Home » Asal Usul Puasa Yahudi Pada Hari Yom Kippur
Puasa adalah ibadah yang dilaksanakan oleh umat dari berbagai agama, seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, atau Yahudi. Kesamaan aktivitas keagamaan ini dapat dipastikan karena asal-usul semua agama pada awalnya berasal dari para nabi. Proses sejarah dan distorsi yang pada akhirnya menyebabkan perpecahan dan timbulnya beraneka ragam agama.
Selain Islam, di antara agama-agama yang mengajarkan tradisi berpuasa adalah agama yahudi. Pada masa kini, umat Yahudi melakukan puasa pada Hari Raya Yom Kippur. Apa itu Yom Kippur?
Baca juga: Mengenal Puasa Ramadan
Sejarah Yom Kippur berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada zaman purbakala, yaitu tatkala Nabi Musa menyelamatkan Bani Israil dari perbudakan di Mesir dan membawa mereka ke padang gurun selama 40 tahun.
Paralel dengan riwayat-riwayat Islam, dalam kita keluaran (Exodus, salah satu dari 5 kitab Yahudi), dikisahkan bahwa setelah umat Yahudi meninggalkan Mesir, Nabi Musa mendaki bukit Sinai (Thur Sina) dan berdiam di sana untuk mendapatkan Kitab Taurat.
Pada mulanya, Allah mewahyukan kepada Nabi Musa untuk menetap di bukit tersebut selama 30 malam. Lalu, mengabarkan hal tersebut kepada saudaranya, Harun, untuk menggantikan dirinya memimpin Bani Israil selagi ia mendaki bukit Sinai.
Selama di puncak bukit, Musa berpuasa dan pada hari terakhir puasanya, sebelum berbicara kepada Allah, ia membersihkan mulutnya dengan kayu siwak karena baunya terasa tak sedap. Namun, hal tersebut justru membuat Allah berkata,
“Tidakkah engkau mengetahui, wahai Musa, bahwa aroma mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada aroma kesturi? Kembalilah! Berpuasalah 10 hari lagi! Lalu kembalilah menghadap-Ku!”
Maka, setelah ditambah 10 hari berpuasa, genaplah 40 hari total puasa Nabi Musa (HR. Ad-Dailami, dari Abdullah bin Abbas).
Setelah kembali dari gunung, Nabi Musa menemukan umat Yahudi sedang menyembah patung anak lembu yang dibuat oleh As-Samiri. Gendang ditabuh bertalu-talu mengiringi nyanyian-nyanyian yang disuarakan Bani Israil. Mereka menari-nari sembari mengitari patung anak sapi emas yang dapat bersuara seperti sapi sungguhan.
Nabi Musa berkata kepada mereka dengan marah,
فَرَجَعَ مُوْسٰٓى اِلٰى قَوْمِهٖ غَضْبَانَ اَسِفًا ەۚ قَالَ يٰقَوْمِ اَلَمْ يَعِدْكُمْ رَبُّكُمْ وَعْدًا حَسَنًا ەۗ اَفَطَالَ عَلَيْكُمُ الْعَهْدُ اَمْ اَرَدْتُّمْ اَنْ يَّحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ فَاَخْلَفْتُمْ مَّوْعِدِيْ
“…Wahai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Apakah masa perjanjian itu terlalu lama bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan Tuhan menimpamu sehingga kamu melanggar perjanjianmu denganku?” (QS. Thaha: 86)
Bani Israil menjawab bahwa mereka tidak sengaja melanggar perjanjian dengan Tuhan. Dalihnya, mereka melebur emas dan perhiasan mereka karena semua itu merupakan beban yang mereka bawa sejak meninggalkan Mesir. Kata mereka,
قَالُوْا مَآ اَخْلَفْنَا مَوْعِدَكَ بِمَلْكِنَا وَلٰكِنَّا حُمِّلْنَآ اَوْزَارًا مِّنْ زِيْنَةِ الْقَوْمِ فَقَذَفْنٰهَا فَكَذٰلِكَ اَلْقَى السَّامِرِيُّ ۙ
“Kami tidak melanggar perjanjian (dengan)-mu atas kemauan kami sendiri. Akan tetapi, kami harus membawa beban berat berupa perhiasan kaum (Fir‘aun) itu. Kami kemudian melemparkannya (ke dalam perapian) dan demikian pula Samiri melemparkannya.” (QS. Thaha: 87).
Maka, meledaklah amarah Musa sehingga dia menghancurkan loh-loh Taurat (yang sering disebut “The Ten Commandement“) yang baru diterimanya (QS. Al-A’rof: 50, paralel dengan Keluaran 32: 19). Sang nabi menjambak rambut adiknya, Harun sampai harun berkata kepadanya,
قَالَ يَبْنَؤُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِيْ وَلَا بِرَأْسِيْۚ اِنِّيْ خَشِيْتُ اَنْ تَقُوْلَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِيْ
“Wahai putra ibuku, janganlah engkau tarik janggutku dan jangan (pula engkau jambak rambut) kepalaku. Sesungguhnya aku khawatir engkau akan berkata (kepadaku), ‘Engkau telah memecah belah Bani Israil dan tidak memelihara amanatku.’” (QS. Thoha: 94)
Nabi Harun memang tidak mempunyai pilihan kala itu, antara membiarkan perbuatan Samiri atau melawan arus besar Bani Israil itu sehingga dapat menyebabkan perpecahan. Musa menyadari hal ini dan ia harus tegas menghadapi Bani Israil.
Maka, pertama-tama, ia menghukum As-Samiri. Kata Musa kepada lelaki yang membuat patung dewa Athor dan Aphis (dewa-dewa bangsa Mesir Kuno) ini,
قَالَ فَاذْهَبْ فَاِنَّ لَكَ فِى الْحَيٰوةِ اَنْ تَقُوْلَ لَا مِسَاسَۖ وَاِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَّنْ تُخْلَفَهٗۚ وَانْظُرْ اِلٰٓى اِلٰهِكَ الَّذِيْ ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا ۗ لَنُحَرِّقَنَّهٗ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهٗ فِى الْيَمِّ نَسْفًا“
“Pergilah kau! Sesungguhnya di dalam kehidupan (dunia) engkau (hanya dapat) mengatakan, ‘Jangan sentuh” (aku). Engkau pasti mendapat (hukuman) yang telah dijanjikan (di akhirat) yang tidak akan dapat engkau hindari. Lihatlah tuhanmu itu yang tetap engkau sembah. Kami pasti akan membakarnya, kemudian sungguh kami akan menghamburkan (abu)-nya ke laut” (QS. Thoha: 97)
Apa yang disebut hukuman “jangan sentuh aku”? Konon, setelah itu sepanjang hidupnya, Samiri menderita penyakit menular yang tidak dapat disembuhkan. Tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya dan ia hanya dapat berkata, “jangan sentuh aku!” (Amanullah Halim, Musa versus Firaun)
Selanjutnya, Nabi Musa menghukum Bani Israil yang menyembah patung sapi betina emas. Kata Musa kepada mereka,
وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ اِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ اَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوْبُوْٓا اِلٰى بَارِىِٕكُمْ فَاقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِنْدَ بَارِىِٕكُمْۗ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۗ اِنَّهٗ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“…Wahai kaumku, sesungguhnya kamu telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sembahan). Oleh karena itu, bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu” (QS. Al-Baqoroh: 54)
Bagaimana hukum mati tersebut dilakukan? Menurut sebagian mufassir, orang-orang yang tidak terlibatlah yang melakukan eksekusi terhadap mereka yang terlibat. Selain itu, adapula pendapat yang menyatakan bahwa mereka yang terlibat pada kasus ini melakukan saling bunuh di antara mereka.
Namun, menurut Taurat, diceritakan bahwa para penyembah berhala tersebut dieksekusi oleh orang-orang Lewi (salah satu Suku Israil). Mereka menghunuskan pedang masing-masing, memasuki perkemahan para penyembah berhala itu lalu menghukum mati mereka sehingga tewaslah pada hari itu sekitar tiga puluh ribu orang (Keluaran pasal 32 ayat 26 dan 27).
Setelah peristiwa itu, Musa memohon ampun atas dosa umat Yahudi. Nabi yang dibesarkan di istana Fir’aun Mesir ini meminta 70 laki-laki Israil untuk berpuasa dan bersuci kemudian berangkat menuju Bukit Sinai (Pangkal QS. Al-A’rof: 155). Tujuh puluh orang itu menunggu di kaki bukit sementara Nabi Musa mendaki kembali ke puncak. Kemudian, Allah menerima taubat mereka.
Di kemudian hari, bani Israil memperingati peristiwa pertobatan akbar tersebut dengan perayaan Yom Kippur. Ini adalah hari besar bangsa Yahudi yang akan tetap dilaksanakan walaupun bertepatan dengan hari Sabat.
Delapan ratus tahun setelah Insiden Samiri di atas, Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. ia menemukan kaum Yahudi di tanah yang sebelumnya bernama Yathrib itu melakukan puasa.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالُوا: هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي أَظْهَرَ اللهُ فِيهِ مُوسَى، وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ، فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ. (رواه مسلم)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata: ‘Rasulullah saw hadir di kota Madinah, kemudian beliau menjumpai orang Yahudi berpuasa Asyura. Mereka ditanya tentang puasanya tersebut, lalu menjawab: ‘Hari ini adalah hari dimana Allah swt memberikan kemenangan kepada Nabi Musa as dan Bani Israil atas Fir’aun. Maka kami berpuasa untuk menghormati Nabi Musa’. Kemudian Nabi saw bersabda: ‘Kami (umat Islam) lebih utama mewarisi tradisi Nabi Musa dibanding dengan kalian’. Lalu Nabi saw memerintahkan umat Islam untuk berpuasa di hari Asyura.” (HR Muslim)
Sejak saat itu, kaum Muslim ikut berpuasa pada tanggal 10 Muharram, bersama dengan orang-orang Yahudi. Namun, di kemudian hari, orang-orang Yahudi melanggar perjanjian politik Piagam Madinah dan kaum muslim mulai waspada terhadap manuver-manuver politik umat nabi Musa ini. Sehingga berbagai upaya pendekatan terhadap Yahudi mulai dikurangi. Kiblat salat berganti dari Baitul Maqdis menjadi Ka’bah, dan untuk membedakan diri dari puasa Yahudi, kaum Muslim (selain pada tanggal 10 Muharram) juga berpuasa pada tanggal 9 dari bulan tersebut, yang disebut puasa Tasu’a.
Baca juga: Piagam Madinah
@ 2023 MisterArie. All right reserved.