Home » Sejarah Negara India
India, yang namanya berasal dari nama “Sungai Sindu” di negeri itu, saat ini adalah negara yang sangat berkembang. Di samping ekonominya yang tumbuh dengan baik, negara ini juga memiliki masyarakat yang multikultural dan toleran terhadap perbedaan agama, bahasa, dan budaya. Negara yang dilewaati sungai Indus (yang memberi-nama “India”) ini juga merupakan pusat kebudayaan yang kaya, dengan warisan seni dan arsitektur yang kuno dan unik, serta industri film Bollywood yang terkenal di seluruh dunia.
Selain itu, India juga dikenal memiliki kekuatan militer yang kuat dan menjadi salah satu negara dengan teknologi nuklir. Sistem pendidikannya yang berkualitas tinggi, dengan universitas-universitas yang terkenal di seluruh dunia, telah mencetak para ilmuwan, insinyur, dan orang-orang besar.
India adalah negara yang memiliki sejarah sangat tua. Kita menyebut India pada masa-masa awalnya dengan istilah “India kuno”. Periode ini dimulai sekitar 3300 SM dan berakhir pada abad ke-6 Masehi. Selama periode ini, wilayah India berkembang menjadi pusat kebudayaan dan peradaban yang maju.
Pada mulanya, sekitar 3300 SM, tumbuh peradaban Lembah Sungai Indus di wilayah yang sekarang menjadi Pakistan dan India barat laut. Sejauh yang dapat kita temukan, Mohenjodaro dan Harappa (2600-1900 SM) adalah dua situs India Kuno yang memberikan keterangan tentang kemajuan India pada masa itu.
Mohenjodaro, yang berarti “Bukit Garam” dalam bahasa Sindhi, ditemukan pada tahun 1922 oleh arkeolog Inggris Sir John Marshall. Situs ini diperkirakan menjadi salah satu pusat peradaban Lembah Indus, dengan populasi sekitar 40.000 hingga 50.000 jiwa pada masa kejayaannya. Mohenjodaro memiliki sistem drainase yang canggih, toilet, dan saluran air bersih, yang menunjukkan kemajuan teknologi dan kebersihan masyarakatnya.
Sementara itu, Harappa ditemukan pada tahun 1921 oleh arkeolog Inggris Daya Ram Sahni. Situs ini diperkirakan memiliki populasi sekitar 30.000 hingga 40.000 jiwa pada masa kejayaannya. Harappa memiliki sistem drainase yang canggih, dinding-dinding batu yang teratur, dan reruntuhan benteng besar, yang menunjukkan kemampuan teknik bangunan dan kemampuan pertahanan yang kuat.
Kedua situs ini memiliki struktur kota yang teratur dan sistem perdagangan yang berkembang dengan perniagaan barang-barang seperti mutiara, lada, dan wol. Peninggalan arkeologi di kedua situs tersebut juga mencakup patung-patung, ukiran, dan segel-segel yang diukir dengan tulisan yang belum dapat terbaca hingga kini.
Meskipun peradaban Lembah Sungai Indus hanya bertahan selama kurang lebih 700 tahun. Banyak teori yang dikemukakan untuk menjawab mengapa kedua negeri ini runtuh, seperti terjadinya bencana alam, meletusnya peperangan, terjadinya perubahan aliran sungai atau krisis ekonomi.
Bagaimanapun, penemuan situs Mohenjodaro dan Harappa menjadi saksi sejarah kemajuan teknologi, budaya, dan sosial masyarakat India pada zaman kuno. Peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut juga menjadi bukti bahwa peradaban Lembah Sungai Indus adalah salah satu peradaban tertua dan terpenting dalam sejarah manusia.
Namun, setelah Mohenjodaro dan Harappa runtuh, India tidak ikut runtuh. Kehidupan di India terus berlangsung, sebab menurut riwayat, antara 1500 SM dan 500 SM, orang Indo-Arya masuk ke India. Siapakah orang-orang Indo-Arya itu? Dan bagaimana mereka memasuki India?
Bangsa Indo-Arya, atau kita sebut saja bangsa Arya, adalah kelompok etnis yang diyakini berasal dari wilayah Asia Tengah dan datang ke India pada sekitar 1500 SM. Bangsa yang serumpun dengan orang-orang Iran, Turki, Yunani, Jerman, dan Saxon ini memasuki India dari utara melalui pegunungan Hindu Kush.
Namun, tidak ada teori yang disepakati tentang bagaimana bangsa Arya memasuki India. Sebagian teori mengatakan bahwa bangsa Arya melakukan invasi terhadap penduduk lokal India, bangsa Dravida. Namun, sebagian teori membantahnya dan lebih memandang bahwa bangsa Arya bermigrasi ke India secara damai, terutama untuk tujuan penyebaran agama.
Orang-orang Arya mengajarkan kepada penduduk India kepercayaan politeistik dan animistik, yaitu tentang hidupnya seluruh unsur di alam ini: langit hidup, bumi hidup, lautan hidup, dan seterusnya. Setiap unsur alam tersebut memiliki kekuasaan dan kekuatan tertentu serta memiliki nama, seperti Indra, Agni, dan Soma dan banyak dewa-dewa Hindu lainnya.
Baca juga: Hari Raya Nyepi di Indonesia
Namun, di atas kepercayaan pada dewa-dewa alam tersebut, mereka percaya bahwa ada beberapa dewa yang lebih berkuasa. Mereka memuja Brahma yang diyakini sebagai Sang Pencipta alam semesta, Wishnu yang memeliharanya, sedangkan Shiwa yang merusaknya. Setidaknya, inilah mekanisme alam yang kita kenal, tidak ada yang abadi, segala hal tumbuh, tercipta, lalu hancur binasa. Bangsa Arya menisbatkan mekanisme alam tersebut kepada ketiga dewa yang disebut “Trimurti” tersebut.
Lalu, selain keyakinan di atas, pendeta-pendeta Arya juga menjelaskan tentang samsara, yaitu penderitaan manusia yang harus terjebak dalam siklus hidup, mati, lalu hidup kembali dan seterusnya, tanpa akhir; tentang dharma, yaitu tugas dan tanggung jawab seseorang dalam kehidupan, baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan Tuhan; tentang puja, yaitu penyembahan dan penghormatan kepada dewa-dewa Hindu; tentang karma, yaitu keyakinan bahwa setiap perbuatan kita memberikan akibat balik kepada diri kita, baik di dunia ini maupun di kehidupan selanjutnya (jika perbuatan kita buruk dalam hidup, maka mungkin akan terlahir menjadi binatang di kehidupan selanjutnya); dan tentang mokhsa, yaitu pembebasan diri kita dari siklus kelahiran dan kematian tersebut lalu mencapai kesadaran yang lebih tinggi dan bersatu dengan Tuhan di nirwana, surga.
Pedoman yang digunakan untuk memahami ajaran bangsa Arya tersebut adalah kitab-kitab suci yang diajarkan oleh para Rsi (orang suci Hindu). Kitab suci Weda adalah kitab suci utama agama ini. Kitab ini berisi ajaran, doa, mantra, dan upacara keagamaan yang penting dalam agama Hindu.
Ada empat bagian utama dalam Kitab Suci Weda, yaitu:
Selain empat bagian utama dalam Kitab Suci Veda, ada juga teks-teks lain yang dianggap penting dalam agama Hindu seperti Brahmana, Upanishad, Purana, dan Itihasa (yang terdiri dari Ramayana dan Mahabharata). Kitab suci Veda dan teks-teks lainnya tersebut mengandung ajaran tentang bagaimana cara hidup yang benar, hubungan manusia dengan Tuhan, kehidupan setelah kematian, dan filosofi Hindu yang penting.
Saat memasuki India, Bangsa Arya awalnya menetap di dataran tinggi Punjab di India barat laut. Mereka menggembalakan ternak. Mereka juga mengembangkan sistem pertanian yang canggih dengan membangun sistem irigasi dan mengembangkan teknik pengolahan tanah.
Berbeda dengan lapisan sosial pada masyarakat lain yang sering dibagi berdasarkan ekonomi (bangsawan dan proletar atau raja dan rakyat), lapisan masyarakat India Kuno (pasca “Invasi” Arya) dikelas-kelaskan berdasarkan agama.
Menurut agama Hindu, Dewa Brahman yang menciptakan sistem kasta dari berbagai tubuhnya. Sang dewa menciptakan kasta Brahmana (pendeta), ksathria (prajurit), Waisha (pedagang), dan Shudra (pekerja kasar, budak tak berharga) dari kepala, tangan, paha, dan kakinya masing-masing. Dengan kata lain, masyarakat harus berfungsi sesuai dengan takdirnya. Ide semacam ini sebetulnya cukup bagus agar tujuan masyarakat tercapa lebih efektif.
Namun demikian, dalam praktiknya, sistem kasta telah berdampak pada terjadinya diskriminasi sosial. Sistem kasta sering kali digunakan sebagai alat kontrol sosial dan diskriminasi terhadap kasta yang lebih rendah.
Pada masa kini, selain kasta di atas, ada pula Kasta terendah (di bawah Shudra) yang disebut Kasta Dalit. Mereka tidak boleh disentuh karena “kotor” dan hidup dalam diskriminasi yang menyedihkan. Berbeda dari pemandangan hidup glamor artis dan aktor Bolywood yang berasal dari kasta tinggi, kaum Dalit menjalani hidup seperti sampah masyarakat.
Selain itu, ada beberapa diskriminasi lainnya yang patut untuk dijadikan kritik terhadap sistem kasta di India dari dahulu hingga sekarang.
Keyakinan Hinduisme dan sistem kasta yang dibawa oleh bangsa Arya ini penting untuk dihadirkan karena hingga kini menjadi identitas orang-orang India dan sekaligus merupakan problem sosial yang cukup menarik perhatian.
Periode masuknya orang-orang Arya ke India ini disebut juga sebagai periode Weda, karena kitab-kitab suci Hindu, terutama Weda, disusun dalam periode yang sangat panjang ini.
Pada abad ke-6 SM, muncul kerajaan Magadha di India bagian timur dan menjadi kekuatan utama di wilayah itu. Lalu, setelah dua ratus tahun, kerajaan ini berpindah tangan ke keluarga Maurya. Ada legenda tentang perpindahan politik ini.
Chanakya, seorang cendekiawan dan politisi cerdas, mengadopsi Chandragupta Maurya sebagai muridnya dan membimbingnya untuk merebut tahta Kerajaan Magadha dari raja Dhana Nanda.
Di kemudian hari, Chanakya menyusun strategi yang cermat dan berhasil membentuk aliansi dengan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Magadha untuk melawan pasukan Dhana Nanda. Setelah pertempuran sengit, pasukan Chandragupta berhasil mengalahkan pasukan Dhana Nanda dan jatuhlah tahta Magadha.
Setelah merebut tahta, Chandragupta dan Chanakya melanjutkan reformasi politik dan ekonomi yang ambisius. Mereka membentuk pemerintahan yang efektif dan menerapkan undang-undang yang adil, seperti hukum agraria yang mengatur kepemilikan tanah dan hak-hak petani.
Kekaisaran Maurya yang didirikan oleh Chandragupta dan Chanakya berlangsung selama hampir 150 tahun dan menjadi salah satu kekaisaran terbesar di dunia pada masanya. Chandragupta memperluas kekuasaannya dengan menaklukkan wilayah-wilayah lain di India Utara, termasuk Kalinga, sebuah kerajaan di pantai timur India yang kemudian menjadi terkenal karena Pertempuran Kalinga pada tahun 261 SM.
Setelah Chandragupta Maurya, tahta Kerajaan Maurya diteruskan oleh putranya, Bindusara, dan kemudian oleh cucunya, Ashoka.
Raja Ashoka adalah raja terkenal dari Kerajaan Maurya di India yang memerintah dari tahun 268 SM hingga 232 SM. Ia dikenal sebagai raja yang berperan penting dalam penyebaran agama Buddha di India dan Asia.
Sebelum menjadi seorang Buddha, Ashoka dikenal sebagai seorang raja yang kejam dan agresif, dan menaklukkan banyak wilayah untuk memperluas kekuasaannya. Namun, setelah mengalami kegagalan dan penderitaan dalam Pertempuran Kalinga, ia memutuskan untuk mengubah hidupnya dan mengadopsi agama Buddha.
Sejak itu, Ashoka menjadi seorang penganut Buddha yang taat, dan mulai mempromosikan agama Buddha di seluruh kerajaannya. Ia mengirim utusan ke berbagai wilayah untuk menyebarkan ajaran Buddha, dan membangun stupa dan wihara di banyak tempat untuk digunakan sebagai tempat ibadah dan belajar bagi umat Buddha.
Selain itu, Ashoka juga mempromosikan kebijakan toleransi dan keberagaman dalam pemerintahannya. Ia memerintahkan para petugasnya untuk menghormati agama dan kepercayaan orang lain, dan menawarkan perlindungan bagi mereka yang mengalami penindasan. Ia juga membentuk serikat-serikat sosial untuk membantu orang miskin dan merawat orang sakit.
Peran penting Ashoka dalam penyebaran agama Buddha tidak hanya terbatas pada India saja, tetapi juga di luar India. Ia mengirim para misionaris Buddha ke Asia Tenggara, termasuk ke Sri Lanka, Nepal, dan Bangladesh. Ajaran Buddha yang dipromosikan oleh Ashoka dan pengikutnya menyebar dengan cepat dan menjadi agama utama di sebagian besar wilayah Asia Selatan dan Tenggara.
Selain penyebaran agama Buddha, Ashoka juga dikenal sebagai raja yang menerapkan kebijakan sosial dan lingkungan yang progresif. Ia memperbaiki sistem irigasi dan membangun jalan raya untuk memfasilitasi perdagangan, serta melindungi hutan dan lingkungan alam.
Kisah keberhasilan Ashoka dalam mempromosikan agama Buddha dan kebijakan sosial dan lingkungan yang inovatif membuatnya menjadi tokoh penting dalam sejarah India dan Asia. Warisannya dan ajaran-ajarannya masih terus dipelajari dan dihormati oleh umat Buddha dan masyarakat luas hingga saat ini.
Setelah kematian Asoka, kerajaan Maurya mulai melemah dan pada akhirnya runtuh sekitar tahun 185 SM. Setelah keruntuhan kekaisaran ini, India mengalami periode kekacauan dan banyak kerajaan kecil yang saling bersaing. Beberapa kerajaan besar muncul di wilayah India Utara, termasuk Kerajaan Sunga, Kerajaan Kalinga, dan Kerajaan Kanva.
Masa-masa kekacauan ini berlangsung sangat panjang, sekitar lima ratus tahun. Di sepanjang peperangan dan persaingan politik antar kerajaan yang berkecamuk, Buddhisme disebarkan dari India ke Asia Tenggara hingga ke China.
Pada abad ke-4 Masehi, Kerajaan Gupta muncul di India utara dan menjadi kekuatan besar di wilayah itu. Kerajaan ini dipimpin oleh beberapa raja yang terkenal seperti Chandragupta I, Samudragupta, dan Chandragupta II.
Pada masa pemerintahan Chandragupta II, kerajaan Gupta mencapai puncak kejayaannya, dengan perdagangan yang berkembang dan kemajuan dalam seni, sastra, dan matematika. Namun, pada abad ke-6, kerajaan Gupta mulai melemah dan akhirnya runtuh.
Selanjutnya, setelah keruntuhan Gupta, Kerajaan Chalukya adalah sebuah kerajaan yang berdiri di wilayah Karnataka dan Andhra Pradesh di India selatan dari sekitar abad ke-6 hingga abad ke-12. Kerajaan ini terkenal karena keberhasilannya dalam bidang perdagangan dan seni arsitektur, terutama dalam pembangunan kuil-kuil Hindu yang megah.
Kerajaan Chalukya dibagi menjadi tiga periode berbeda. Periode pertama dimulai sekitar tahun 543 Masehi dan berakhir pada sekitar tahun 753 Masehi. Periode kedua dimulai pada tahun 753 dan berakhir pada sekitar tahun 973 Masehi. Periode ketiga dimulai pada tahun 973 dan berakhir pada sekitar tahun 1189 Masehi.
Selama periode pertama, kerajaan Chalukya berada di bawah pengaruh dinasti Satavahana dan Kadamba. Raja Chalukya, Pulakeshin I, mengambil alih kekuasaan pada tahun 543 Masehi dan memperluas wilayah kerajaan hingga mencakup wilayah Maharashtra dan Andhra Pradesh. Raja Pulakeshin I juga membangun kuil Kailasanatha di kota Ellora, Maharashtra, yang merupakan salah satu contoh arsitektur Hindu kuno terbaik di India.
Selama periode kedua, kerajaan Chalukya mencapai puncak kejayaannya. Mereka memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencakup hampir seluruh India Selatan dan membangun banyak kuil-kuil Hindu yang megah, seperti kuil Hoysaleswara di kota Halebidu, Karnataka. Seni arsitektur mereka terkenal karena keindahannya, ketepatan proporsinya, dan penggunaan hiasan yang sangat detail.
Selama periode ketiga, kerajaan Chalukya mengalami kemerosotan dan diambil alih oleh kerajaan Hoysala dan Kakatiya. Namun, pengaruh mereka dalam seni arsitektur Hindu tetap terasa sampai saat ini. Beberapa kuil Hindu di India Selatan masih menjadi bukti kehebatan kerajaan Chalukya dalam seni arsitektur, dan menjadi objek wisata yang sangat populer.
Kerajaan Chalukya merupakan salah satu kerajaan terbesar dan paling berpengaruh di India Selatan. Mereka memberikan kontribusi penting dalam perkembangan seni, arsitektur, dan perdagangan di India. Sejarah kerajaan Chalukya tetap menjadi bagian yang penting dari sejarah India Selatan, dan merupakan salah satu bukti kehebatan peradaban kuno India.
Pada masa-masa ketika India mulai bangkit, tetangga mereka, umat Islam, di sebelah Barat telah menjadi imperium yang jauh lebih besar dengan wilayah terbentang dari Atlantik hingga Afghanistan yang terletak di barat laut India. Oleh karena itu, pertemuan antara mereka dengan Islam hanyalah soal waktu.
Umat Islam sendiri telah mulai mengamati India zaman Khalifah Utsman bin Affan, di mana gubernur Iraq kala itu, Abdullah bin Amir bin Kuraiz mengirim seorang intel bernama Hakim bin Jabalah untuk meninjau keadaan wilayah India. Lalu, pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, Al-Harits bin Murrah Al-‘Abdi juga berangkat memasuki wilayah itu untuk mempelajari adat istiadat, perhubungan dan jalan-jalannya.
Namun, eksekusi awal “Misi India” tersebut dilakukan pada zaman Khalifah Mu’awiyah. Kepala perang Bani Umayyah, Al-Muhallab bin Abi Sufrah membawa pasukan ke wilayah yang telah dibidik sejak lama oleh Umat Islam itu. Namun, perjalanan mereka hanya sampai ke Kabul, belum tiba ke tengah-tengah benua India.
“Misi India” terhenti sejenak akibat terjadinya Fitnah Kubro (Malapetaka Besar) di tubuh Umat Islam, yaitu sebuah perang saudara antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Gubernurnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Setelah itu, misi India terhenti cukup lama hingga terjadinya insiden Maharaja Dahar.
Maharaja Dahar adalah seorang Maharaja India yang berkuasa di perbatasan antara India dan Arab. Di bawah kekuasaannya, berlangsung perniagaan transnasional, termasuk antara India dan Umat Islam. Sebagian umat Islam telah menetap di tanah itu dan sebagian hanya datang untuk tujuan perniagaan.
Lalu, pada suatu saat terjadilah perompakan terhadap para pedagang muslim, para lelaki dan perempuan ditawan. Namun, sebagian dari mereka berhasil meloloskan diri dan mengadu kepada pemerintahan Umat Islam. Al-Hajjaj bin Yusuf, panglima perang tangguh yang menjadi tangan kanan Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik itu pun langsung membuat rencana “melanjutkan misi India.” Maka dibentuklah satu angkatan perang di bawah kepemimpinan seorang anak muda berumur 17 tahun bernama Muhammad bin Al-Qasim.
Selanjutnya, Muhammad bin Al-Qasim pun bertemu dengan Maharaja Dahar di medan perang. Enam ribu orang muslim (jumlah yang relatif sedikit) berhasil menggempur orang-orang India. Kuil-kuil (Badd atau Watt) dan pagoda yang berisi harta emas dan perak di tanah itu mereka masuki dengan gagah perkasa. Maharaja Dahar tewas, maka wilayah perbatasan itu, yang disebut Sind, kemudian wilayah Bairun dan Rur jatuh ke tangan Islam. Muhammad bin Al-Qasim pun secara resmi menjadi Gubernur India untuk Kekhalifahan Bani Umayyah.
Namun, walaupun Islam telah melewati perbatasan dan menjadikan Sind sebagai bagian dari provinsi Islam, masih jauh lebih banyak negeri di benua itu yang berdaulat, di bawah kepemimpinan para Brahmana dan Ksatria Hindu.
Pada masa-masa selanjutnya, politik di Dunia Islam berubah. Kekhalifahan Islam telah diisi oleh orang-orang Turki. Berawal dari budak-budak (Mamluk) yang ditawan dan dibesarkan untuk menjadi tentara, orang-orang Turki ini pun tumbuh menjadi pemimpin dan panglima perang yang hebat. Di tambah dengan kondisi kepemimpinan yang lemah, maka berdirilah kesultanan-kesultanan yang dipimpin oleh orang-orang Turki tersebut.
Pada abad ke-10, seorang jendral Turki Kesultanan Samaniyah di Persia bernama Alp Takin pindah ke timur dan mendirikan sebuah kota benteng di Ghaznah, Afghanistan saat ini. Lalu, setelah ia wafat, putranya yang bernama Sabaktakin naik tahta lalu diserbunya kota-kota India, Lahore, Delhi, Ajmir, Kanuj, dan Kaligar dengan sebuah angkatan perang bergajah dan 100.000 orang tentara berkuda. Namun, sayangnya, penyerbuan ini hanya dilakukan dengan tujuan kampanye militer dan penjarahan. Penyerbuan yang lebih signifikan dilakukan oleh putranya, Mahmud.
Mahmud, yang dikenal sebagai Mahmud Ghaznawi, berhadapan dengan aliansi negara-negara India seperti Lahore, Delhi, Ajmir, Kawaliur, Kaligar, dan Ujain. Di suatu tempat bernama Patanda, terjadilah perang hebat antara kedua kelompok tersebut dan ketika kepulan debu telah mengendap di tanah, tentara Hindu telah tumbang dan sebagian lari tercerai-berai.
Selanjutnya, Mahmud menyerbu negara-negara India yang lain, seperti Nagarokot (pada 1009 M), Dawab (pada 1014 M), Kanuj (pada 1019), Gujarat (pada 1025), dan negara-negara lainnya jatuh pula ke tangannya. Tujuan Mahmud Ghaznawi bukan semata mencari rampasan perang, tetapi meruntuhkan berhala dan meninggikan kalimat “Tiada Tuhan selain Allah”.
Namun, pasca Ghaznawi, kesultanan Sabaktakin menurun dan berakhir runtuh di kemudian hari sehingga naiklah kompetitornya, Kesultanan Ghori. Sultannya yang terkenal, Muhammad Abul Muzaffar bin Al-Husain Al-Ghori menaklukkan negara-negara yang dahulu telah ditaklukkan oleh Ghaznah yang bangkit kembali tatkala Ghaznah melemah. Pada tahun 1193, Muhammad Al-Ghori berhadapan dengan aliansi raja-raja Brahmana yang berjumlah 300.000 tentara berkuda dan 3000 tentara bergajah. Dengan keahlian perang Muhammad Al-Ghori, aliansi tersebut hancur. Selanjutnya, Delhi, Meerat dan Agra jatuh.
Dalam peperangan di tanah Hindustan itu, Muhammad Al-Ghori dibantu oleh hamba sahayanya, Aibek dan Bakhtiar. Yang pertama menaklukkan Aud dan Benares, yang kedua menundukkan Bihar dan Benggala dari tangan penguasa Buddha Magada pada tahun 1202 M.
Pada akhirnya, mayoritas negara-negara di India tunduk kepada minoritas penguasa Afghan ini. Mereka membayar upeti dan tunduk kepada Muhammad Al-Ghori setiap tahun yang memerintah dari Delhi, lalu kepada penggantinya, Qutbuddin Aibek (sahayanya). Setelah Al-Ghori wafat, kesultanan Mamluk (yang berarti “bekas budak”) berdiri di India, mulai tahun 1206 hingga 1290.
Setelah Kesultanan Mamluk runtuh, masuklah keluarga muslim baru di India, yaitu Keluarga Kilji. Sultannya yang perkasa, Alauddin menaklukkan Bophal lalu Mahrata (yang kini adalah Bombay).
Tatkala tentara Mongol menyerbu India dengan membawa 100.000 tentara pada 1297, Alauddin menghadapinya tanpa gentar sedikitpun hingga tentara Mongol tersebut hancur; lalu, ketika Mongol mengulangi serangannya ke titik yang berbeda (ke Delhi), serangan balasan itu pun dihancurkan oleh Alauddin dengan lebih kejam. Para tawanan mongol dihukum mati dengan diinjak oleh gajah.
Namun demikian, pada tahun 1321 M, keluarga muslim baru memasuki India dan menaklukkan kesultanan Kilji. Keluarga Tuglug yang merupakan orang Turki juga mengambil alih India dan memimpin dengan tangan besi. Periode ini berlangsung selama beberapa dekade hingga datangnya pasukan Mongol pada 1398 M.
Timurlane, pemimpin Mongol yang fanatik pada Syi’ah itu berhasil menghancurkan tentara Tuglug yang dipimpin oleh Sultan Mahmud III, lalu menerobos ke Delhi dan membacakan sebuah pengumuman bahwa Timurlane menjadi Maharaja bagi seluruh India dan segala sultan yang lain. Tapi sayangnya, Timurlane mangkat setelah itu dan penggantinya tidak memiliki kualitas seperti dirinya. Akibatnya, Kesultanan di India terpecah-pecah menjadi Kerajaan Delhi, Kerajaan Dekan, kerajaan Banggala, kerajaan Jaunpur, kerajaan Malawa dan Gujarat.
Di antara kerajaan-kerajaan muslim yang pecah, Kerajaan Dekan merupakan yang terbesar dan terkuat. Kerajaan yang didirikan oleh keluarga Bahman (Afghan) ini berpusat di dekat Haidarabad dan bertetangga dengan dua kerajaan Hindu yang merupakan benteng pertahanan Hindu terakhir di selatan India, yaitu Kerajaan Wijayanagar dan Paranggal.
Di kemudian hari, Paranggal diserbu Raja Dekan, Ahmad I Bahmani, hingga hancur dan rata dengan bumi, sehingga tersisa Wijayanagar. Kerajaan Hindu terakhir ini menyerang-balik pecahan kerajaan Dekan hingga menawan ribuan orang dan menjadikan gadis-gadisnya sebagai gundik. Tetapi kemudian aliansi kerajaan-kerajaan pecahan Dekan itu melakukan pembalasan dan menghancurkan Wijanagar hingga rata dengan tanah pada pertengahan abad ke-16.
Sebelumnya, pada tahun 1525 M, seorang pemuda muslim belia dari Mongol membawa 13.000 prajurit ke Punjab. Babur (yang berarti “macan”), keturunan Timurlane dan Jengis Khan itu berniat menghadapi dinasti-dinasti Muslim keturunan Afghan dan dinasti-dinasti Hindu lokal.
Maka, Sultan Ibrahim II dari dinasti Lodi yang asal-usulnya dari Afghanistan langsung menyambutnya dengan membawa 100.000 bala tentara yang dilengkapi dengan 1000 gajah tempur. Pada tanggal 21 April 1526 M, terjadilah pertempuran besar di Panipat. Jumlah 100.000 tentara Sultan Ibrahim itu runtuh seketika, dihujam oleh meriam-meriam Mongol yang baru sedikit di kenal kala itu. Sultan Ibrahim tewas pada perang ini.
Selanjutnya, Babur, pendiri Dinasti Mongol (“Mughal”, dalam dialek Indo-Arya) yang legendaris itu, melangkahkan kakinya ke masjid besar di Delhi dan mengumumkan dirinya sebagai Sultan Hindustan yang Agung. Semua maharaja di kerajaan-kerajaan India bergetar dengan kedatangan dan pengumuman seorang Mongol ini, sehingga mereka pun membentuk aliansi baru untuk melakukan perlawanan.
Maka, berkumpullah 100.000 bala tentara raja-raja muslim Afghan berhadapan dengan tentara Babur. Tetapi, sekali lagi, raja-raja muslim Afghan tersebut hancur diterjang meriam Babur. Tak berhenti di sini, Babur pun melanjutkan penyerangannya ke setiap kerajaan Muslim satu per-satu. Ia memastikan setiap orang di tanah tersebut tunduk kepada kerajaannya.
Setelah Babur wafat, Humayun putranya menggantikan. Berbeda dari ayahnya yang tak terkalahkan, Humayun sempat mendapatkan perlawanan sengit dari raja-raja Afghan di India. Pada 1535, di Boksar, di pinggir Sungai Gangga dekat Benares, Humayun bertempur dengan bala tentara Syir Khan lalu ia mengalami kekalahan besar dan melarikan diri untuk mencari bala bantuan.
Setelah tiga belas tahun berkelana mencari sekutu, akhirnya Humayun kembali ke India. Dibantu oleh kekuatan Persia, ia menaklukkan Kandahar pada 1545 dan Kabul pada 1550. Lalu, lima tahun kemudian, bersama 15.000 tentara, ia memasuki Punjab, kemudian Delhi dan selanjutnya, mencapai lembah Sirhind untuk menghadapi 80.000 bala tentara Sultan Iskandar Syah, putra Syir Khan. Humayun memenangkan pertempuran dan ia berjuang untuk mengembalikan kekuasaannya.
Namun, belum setahun berkuasa kembali di India, Humayun wafat. Maka naiklah putranya yang baru berusia 15 tahun, Muhammad, ke puncak tahta Mughal.
Lebih dikenal dengan gelarnya, Abul Fath Jalaluddin atau Sultan Akbar Agung, Muhammad melanjutkan perjuangan orang tuanya untuk menjadi penguasa di India. Ia belum bisa tidur nyenyak sebelum menghadapi raja-raja muslim Afghan yang berkuasa di Aud, Bihar, dan Beggala.
Namun, di antara semua musuhnya, Himu adalah panglima perang Afghan yang paling membuat Akbar kewalahan. Diperintah oleh raja Muhammad Adil Khan, Himu, menyerang Delhi dengan kekuatan 100.000 bala tentara dan 500 ekor gajah. Serangan tersebut membuat Akbar terdesak ke Punjab.
Agaknya, takdir Tuhan menetapkan Akbar sebagai penguasa India. Hampir saja 20.000 tentara Akbar dilumat oleh 100.000 tentara Himu. Tetapi Himu tewas kala itu sehingga menurunkan semangat tentara Afghan dan mengobarkan semangat bangsa Mongol untuk menyerang. Pada akhirnya, Akbar berhasil menang.
Kemudian, Akbar menghancurkan semua kekuatan sultan-sultan Afghan dan raja-raja Hindu yang tersisa di India. Peperangan demi peperangan tidak berhenti berkobar, sebagian raja mundur melarikan diri, sebagian tunduk dan membayar upeti.
Berbeda dari raja-raja lain, tatkala Akbar menduduki singgasana tertinggi di India, ia merangkul raja-raja Hindu yang tunduk kepadanya. Raja Mongol ini sangat menyadari betapa pentingnya strategi baru untuk menghentikan api peperangan yang tak pernah padam di tanah India dan untuk merajut persatuan setiap pihak.
untuk itu, Akbar pun menempatkan anak-anak maharaja Hindu di pemerintahannya; Ia meminang putri Raja Baghwan Das untuk menjadi permaisurinya, ia juga meminang putri Raja Marwar untuk dinikahkan dengan putranya, yaitu Jahangir, dan putri-putri raja lain untuk dinikahkan dengan pangeran-pangeran Mongol. Kebijakan kolaborasi ini menciptakan perdamaian antara pemerintahan Akbar dan maharaja Hindu. Tidak ada pemaksaan bagi Hindu untuk memeluk Islam.
Adapun terhadap raja-raja muslim, Akbar tak menemukan jalan selain peperangan. Maka, pada tahun 1573, Akbar menahan raja muslim Syah Gujarat, lalu pada 1580 ia menaklukkan Benggala, kemudian Kashmir (1586), dan Sind (1592).
Hingga saat ini, Akbar Agung diingat dalam sejarah sebagai raja yang adil dan bijaksana. Ia melarang pemungut pajak melakukan kekerasan saat bertugas. Saat paceklik terjadi pun ia mengeluarkan bantuan untuk rakyatnya. Ia memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Akbar tidak akan membiarkan rakyatnya tertindas. Ia akan menghukum raja-raja muslim ataupun raja-raja Hindu yang memeras rakyatnya sendiri. Akbar menempatkan dirinya sebagai raja di atas raja-raja, bahkan di atas tradisi dan agama. Kendati ia menjaga hubungan baik dengan kaum Hindu, tetapi ia melarang praktik agama Hindu yang dianggapnya mencederai hak manusia.
Berikut ini adalah di antara praktik dalam Hinduisme yang dilarang pelaksanaannya oleh Akbar Agung.
Selain itu, Akbar Agung juga menunjukkan caranya yang khas dalam mewujudkan toleransi. Meskipun terlahir dalam madzhab Ahli Sunnah, Akbar merangkul kalangan madzhab Syi’ah, bahkan seorang mujtahid Syi’ah ia angkat sebagai penasihat agama beserta ahli tasawuf bernama Mubarak.
Di samping itu, Akbar tampaknya juga haus akan kebijaksanaan yang tumbuh dari berbagai agama. Ia memerintahkan penerjemahan kitab-kitab Weda ke dalam Bahasa Persia. Ia memerintahkan orang untuk membacakan kitab tersebut untuknya. Selain itu, Akbar juga mempelajari hikmat-hikmat Hindu dan kepercayaan Trimurti dari Dabi, seorang Brahmana terkenal kala itu. Raja Mongol ini juga mempelajari Budhisme dan mengundang pendeta-pendeta Kristen (yang dibawa Portugis ke Goa) untuk datang ke istana pada tahun 1580. Pada kelanjutannya, Injil pun diperintahkan untuk disalin ke dalam bahasa Persia.
Agaknya, tujuan Akbar mempelajari semua agama kala itu adalah untuk menciptakan suatu pemahaman sintetis tentang agama-agama yang ada. Pada akhirnya ia melihat bahwa semua agama memiliki satu kesamaan, baik Hindu, Kristen, maupun Islam, semuanya mengajarkan etika ketundukan manusia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu, Akbar memutuskan untuk menciptakan sebuah falsafah atau agama baru, agama “Kesatuan Ketuhanan”. Ia pun menetapkan simbol Ketuhanan yang diperlukan untuk menjadi sarana penyembahan dan ia memilih api sehingga api suci penyembah api di Persia ia angkut ke India.
Setelah Akbar wafat, ajaran agamanya yang hanya diikuti oleh 18 orang pejabat istana itu pun ikut mangkat. Putranya, Salim, menyingkirkan semua berhala, salib, dan lain sebagainya.
Bergelar Jahangir, Salim menggantikan ayahnya sebagai Sultan Mongol di India. Tetapi tidak seperti ayahnya yang bijaksana, Salim tidak memiliki kualitas seorang raja yang perkasa. Untuk situasi politik India yang kompetitif, ia terlalu lembut sehingga pegawai pajak mulai berlaku kejam terhadap orang kecil, pemberontakan terjadi di Dekkan dan tidak segera dipadamkan. Wibawa Mughal pun jatuh.
Oleh sebab itu, dibantu seorang panglima perang bernama Muhabbat Khan, putra Jahangir yang bernama Khurram mencoba menggulingkan kekuasaannya. Ia menangkap ayahnya sendiri dan menjebloskannya ke penjara.
Walaupun pada akhirnya dibebaskan, namun secara de facto otoritas Jahangir telah berakhir sehingga naiklah Khurram ke puncak pimpinan tertinggi Kesultanan Mughal. Dalam sejarah, kita mengenal Khurram dengan nama “Syah Jahan”, tokoh yang dalam hidupnya membangun monumen cinta, Taj Mahal.
Dibantu oleh putra ketiganya, Aurangzeb, Syah Jahan memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang timbul setelah kematian kakeknya, terutama yang dilakukan oleh Kerajaan Goklond, Bidar, dan Baijapur.
Di satu sisi, Aurangzeb sendiri merupakan seorang sufi yang sangat saleh. Ia selalu shalat tahajjud, berpuasa, hidup sederhana, dan suka mendengarkan hikmah dari ulama-ulama tasawuf. Namun, di sisi lain, cicit Akbar Agung ini juga adalah seorang panglima perang yang terampil, cerdik, dan tegas. Sehingga, menurut Aurangzeb, pemberontakan Goklond, Bidar, dan Baijapur merupakan ancaman kaum kafir terhadap kaum muslim dan karena mereka tergolong kafir harbi (yang mengancam eksistensi muslim), maka harus diperangi hingga ke akar-akarnya.
Referensi