Home » Imam Al-Ghazali: Pendekar Pemikiran Islam
Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) adalah seorang filsuf, teolog, ahli hukum Islam, dan sufi terkemuka dari abad ke-12. Lahir di kota Tus, Iran, pada 1058, al-Ghazali menghabiskan sebagian besar hidupnya di Nishapur, Baghdad, dan kota-kota besar lainnya di Timur Tengah.
Al-Ghazali tumbuh dalam keluarga yang taat agama dan dididik dengan baik di bidang agama Islam. Ayahnya meninggal saat ia masih bayi sehingga ibunyalah yang membesarkan mereka dan memastikan mereka menerima pendidikan Islam yang baik. Sebelum usianya mencapai 15 tahun, Al-Ghazali telah menguasai Tata Bahasa Arab, Al-Qur’an, Hadits, Fiqih dan ilmu keislaman lainnya.
Setelah itu, Al-Ghazali berguru fiqih “tingkat lanjut” kepada Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Radhkani” di Tus dan mengembara ke Jurjan untuk mempelajari bidang yang sama dari seorang guru bernama Abul Qasim Ismail bin Mas’ada Al-Isma’ili. Lalu, ia kembali ke kampung halamannya di Tus.
Akhirnya, pada usia 17 tahun, Al-Ghazali telah menguasai ilmu fiqih. Di Tus, ia terus melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.
Tiga tahun kemudian, Al-Ghazali mengembara ke Nisyapur untuk menimba ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ia tiba di Madrasah Nizamiyah dan berguru kepada “Imam Al-Haramain” (Abul Ma’ali Abdul Malik Al-Juwaini), seorang cendekiawan bermazhab Syafi’i dan berteologi Asy’ariyah yang sangat tersohor saat itu.
Al-Juwaini menyadari betapa cemerlangnya pemuda dari Tus ini sehingga ia pun mengangkatnya menjadi seorang asisten pengajar. Inilah karir akademik pertama Al-Ghazali, menjadi seorang “asisten dosen” (asdos). Pada periode inilah Al-Ghazali menulis buku “Al-Manqul min Ta’liqat al-Ushul” (Bunga Rampai Metode Dasar), sebuah buku tentang prinsip-prinsip dasar hukum dan metodologi hukum Islam.
Selama menekuni karirnya di Madrasah Nizamiyah, Al-Ghazali kerap menghadiri pengajian-pengajian tasawuf (esoterik Islam), ia pun menerima pelatihan-pelatihan tasawuf dari guru tasawuf Abu Ali Fadl bin Muhammad bin Ali Al-Farmadhi, murid Al-Qusyairi, seorang tokoh sufi yang termasyhur.
Kemudian Al-Juwaini wafat sehingga perdana menteri Seljuk, Nizam Al-Mulk, memintanya untuk menggantikan sang maha guru. Pada usia yang kala itu tiga puluh empat tahun, Al-Ghazali menjadi profesor termuda di kampus itu, di lembaga pendidikan yang kala itu setara dengan Oxford atau Harvard pada masa kini.
Di Nizamiyah, Al-Ghazali mengajar fiqih, hadits dan Ilmu Kalam (aqidah). Karena kecerdasan dan keluasan ilmunya, dengan cepat namanya tersebar di seluruh wilayah Islam. Setiap kali ia memberikan kuliah, biasanya tak kurang tiga ratus mahasiswa hadir untuk menyimak penjelasannya.
Nizam Al-Mulk, sebagai perdana menteri, selalu mendukung Al-Ghazali, bahkan, ia selalu mengonsultasikan semua isu agama dan politik yang dihadapinya kepada profesor muda ini.
Namun, di tengah puncak karir akademiknya ini, sebuah badai angin spiritual menerpanya. Badai krisis pemikiran melanda kehidupannya yang sedang bersinar itu. Ia terganggu dengan konflik antara pandangan kaum rasionalis dan kaum tradisionalis, antara kelompok “pembela akal” dan kelompok “pembela wahyu.”
Kelompok rasionalis diwakili oleh sekte-sekte filsafat dan kelompok mu’tazilah sementara kelompok tradisional diwakili oleh para guru-guru fiqih. Kedua kelompok ini kerap memiliki pandangan-pandangan yang bertentangan satu sama lain, namun masing-masing memiliki argumen yang sama kuatnya. Bagaimanakah ia menentukan aliran pemikiran mana yang lebih benar?
Nampaknya, Al-Ghazali termasuk manusia yang idealis, bukan pragmatis yang hanya mengejar karir dan keuntungan ekonomi. Karena tekadnya untuk mengatasi gejolak batin ini, ia pun mundur dari Nizamiyah.
Al-Ghazali mulai mempelajari semua sekte-sekte filsafat. Dalam pengembaraan intelektual-spiritual ini, ia sempat menjadi skeptis, ragu, untuk menentukan kebenaran, namun pada akhirnya, tibalah suatu titik waktu ketika ia merasa tercerahkan. Ia merasa yakin dengan langkah yang ditempuhnya.
Akhirnya, setelah mempelajari karya-karya para filsuf dan para teolog, ia membagi kelompok Islam ke dalam empat kategori.
1. Mutakallimun (teolog skolastik)
2. Falasifah (filsuf)
3. Sufi (Mistik Islam)
4. Ta’limiyah (Pengikut doktrin)
Pada periode ini, yang berlangsung antara 1091 dan 1094 Masehi, Al-Ghazali mempelajari lebih dalam karya-karya para filsuf. Ia meneliti karya-karya seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina lalu menuangkan kritik-kritiknya terhadap filsafat dalam buku Maqashid Al-Falasifah dan Tahafut Al-Falasifah. Usianya kala itu 36 tahun.
Konon, setelah kritik Al-Ghazali, pemikiran-pemikiran filsafat Islam yang berasal dari tradisi Yunani itu mulai redup dan padam.
Kemudian, Al-Ghazali mengarahkan kritiknya terhadap kelompok Ta’limiyah. Kelompok ini umumnya meyakini bahwa seorang “guru yang sempurna” akan datang pada suatu hari untuk memulihkan perdamaian dan ketertiban di seluruh negeri, semacam juru selamat. Kritik Al-Ghazali terhadap kelompok ini dituangkan dalam buku Fadha’il Al-Batiniyya wa Fadha’il Al-Mustazhiriyya.
Selanjutnya, Al-Ghazali pun menenggelamkan diri dalam praktik-praktik tasawuf. Ia mendalami karya-karya sufi terkemuka seperti Abu Thalib Al-Makki, Harits Al-Muhasibi, Abul Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi, Abu Bakar Asy-Syibli, dan Abu Yazid Al-Busthami. Pada periode ini, ia mulai merasakan bahwa ketenangan hati itu dapat diperoleh dalam pesan-pesan kesufian.
Pada usia 37 tahun, Al-Ghazali meninggalkan Baghdad untuk melakukan ibadah haji lalu pulang ke kampung halamannya, di Tus, lima tahun kemudian. Selanjutnya, ia kembali ke Nisyapur untuk kembali mengajar di Nizamiyah atas panggilan Fakhr Al-Mulk, perdana menteri kala itu. Pada periode ini Al-Ghazali menulis buku Al-Munqidz min Al-Dholal dan menyelesaikan karya besarnya, Ihya Ulum al-Din.
Lalu, Al-Ghazali meninggal pada 19 Desember 1111 Masehi di Nishapur pada usia 53 tahun.
Pengaruh Al-Ghazali dalam sejarah Islam sangat besar. Karya-karyanya mempengaruhi banyak cendekiawan Islam selama berabad-abad setelah kematiannya. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah Islam dan dijuluki “Hujjatul Islam” atau “Bukti Islam” karena keahliannya dalam membela dan menjelaskan keyakinan Islam.
Di luar dunia Islam, Al-Ghazali juga dianggap sebagai salah satu intelektual terbesar dalam sejarah filsafat. Karya-karyanya mempengaruhi banyak filsuf Barat, termasuk Thomas Aquinas, Ramon Lull, Baise Pascal, dan Musa bin Maimun (Maimonides).
Al-Ghazali juga memainkan peran penting dalam mengembangkan metode pengajaran dan pembelajaran di dunia Islam. Ia memperkenalkan metode pengajaran yang lebih interaktif dan dialogis, yang dianggap sebagai pendekatan yang lebih efektif daripada metode pengajaran yang lebih dogmatis.
@ 2022 MisterArie. All right reserved.