Kelas Digital MisterArie adalah website belajar online terbaik dan terpercaya dalam menyediakan bagi kalian referensi, pengayaan dan bimbingan belajar.
Home » Gerhana Matahari dalam Pandangan Islam
Jika kita belajar sejarah agama dari ilmuwan-ilmuwan Eropa dan Amerika, mereka akan mengatakan kepada kita bahwa pada awalnya, manusia tidak mengerti tentang makna kehidupan dunia ini. Mengapa mereka lahir, hidup, lalu mati? Mengapa harus ada banjir yang menenggelamkan desa mereka? Mengapa harus ada badai yang membinasakan orang di sekitar mereka? Singkat kata, bagi manusia pada zaman dahulu, alam ini merupakan misteri.
Akan tetapi, walaupun demikian, mereka menyadari bahwa beberapa unsur alam tampak lebih berpengaruh terhadap kehidupan mereka, seperti matahari, bulan, atau air. Tanpa matahari, pohon-pohon menjadi layu, tanpa bulan, malam menjadi gelap gulita, dan tanpa air, manusia mati kehausan.
Sejak saat itu, mereka mulai merasa kagum sekaligus takut di hadapan alam, lalu mulailah menciptakan” tuhan. Secara perlahan-lahan, misteri alam pun berganti menjadi agama.
Namun demikian, di antara unsur-unsur alam yang disembah, matahari adalah yang paling populer. Manusia pada masa lalu menganggap, matahari merupakan unsur alam yang paling perkasa, powerful, di antara unsur alam yang lain.
Oleh karena itu, jika kita mencermati isi buku-buku sejarah dunia pada masa lalu, kita akan menemukan bahwa kultus penyembahan matahari menjadi agama bagi semua masyarakat kuno. Bangsa Mesir kuno menyembah matahari, mereka menyebutnya Ra; Bangsa India kuno juga menyembahnya dan menyebutnya Mith-Ra; bangsa Arab memanggilnya Syams, bangsa Jepang menyebutnya Amaterasu (yang kini masih menjadi simbol dalam bendera nasionalnya), dan bangsa Yunani memanggilnya Apollo.
Akan tetapi, walaupun orang-orang kuno menganggap matahari perkasa, mereka pun menyaksikan fenomena ketika matahari menggelap dan kehilangan cahayanya, mereka melihat tuhan yang mereka sembah tidak lagi bersinar. Bangsa Arab menyebut fenomena itu kusuf, orang Yunani kuno menyebutnya ekleipsis, dan orang Jawa kuno menyebutnya gerhana.
Istilah-istilah untuk menyebut fenomena gerhana di atas sebetulnya menunjukkan pemahaman terhadap gerhana. Kata kusuf yang berarti “menutup” menunjukkan bahwa bangsa Arab cenderung melihat fenomena ini secara teknis bahwa sesuatu menutupi matahari.
Berbeda dari orang Arab, sebagian bangsa pada masa lalu melukiskan fenomena ini secara metaforis. Bagi orang Viking, gerhana adalah peristiwa ketika serigala memakan matahari; orang Korea meyakini katak yang memakannya, bukan serigala; dan orang India kuno pun percaya bahwa Iblis Rahu sedang mengirim makhluk berkepala-tanpa tubuh untuk memakan matahari.
Sejalan dengan mayoritas keyakinan di atas, sejak waktu yang sangat lampau, orang Jawa pun meyakini adanya roh jahat saat terjadi gerhana. Mungkin berkali-kali orang mengalami kelainan fisik atau kerusakan mental saat terjadi gerhana sehingga kasus-kasus tersebut terpaksa membuat mereka percaya bahwa terdapat roh jahat saat terjadi gerhana.
Namun demikian, keyakinan kuno mengenai gerhana seperti yang kita bicarakan di atas mulai ditinggalkan orang sejak zaman modern. Bangsa Eropa sejak tahun 1400 Masehi (yang dianggap sebagai awal Era Modern) mengajarkan kita untuk memandang benda-benda langit, termasuk matahari, sebagai fenomena alam biasa, tidak ada kaitannya dengan tuhan, dewa, ataupun roh jahat. Lalu, dua ratus tahun kemudian, mereka mulai menjelaskan peristiwa gerhana secara saintifik.
Menurut Astronomi, ilmu atau sains yang menjelaskan tentang fenomena langit, gerhana matahari adalah peristiwa ketika matahari tertutup oleh bulan. Namun demikian, ada perbedaan mengenai bagaimana ketertutupan itu terjadi.
Bagi sebagian penduduk bumi, matahari benar-benar tertutup saat terjadi gerhana, karena, pada saat itu, posisi bulan lebih dekat ke mata pengamat sehingga “piringan” bulan tampak lebih besar daripada “piringan” matahari. Fenomena ini disebut “gerhana matahari total.”
Selain itu, posisi pengamat yang berada dalam satu garis lurus dengan bulan dan matahari juga mempengaruhi terjadinya fenomena gerhana jenis ini.
Namun demikian, dalam sudut pandang sebagian penduduk bumi yang lain, “piringan” bulan hanya menutupi sebagian dari “piringan” matahari sehingga matahari tampak sebelah gelap dan sebelah terang. Penyebabnya adalah, kala itu, dari sudut pandang pengamat, bulan tidak berada dalam satu garis lurus di antara bumi dan matahari. Fenomena ini disebut “gerhana matahari sebagian.”
Untuk memahami perbedaan antara gerhana matahari total dan gerhana matahari sebagian, perhatikanlah gambar di bawah ini!
Selain itu, ketika bulan relatif menjauh dari sudut pandang pengamat sehingga “piringan”nya tampak lebih kecil daripada “piringan” matahari, menampakkan ke mata pengamat lingkaran gelap “piringan” bulan di bagian tengah dan menyisakan cincin bersinar yang merupakan area matahari yang tidak tertutup bulan, maka fenomena itupun menunjukkan jenis lain dari gerhana matahari sebagian yang oleh sebagian besar orang disebut “gerahan matahari cincin”.
Islam mendukung pandangan sains modern bahwa matahari bukanlah tuhan atau dewa yang memberikan kehidupan; matahari hanyalah satu dari benda-benda langit yang bergerak pada garis edar masing-masing.
Namun demikian, Islam tidak sependapat dengan sains modern yang menganggap benda-benda langit bekerja dengan sendirinya, baik terhadap pandangan sains yang meyakini “Tuhan menciptakan alam lalu beristirahat (karena mesin alam bekerja sendiri setelah diciptakan)”, apalagi dengan pandangan sains yang meyakini bahwa di alam semesta ini hanya ada materi yang bekerja dengan sendirinya, tidak ada Tuhan” (materialisme).
Menurut Islam, Allah menciptakan alam dan terus bekerja-aktif untuk memeliharanya, Allah bukan hanya Al-Khaliq, Yang Menciptakan Alam, tetapi juga Robbul ‘Alamin, Pemelihara Seluruh Alam.
Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada kita bahwa segala fenomena alam merupakan bukti, tanda, atau ayat keberadaan dan kebesaran Allah. Sepotong hadits dari Syeikh Bukhari menyebutkan:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
“Sesungguhnya, matahari dan bulan adalah dua tanda dari banyak tanda-tanda kekuasaan Allah”
(HR. Bukhari No. 1044)
Karena kita meyakini bahwa gerhana matahari merupakan tanda kekuasaan Allah, maka ketika terjadi gerhana matahari, Islam menganjurkan kita untuk berdzikir, menyebut nama Allah, dengan mendirikan shalat sunnah dua raka’at, yang disebut dengan shalat kusuf atau shalat gerhana matahari. Nabi Muhammad mengatakan:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ
”Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).”
(HR. Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904)
Sebagian kecil ulama, yakni Abu Hanifah dan Malik, mewajibkan pelaksanaan shalat ini, yakni dengan sebanyak dua raka’at seperti shalat sunnah biasa dan boleh dilakukan sendiri. Akan tetapi, mayoritas ulama menyatakan hukum melaksanakan shalat ini adalah sunnah mu’akkad, dilaksanakan secara berjama’ah sebanyak dua raka’at dengan menambahkan sekali ruku’ pada masing-masing raka’at.
Adapun mengenai khutbah pasca-shalat gerhana, sebagian ulama menganjurkan, sebagian tidak, dan sebagian hanya menganjurkan untuk memberi nasihat, tidak dalam bentuk formal seperti khutbah.
Demikianlah penjelasan tentang gerhana matahari, yang, mudah-mudahan, dapat memberikan pencerahan pada kita semua yang pada hari ini, tanggal 21 Juni 2020, akan menyaksikan terjadinya gerhana matahari, walaupun gerhana yang kita saksikan merupakan gerhana matahari sebagian.
Kelas Digital MisterArie adalah website belajar online terbaik dan terpercaya dalam menyediakan bagi kalian referensi, pengayaan dan bimbingan belajar.