. All right reserved.