Home » Orientalisme
Orientalisme adalah sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Edward Said dalam bukunya Orientalism, seorang profesor sastra Inggris dan filsuf Palestina pada tahun 1978. Konsep ini mengacu pada pandangan Barat terhadap Timur atau Orient, terutama terhadap dunia Arab dan Islam.
Sejak abad ke-16, negara-negara Barat mendatangi negeri-negeri Timur, mereka bukan hanya berdagang, tetapi juga membuat koloni-koloni dan mengambil kendali atas pemerintahan-pemerintahan lokal, sehingga mereka mendapatkan akses kepada sumber daya alam yang berlimpah.Â
Selain karena perkembangan Barat dalam teknologi mekanik dan militer, ilmu pengetahuan (sains alam dan sosial) juga menjadi alat Barat untuk menaklukkan dunia. Semboyan Francis Bacon, “Knowledge is Power“, bukan sekadar semboyan tetapi merupakan keyakinan orang-orang Barat bahwa kekuasaan akan dicapai dengan dukungan pengetahuan.
Oleh karena itu, tatkala Barat menjajah negeri-negeri Timur, mereka bukan hanya membawa serdadu dengan pistol dan meriamnya tetapi juga membawa para ilmuan beserta perpustakaannya. Contoh yang paling mencolok adalah apa yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte di Mesir.
Napoleon Bonaparte memimpin kampanye militer ke Mesir pada tahun 1798-1801, yang dikenal sebagai Kampanye Mesir. Selain tujuan militer, Napoleon juga membawa sekitar 150 ilmuwan, arkeolog, insinyur, dan ahli lainnya untuk melakukan penelitian dan eksplorasi di Mesir. Mereka membentuk sebuah ekspedisi ilmiah yang dikenal sebagai Komisi Ilmiah Mesir atau Institut Kairo.
Komisi Ilmiah Mesir memiliki banyak penemuan dan pencapaian penting dalam berbagai bidang seperti arkeologi, astronomi, geologi, botani, dan bahasa. Mereka menemukan dan menggali situs-situs bersejarah seperti Piramida Giza, dan meneliti kebudayaan dan bahasa Mesir Kuno. Hasil penelitian mereka telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Menurut Edward Said, orientalisme adalah sebuah cara pandang atau sudut pandang Barat. Selain cerita para ilmuwan Napoleon di atas yang mempelajari Mesir (menjadikan Mesir sebagai objek), ada banyak penelitian para ilmuwan (untuk tidak menyebut “penjajah”) Barat terhadap Timur, khususnya dunia Islam, sebagai contoh adalah sebagai berikut:Â
Samuel Huntington
“The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order” (1996): Dalam buku ini, Huntington mengemukakan bahwa konflik di masa depan akan terjadi antara berbagai peradaban, termasuk peradaban Barat dan peradaban Islam. Ia berpendapat bahwa perbedaan budaya, agama, dan nilai antara Barat dan Islam dapat menjadi sumber konflik yang besar di masa depan. Pandangan Huntington tentang Islam terkait dengan gagasan “clash of civilizations” dan dia menganggap Islam sebagai ancaman bagi keamanan dan stabilitas global.
Pandangan-pandangan tentang Arab dan Islam tersebut, yang tertuang dalam bentuk buku-buku pengetahuan yang diberi-label “ilmiah”, menurut Said, didasarkan pada stereotip dan konstruksi imajinatif tentang Orient, yaitu dunia Timur yang eksotis, misterius, dan terbelakang.Â
Dengan konstruksi imajinatif semacam itu, maka sesungguhnya Barat tidak dapat berfikir secara objektif tentang Arab dan Islam. Di balik apa yang disebut pengetahuan objektif tentang Arab dan Islam terkandung prasangka atau pra-asumsi yang sudah diyakini dengan kuat. Sekali Arab dan Islam dibayangkan sebagai “aneh” dan “berbeda” dari Barat, maka penelitian yang menjadikan Islam sebagai objek pun akan berangkat dari sudut pandang Barat.
Sebagai contoh, pertanyaan Barat “mengapa dalam Islam, individu diatur oleh syari’ah (hukum Islam), tidak bebas untuk membuat hukum seperti demokrasi?” tentu berangkat dari sudut pandang atau filsafat Barat mengenai pentingnya kebebasan individu dalam negara. Lalu, pertanyaan semacam “mengapa Islam membolehkan poligami?” juga berangkat dari sejarah Barat yang sedang membawa wanita dari ruang privat ke ruang publik.Â
Apakah kesimpulan-kesimpulan dari penelitian yang dilakukan Barat terhadap Timur itu bersifat ilmiah? Ya, boleh jadi bersifat ilmiah, tetapi tentu saja hal tersebut terasa tidak adil bagi Timur, Arab, dan Islam karena dalam penelitian tersebut, Barat menggunakan sudut pandang dan filsafat Barat untuk menghakimi Timur.Â
Selain itu, orientalisme yang mempelajari kebudayaan, sejarah, bahasa, dan agama Timur ini seringkali memiliki tujuan untuk membenarkan penjajahan dan dominasi Barat atas Timur, serta mempertahankan posisi Barat sebagai pusat kebudayaan dan peradaban dunia.
Menjadikan Timur sebagai objek secara otomatis menempatkan Barat sebagai subjek. Barat sebagai pemilik kekuasaan dan pengetahuan sedangkan Timur sebagai objek kajian. Ketika pengetahuan mendukung sebuah kekuasaan, maka pengetahuan tersebut akan melegitimasi kekuasaan, memberikan pembenaran atas apa yang dilakukan oleh penguasa.Â
Bentuk yang paling menonjol dari legitimasi penjajahan Barat dengan orientalisme dan pengetahuan (versi Barat) tampak dalam penulisan (historiografi) sejarah dunia yang bergerak linear, dari zaman pra-sejarah hingga zaman modern “ala Barat”. Sejarah selalu ditulis dari masa “belum modern” (belum seperti Barat) hingga ke masa “modern” (sudah mengikuti Barat).
Dalam bahasa Auguste Compte (Bapak Sosiologi Modern), masyarakat di manapun selalu berkembang melalui tiga tahap, tahap teologis (saat manusia tunduk kepada Tuhan dan agama dalam memecahkan masalah hidupnya), lalu tahap metafisik (saat manusia mulai menggunakan akal untuk memecahkan masalah hidupnya), dan berakhir di tahap positif (saat manusia mulai menggunakan positivisme atau metode ilmiah dalam memecahkan masalah hidupnya).Â
Linearitas sejarah yang ditulis Barat dari zaman pra-sejarah hingga tibanya zaman modern yang ditandai dengan ilmu pengetahuan positif dan demokrasi Liberal (yang disebut Francis Fukuyama sebagai The End of History) membawa pesan bahwa penjajahan yang dilakukan Barat merupakan sebuah babak sejarah yang memang diperlukan untuk memodernisasi masyarakat manusia agar bisa bertransformasi menjadi Barat: mengadopsi ilmu pengetahuan versi Barat atau menerima demokrasi liberal ala Barat.Â
Pada masa kini, orientalisme telah mengalami konotasi negatif sehingga “gerakan” ini telah mengambil bentuk lain, yaitu jurnalisme. Sebagaimana kita ketahui, jurnalisme kini dianggap sebagai sumber kebenaran baru, selain sains modern. Jurnal atau berita merupakan suatu jenis pengetahuan yang memberitahu kita apa yang benar dan apa yang tidak benar, apa yang terjadi dan apa yang tidak.
Jurnal atau berita merupakan sumber pengetahuan penting bagi masyarakat dunia, baik bagi individu yang ingin mengetahui peristiwa dunia terkini, maupun bagi pemerintah lokal, nasional, hingga internasional yang akan menetapkan kebijakan politik dan ekonomi. Tetapi persoalannya, kantor-kantor berita internasional masa kini dimiliki dan dikendalikan oleh politikus dan pebisnis Barat. Dengan demikian, sumber berita dunia pun berasal dari Barat. Lagi-lagi, Barat mengendalikan pengetahuan.
Marilah kita ambil sebuah contoh kasus. Masih ingatkah kita dengan tragedi 11 September 2001? Ini adalah sebuah insiden pembajakan dua pesawat komersil yang terjadi di New York, Amerika yang berujung pada penabrakan dua pesawat tersebut ke gedung World Trade Center (WTC). Menurut berita, pelaku pembajakan yang mengakibatkan korban sekitar 3000 orang itu merupakan orang-orang muslim Arab yang diidentifikasi sebagai kelompok Al-Qaida.
Sembilan hari setelah peristiwa tersebut, Presiden Amerika, George Bush menyatakan perang terhadap terorisme Global dan akan mengejar pelaku pembajakan tersebut. Pasukan Amerika pun mulai menginvasi Afghanistan, mencari Osama bin Laden yang merupakan pemimpin Al-Qaida. Lalu Amerika menyatakan bahwa Irak memiliki Senjata Pemusnah Massal yang mendukung terorisme sehingga negeri itupun menjadi sasaran invasi. Media-media massa Barat menjadi corong informasi dan pengetahuan versi Barat mengenai bagaimana seharusnya sebuah negara memerangi terorisme.Â
Â
Walaupun hingga kini apa yang diberitakan Barat sebagai Senjata Pemusnah Massal Irak tidak pernah ditemukan (sementara sarana dan prasarana umum Irak telah hancur dan minyaknya dirampas Amerika), namun sikap Barat terhadap terorisme tidak berhenti disuarakan, baik melalui buku-buku, internet, youtube, dan kanal berita.Â
Lalu, perlahan-lahan, pengetahuan versi Barat tersebut diterima oleh mayoritas warga negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, karena menganggap pengetahuan Barat memiliki landasan ilmiah dan merupakan sumber kebenaran yang harus diikuti. mereka pun turut menilai Islam sebagai agama intoleran.
Pada akhirnya, pengetahuan Barat tersebut bukan hanya diterima oleh warga negara biasa tetapi juga menjadi kebijakan pemerintah sehingga penggunaan bahasa dan simbol-simbol agama Islam pun dijadikan indikator oleh pemerintah sebagai keberpihakan pada kelompok intoleran.
Itulah kekuatan dari pengetahuan, sehingga menjadi benarlah apa yang dikatakan Francis Bacon, bahwa “pengetahuan adalah kekuatan”. Siapa yang mengendalikan pengetahuan, mengendalikan kebenaran, menentukan apa yang disebut benar dan salah, ia akan berkuasa.
Dampak Orientalisme
Oleh karena itu, benarlah Edward Said yang menekankan bahwa orientalisme bukan merupakan fenomena sejarah ataupun akademik semata; orientalisme adalah alat yang sangat kuat untuk melegitimasi penjajahan.
Namun, yang penting untuk diperhatikan pula adalah dampak dari orientalisme. Sebagai akibat dari superioritas dan dominasi Barat terhadap pengetahuan, masyarakat Timur pun terpengaruh sehingga timbul perasaan inferioritas dan ketidakpercayaan pada diri mereka sendiri, padahal mereka pun memiliki akar kebudayaan dan sejarah yang panjang dan patut dibanggakan.Â
Fenomena inferioritas dan ketidakpercayaan diri ini tercermin pada perilaku masyarakat Timur yang pada akhirnya merasa bangga dengan segala hal yang berbau Amerika atau Eropa. Dalam pidato-pidato ataupun pembicaraan, kutipan-kutipan tokoh atau literatur-literatur Barat kerap dilontarkan untuk menunjukkan “kemajuan” mereka karena sudah berhasil bersikap dan bertutur seperti Barat.Â
Edward Said berpendapat bahwa cara terbaik untuk mengatasi orientalisme adalah dengan memahami budaya, sejarah, dan identitas Timur secara kritis, memahami budaya sendiri secara lebih mendalam, serta membangun dialog dan pertukaran budaya yang saling menguntungkan antara Barat dan Timur.
Memahami sejarah agama budaya sendiri akan menumbuhkan identitas. Kita akan mengenal siapa kita sehingga kita dapat menyikapi Barat dengan lebih bijaksana. Barangkali, Arab dan Islam perlu mencontoh bagaimana Jepang, India, atau China dalam menghadapi Barat. Menumbuhkan identitas kultural atau nasional dengan menerima Barat secara kritis merupakan pekerjaan rumah yang masih harus terus dilakukan.
Pada masa kini, Barat, yang diwakili Amerika mulai ditandingi oleh Timur, yang diwakili oleh China. Teknologi komunikasi dan informasi pun berkembang pesat dan merevolusi cara manusia berinteraksi, berniaga, dan berpolitik. Persoalannya adalah, apakah menurutmu gejala-gejala dan dampak-dampak orientalisme masih muncul pada masa sekarang?
Â
@ 2023 MisterArie. All right reserved.